
Disentil Sri Mulyani Gegara Tekor, Begini Kinerja 7 BUMN

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan BUMN masih menjadi sorotan apalagi setelah Komisi VI DPR RI menggelar rapat kerja (raker) dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Senin (22/6/2020) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, berkaitan dengan dana talangan.
Agenda raker tertutup tersebut antara lain pembahasan RKA-K/L & RKP K/L Tahun 2021, pembahasan Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun anggaran 2021, pembahasan dividen tahun anggaran 2021, dan pembayaran utang pemerintah ke BUMN tahun anggaran 2021.
Menteri BUMN Erick Thohir, Wakil Menteri I BUMN Budi Gunadi Sadikin, dan Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo hadir dalam raker dengan DPR tersebut.
Di sela-sela raker Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan Kementerian BUMN mengajukan anggaran PMN untuk perusahaan pelat merah pada 2021 senilai Rp 70 triliun. Penyertaan modal dari negara tersebut diperuntukkan kepada perusahaan BUMN yang diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja, khususnya bagi UMKM.
"Masih sekitar 70-an [Rp 70 triliun] lah tapi sekali lagi kita melihat banyak belanja-belanja kementerian yang masih bisa dialokasikan untuk terciptanya berbagai pertumbuhan atau lapangan-lapangan kerja khususnya yang UMKM karena ini yang memberikan kontribusi hampir 57% terhadap PDB," kata Aria usai Rapat Kerja dengan Kementerian BUMN, Senin (22/6/2020).
Terkait dengan BUMN ini, kondisi BUMN juga sempat menjadi perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saat rapat dengan Komisi XI DPR RI, Sri Mulyani bahkan membeberkan ada tujuh BUMN yang masih mengalami kerugian di 2018.
Sebab itu, Kemenkeu berharap danya perbaikan kinerja dari ketujuh perusahaan tersebut. "Kalau dari sisi corporate government, kami akan duduk bersama [dengan Kementerian BUMN] untuk merancang perbaiki kinerja BUMN," ujar Sri Mulyani, di kompleks Senayan, Senin (2/12/2019).
Sri Mulyani saat itu juga mengatakan, pihaknya saat ini memberikan ruang terlebih dahulu kepada Menteri BUMN Erick Thohir dan jajarannya untuk melakukan evaluasi BUMN yang merugi tersebut.
"Menteri BUMN sekarang sedang lakukan evaluasi dengan dua wamennya. Mereka sedang menjalankan itu nanti kami liat, bagaimana bentuk policy yang dibutuhkan BUMN tersebut," kata Sri Mulyani melanjutkan.
Dalam rapat tersebut, tujuh perusahaan BUMN yang menjadi sorotan, antara lain PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, Perum Bulog, dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS).
Berikut profil tujuh BUMN tersebut.
1. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari
Perusahaan ini sudah berdiri sejak 30 tahun yang lalu yang merupakan hasil penggabungan dari empat perusahaan galangan kapal. Penggabungan ini ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Situs resmi perusahaan mencatat, perusahaan yang digabungkan tersebut antara lain PT Dok & Perkapalan Tanjung Priok (Persero) yang berdiri tahun 1891 dan PT Kodja (Persero), PT Pelita Bahari (Persero) dan PT Dok & Galangan Kapal Nusantara (Persero) yang ketiganya berdiri pada tahun 1964.
Perusahaan ini memiliki galangan yang beroperasi di Cilincing, Jakarta Utara dan lima cabang di Batam, Palembang, Cirebon, Semarang dan Banjarmasin.
Dok Kodja juga memiliki dua anak usaha, yakni PT AIRIN yang bergerak di bidang depo peti kemas dan pergudangan sedangkan PT Kodja Terramarin bergerak di bidang chemical product dan perdagangan umum.
Berdasarkan laporan keuangan BUMN, hingga akhir 2016 lalu perusahaan ini mengalami kerugian mencapai Rp 130 miliar dengan nilai pendapatan mencapai Rp 367 miliar. Jumlah aset perusahaan hingga tahun tersebut mencapai Rp 2,02 triliun dengan nilai ekuitas minus Rp 1,48 triliun.
2. PT Sang Hyang Seri
Perusahaan ini menjalankan usaha pembenihan di bidang pertanian termasuk bibit untuk perkebunan, peternakan. Selain untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, perusahaan ini juga melakukan ekspor dari bibit yang diproduksi.
Masih mengutip laporan keuangan BUMN, hingga akhir 2016 Sang Hyang Seri mencatatkan rugi Rp 62 miliar dengan jumlah pendapatan mencapai Rp 355 miliar. Nilai aset perusahaan hingga tahun tersebut mencapai Rp 860 miliar dengan nilai ekuitas minus Rp 1,19 triliun.
3. PT PAL Indonesia
Perusahaan ini merupakan perusahaan produsen kapal terbesar di Indonesia. Selain memproduksi, perusahaan ini juga melakukan perbaikan dan pemeliharaan kapal perdagangan dan angkatan laut. Kapal yang diproduksi ini juga diekspor ke Jepang dan Eropa.
PAL Indonesia memiliki empat lini bisnis, yakni pembuatan kapal dagang, kapal laut, teknik umum dan perbaikan dan pemeliharaan. Ukuran kapal yang bisa diproduksi oleh perusahaan ini mencapai 50.000 dead weight tonnes (DWT).
Dalam setahun, perusahaan ini dapat memproduksi sebanyak 5-6 kapal. Kapal ini telah diekspor ke beberapa negara seperti Italia, Jerman, turki, Australia dan Jepang. Sedangkan di dalam negeri, kapal-kapal ini dipakai oleh Pertamina, PELNI dan beberapa pemerintah daerah.
Dari sisi keuangan, kendati perusahaan banyak melakukan produksi namun perusahaan masih mencatatkan kerugian operasional. Hingga 2016, perusahaan merugi Rp 395 miliar dengan besar pendapatan senilai Rp 683 miliar.
Perusahaan ini memiliki aset mencapai Rp 2,98 triliun di tahun tersebut dengan nilai ekuitas mencapai Rp 609 miliar.
