
Waspada! PHK Gelombang Kedua Bayangi Emiten

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengingatkan potensi terjadinya risiko gelombang kedua pemutusan hubungan kerja (PHK) cukup besar. Tidak sedikit, anggota AEI yang sudah kesulitan arus kas karena terhantam pandemi Covid-19.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia, Bobby Gafur Umar menjelaskan, meskipun Indonesia sudah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tetapi aktivitas ekonomi belum bisa pulih seperti sebelum adanya pandemi Covid-19. Beberapa sektor bahkan mengalami tekanan cukup berat seperti di sektor perhotelan dan pariwisata.
Sisi lain, kata Bobby, tergerusnya pasar ekspor untuk komoditas seperti minyak sawit mentah dan batu bara imbas kebijakan karantina wilayah membuat emiten di sektor ini juga mengalami tekanan.
"Emiten itu banyak yang susah, mereka punya pinjaman bank ke bank, tapi saat ini yang dibantu UMKM, belum menyasar korporasi besar. Masing-masing emiten yang mempunyai utang melakukan negosiasi secara business to business ke bank," kata Bobby kepada CNBC Indonesia.
Bobby yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Energi, Minyak, dan Gas ini menuturkan, masih belum ditemukannya vaksin maupun obat virus Corona tipe baru dan puncak pandemi di Indonesia belum terjadi, menyebabkan proses pemulihan ekonomi berjalan lamban, sehingga dampaknya terhadap perekonomian akan cukup dalam.
Inilah yang dikhawatirkan, ketika arus kas perusahaan kian menipis, maka opsi perusahaan melakukan PHK menjadi keniscayaan untuk melakukan efisiensi dan bisa bertahan.
"Kita menghadapi ancaman gelombang karyawan yang dirumahkan, ancaman ini besar sekali. Tapi beberapa emiten ada yang masih bisa bertahan seperti ritel pangan dan kesehatan," katanya.
AEI juga mencermati, ramalan dari berbagai lembaga keuangan yang menyebutkan perekonomian Indonesia akan mengalami resesi di tahun ini, bisa saja terjadi jika indikator yang ada, ekonomi Indonesia belum bisa pulih hingga triwulan ketiga.
Dalam proyeksi terbaru, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi hingga akhir tahun, ekonomi Indonesia akan minus 0,3% dan secara global minus 4,9%, menandai kontraksi ekonomi terbesar sejak Depresi Besar 1930.
Sebagai dampaknya, kata Bobby, jika ekonomi tumbuh negatif, maka angka pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin akan bertambah.
"Karena itu pemerintah membuat program jaring pengaman sosial dan bantuan sosial dengan sasaran utama ke masyarakat yang rentan terdamak," tukasnya.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kena PHK, Karyawan Indosat Dapat Rp 1 Miliar Lebih plus Bonus