
Bisa Menguat Saat Cuaca Tak Bersahabat, Rupiah Hebat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di luar dugaan mampu menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Padahal 'cuaca' sedang tidak bersahabat.
Pada Kamis (25/6/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.080 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun sejurus kemudian rupiah mampu menguat. Pada pukul 09:23 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.070 di mana rupiah menguat tipis 0,07%.
Rupiah punya peluang untuk menguat karena dua minggu terakhir sudah mengalami tekanan cukup berat. Selama periode tersebut, mata uang Tanah Air melemah 0,86%.
Namun, rupiah sepertinya bakal menghadapi hari yang berat. Pasalnya, sentimen negatif bertebaran di mana-mana.
Pelaku pasar kembali cemas dengan perkembangan penyebaran virus corona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 24 Juni adalah 9.129.146 orang. Bertambah 135.212 orang dibandingkan hari sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan kenaikan pada 23 Juni yang sebanyak 133.328 orang.
Kenaikan kasus corona membuat sejumlah negara kembali menerapkan karantina wilayah (lockdown) meski lingkupnya terbatas. Pemerintah Negara Bagian North Rhine-Westphalia (Jerman) kembali memberlakukan lockdown di dua distrik agar virus tidak menyebar lebih lanjut. Mini-lockdown ini rencananya berlaku hingga 30 Juni.
Di Jerman, situasinya memang agak mengkhawatirkan. Tingkat reproduksi (Rt) virus corona di Jerman saat ini berada di 2,76. Artinya, satu orang pasien positif corona bisa menulari 2,76 orang lain atau 100 pasien menginfeksi 276 orang. Tingkat reproduksi ini harus bisa ditekan hingga di bawah 1.
Memang benar bahwa data ekonomi yang dirilis akhir-akhir ini cukup bagus. Namun kalau virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini masih bergentayangan, maka tetap akan menjadi beban bagi perekonomian. Aktivitas masyarakat akan tetap terbatas, sehingga kegiatan dunia usaha juga tidak bisa terlalu ekspansif.
"Kami memang melihat ada tanda-tanda pemulihan, tetapi prosesnya bertahap. Butuh waktu untuk menciptakan pemulihan ekonomi dan kesehatan yang berkelanjutan sehingga keyakinan publik benar-benar membaik.
"Membuka kembali aktivitas masyarakat memang akan memperbaiki indikator dalam jangka pendek. Namun karena kontraksi yang terjadi sudah begitu dalam dan aktivitas masyarakat tetap tidak bisa seperti masa pra-pandemi dalam waktu yang cukup lama, maka pemulihan cepat sepertinya sulit terjadi," papar Philip Lane, Kepala Ekonom Bank Sentral Uni Eropa (ECB), seperti dikutip dari Reuters.
