
Ini Sejumlah Syarat Bank Bisa Lewati Krisis Pandemi Corona

Jakarta, CNBC Indonesia- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kondisi perbankan Indonesia masih dalam kategori aman di masa krisis akibat pandemi COVID-19. Bahkan ada bank yang "berlimpah dana", salah satunya PT Bank Mega Tbk (MEGA) yang memiliki likuiditas mencapai Rp 30,5 triliun.
Bank Mega juga menarik perhatian karena likuiditasnya yang longgar dibandingkan rata-rata Bank BUKU III yang Loan to Deposit Ratio (LDR) hampir mendekati 100%. Di tengah ketatnya likuditas Bank BUKU III yakni 92,55% per Maret, Bank Mega mampu mencatatkan LDR di level 67,48%.
Likuiditas menjadi perhatian BI dan OJK, yang di era pandemi ini dibekali "alat tempur" baru untuk melawan risiko krisis, mulai dengan suntikan likuiditas ke sistem keuangan, hingga kewenangan mempercepat proses restrukturisasi dan merger bank bermasalah.
Secara umum, kondisi industri perbankan masih aman jika melihat beberapa indikator keuangan. Data OJK menyebutkan rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) industri perbankan berada di level 22,13% per April. Ini terhitung masih sangat sehat karena jauh di atas batas aman yang ditetapkan BIS (Bank for International Settlement) di angka 8%.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) gross berada di angka 2,89% sedangkan NPL net di angka 1,09%. Batas yang dianggap aman untuk NPL adalah 5%, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa tekanan di sektor riil akibat corona belum memukul perbankan kita.
Bank Mega sendiri mencatatkan CAR di level 24,7% atau lebih besar dibandingkan rata-rata industri. NPL gross Bank Mega pun terjaga di level 1,55%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu 1,75% dan jauh di bawah tren industri perbankan. Artinya Bank Mega memiliki kekuatan yang solid dalam menghadapi krisis ini.
Sejarah juga mencatat Bank Mega pada masa krisis moneter 1997 berhasil bertahan dan lolos menjadi satu dari sedikit bank yang tetap tumbuh tanpa bantuan pemerintah. Beberapa bank lain yang juga kuat saat itu adalah Citibank, Deutche Bank dan HSBC.
Kini, di tengah krisis corona yang berdampak pada tersendatnya aktivitas bisnis dan ekonomi, Bank Mega akan tetap kuat dengan mengandalkan likuiditasnya yang masih berlebih ketika muncul tagihan dan kewajiban jangka pendek, tanpa perlu dana talangan pemerintah.
Meski secara umum kondisi perbankan masih dalam kategori aman, pemerintah tentu saja harus tetap waspada, dengan menyiapkan berbagai skenario (mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk), lengkap dengan formula kebijakan yang bisa dijalankan untuk mencegah maupun menanganinya.
Pemerintah juga memperhatikan terhadap likuiditas ini juga tertuang di Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang memungkinkan penempatan dana negara untuk mendukung bank yang tengah merestrukturisasi dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan.
Mengutip data OJK pada Sabtu (16/5/2020), penanganan kebutuhan likuiditas untuk sektor jasa keuangan bakal terlebih dahulu diarahkan bersumber dari kapasitas internal bank, melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB), pasar repo, dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) BI.
Jika hal itu masih belum cukup, maka bank yang bersangkutan bisa mengajukan permintaan bantuan likuiditas dari pemerintah. Pemerintah akan menempatkan dana dukungan likuiditas di Bank Peserta. Risiko yang ditanggung pemerintah adalah risiko di Bank Peserta tersebut, yang bakal dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Selanjutnya, bank pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta. perusahaan pembiayaan/bank perkreditan rakyat mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana/Bank Kreditur. Risiko kredit Bank Peserta dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana dimitigasi dengan Agunan Kredit.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lampaui Industri, Begini Kinerja Bank Mega di 2020