Pada Selasa (30/6/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.302. Rupiah menguat 0,47% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, rupiah yang sempat menguat kini berbalik arah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.175 di mana rupiah menguat 0,04%.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,14% di Rp 14.150/US$. Seiring perjalanan, apresiasi rupiah agak menipis, habis, dan sekarang tekor.
Sementara mata uang utama Asia lainnya bergerak variatif di hadapan dolar AS. Selain rupiah, ada yen Jepang, baht Thailand, dan peso Filipina yang juga melemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:06 WIB:
Sentimen di pasar sejatinya sedang membaik. Indeks VIX (yang mencerminkan volatilitas di pasar saham AS, yang menjadi patokan global) anjlok 8,49%. Rendahnya volatilitas menandakan 'air' sedang tenang, minim gejolak.
Hasilnya, investor berani bermain agresif sehingga instrumen aman seperti dolar AS dilepas. Pada pukul 09:18 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,1%.
Pagi ini, sejumlah rilis data di Asia membawa optimisme. Di Korea Selatan, penjualan ritel pada Mei 2020 tumbuh 1,7% year-on-year (YoY). Membaik ketimbang bulan sebelumnya yang terkontraksi (tumbuh negatif) -2,2% YoY.
Sedangkan di China, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur versi Biro Statistik Nasional berada di 50,9 pada Juni 2020. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,6. Sementara PMI non-manufaktur juga naik menjadi 54,4 dari 53,6.
Tidak hanya di Asia, kabar dari Inggris juga memberi semangat kepada pelaku pasar. Perdana Menteri Boris Johnson mengungkapkan pemerintah siap menggelontorkan stimulus berupa pembangunan infrastruktur untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
"Inilah saatnya pendekatan a la Roosevelt di Inggris. Saya yakin bahwa investasi pemerintah akan menuai hasil dalam bentuk ekonomi yang lebih produktif," tegas Johnson, seperti dikutip dari Reuters.
Franklin Delano Roosevelt, mantan Presiden AS, dikenal berhasil mengentaskan Negeri Adidaya dari derita Depresi Besar pada 1930-an. Program New Deal besutan Roosevelt, yang menitikberatkan kepada penciptaan lapangan kerja melalui pembangunan infrastruktur, adalah sesuatu yang coba diterapkan oleh Johnson di Inggris.
Siang nanti, Kantor Statistik Nasional (Office for National Statistics) Inggris akan mengumumkan angka final pembacaan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020. Konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan terjadi kontraksi -1,6% YoY.
Meski Inggris rasanya sulit menghindari resesi, tetapi ada harapan derita tersebut tidak akan lama jika stimulus infrastruktur pemerintah berjalan lancar. Ekonomi akan bergeliat, dan Inggris bisa keluar dari resesi dalam waktu yang tidak terlampau lama.
Akan tetapi, bukan berarti semua baik-baik saja. Tidak semua data ekonomi yang dirilis menunjukkan angka memuaskan.
Di Jepang, situasinya agak mengkhawatirkan. Tingkat pengangguran pada Mei 2020 tercatat 2,9%, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,6% sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Mei 2017.
Kemudian produksi industri pada Mei 2020 diperkirakan mengalami kontraksi hingga -25,9% YoY. Jauh lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar -15%.
Lalu data di Australia juga mengecewakan. Pada Mei 2020, penyaluran kredit perbankan tumbuh 3,2% YoY. Melambat dari bulan sebelumnya yang bisa tumbuh 3,6% YoY dan berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan pertumbuhan 3,8% YoY.
Belum lagi kalau bicara soal penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Di sejumlah negara, kasus corona bertambah cukup pesat. Di Inggris, misalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona per 29 Juni adalah 311.155 orang. Bertambah 901 orang (0,29%) dibandingkan posisi sehari sebelumnya.
Peningkatan jumlah kasus membuat Kota Leicester kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing) yang sempat dilonggarkan. Sir Peter Soulsby, Wali Kota Leicester, memutuskan untuk menutup lagi restoran dan pub.
Kondisi di Inggris juga terjadi di negara-negara lain seperti AS dan Jerman. Sejumlah daerah kembali menutup keran aktivitas masyarakat akibat lonjakan kasus corona.
Apa yang sangat dikhawatirkan oleh seluruh dunia lambat laun menjadi kenyataan: gelombang serangan kedua (second wave outbreak). Ini membuat proses pemulihan ekonomi menjadi buram, semakin tidak jelas.
Oleh karena itu, sangat wajar Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi ekonomi 2020 dari awalnya -3% menjadi -4,9%. Sebab, dampak dari pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini ternyata lebih parah dari perkiraan sebelumnya.
Sentimen yang campur-aduk ini membuat pelaky pasar agar gamang. Rupiah yang sempat menguat pun jadi limbung, dan kini berbalik lemas.
TIM RISET CNBC INDONESIA