
Rupiah Akhirnya Menguat, tapi Tak Bisa Lari Kencang

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Rabu (24/6/2020), setelah melemah dan stagnan dalam tiga hari terakhir. Meski demikian, laju penguatan mata uang Garuda masih belum sekencang bulan April dan Mei lalu.
Saat pembukaan perdagangan, rupiah menguat 0,07% di Rp 14.100/US$. Mayoritas perdagangan dihabiskan di zona hijau, meski sempat melemah 0,14% di Rp 14.130/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.080/US$, menguat 0,21% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Dengan penguatan 0,21%, rupiah belum mampu menembus 3 besar mata uang terbaik Asia hari ini. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:10 WIB.
Sejak mencapai level terkuat dalam lebih dari 3 bulan terakhir Rp 13.850/US$, rupiah belum lagi menunjukkan laju kencang. Rupiah masuk ke fase konsolidasi, bergerak tipis-tipis dan cenderung melemah.
Sejak awal April hingga 8 Juni lalu, rupiah melaju kencang, mencatat penguatan hingga lebih dari 15%. Kepanikan yang terjadi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang mulai mereda, membuat aliran modal kembali masuk ke dalam negeri yang membuat rupiah perkasa.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan pada periode April sampai 8 Juni terjadi inflow di pasar obligasi senilai Rp 14 triliun.
Sementara sejak 8 hingga 22 Juni lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 6,14 triliun. Akibatnya, rupiah menjadi kekurangan "bensin" untuk kembali melaju kencang.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan Indonesia sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Sementara pada hari ini, sepertinya terjadi inflow di pasar obligasi, yang terlihat dari penurunan yield surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 2,1 basis poin (bps) menjadi 7,174%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga naik dan yield turun, artinya permintaan SBN sedang tinggi yang menjadi indikasi capital inflow.
