
Demi Rupiah BI Tahan Suku Bunga, Apa Rupiah Dalam Bahaya?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 May 2020 16:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sejak awal April dalam tren menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pada bulan lalu, Mata Uang Garuda melesat 9,05%, sementara sepanjang bulan Mei hingga hari ini, Rabu (20/5/2020) kemarin tercatat penguatan sebesar 0,98%.
Meski sedang dalam tren menguat, Bank Indonesia (BI) masih tetap waspada akan risiko pelemahan rupiah. Selasa kemarin BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Mei 2020.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 4,5%. Langkah ini ditempuh dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian pasar keuangan global," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei 2020.
Perry menjelaskan, BI mempertahankan suku bunga sudah mempertimbangkan untuk perlunya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Salah satu penyebab rupiah terus menguat belakangan ini adalah imbal hasil (yield) obligasi Indonesia yang relatif tinggi, sehingga investor asing tertarik untuk mengalirkan modalnya ke dalam negeri.
Tabel di atas menunjukkan yield obligasi tenor 10 tahun baik negara-negara emerging market maupun negara maju. Yield obligasi Brasil dan Afrika Selatan memang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi rating surat utang jangka panjang kedua negara tersebut belum masuk investment grade seperti Indonesia.m Sehingga secara risiko, Brasil dan Afrika Selatan lebih berisiko ketimbang Indonesia.
Jika BI memangkas suku bunga, maka kemungkinan yield obligasi Indonesia akan menurun, sehingga daya tarik investasi di mata investor global tentunya akan berkurang. Jika hal tersebut terjadi, aliran modal ke dalam negeri akan seret, bahkan ada kemungkinan terjadi capital outflow, dan rupiah berisiko kembali melemah.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan Indonesia sudah mengalami defisit (Current Account Deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat, begitu juga jika terjadi inflow maka Mata Uang Garuda akan perkasa.
Bulan Maret menjadi contoh rentannya rupiah terhadap hot money. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi outflow di pasar obligasi sebesar Rp 121,25 triliun, dampaknya kurs rupiah merosot 13.67% bahkan sempat menyentuh Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Meski sedang dalam tren menguat, Bank Indonesia (BI) masih tetap waspada akan risiko pelemahan rupiah. Selasa kemarin BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Mei 2020.
Perry menjelaskan, BI mempertahankan suku bunga sudah mempertimbangkan untuk perlunya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Salah satu penyebab rupiah terus menguat belakangan ini adalah imbal hasil (yield) obligasi Indonesia yang relatif tinggi, sehingga investor asing tertarik untuk mengalirkan modalnya ke dalam negeri.
Tabel di atas menunjukkan yield obligasi tenor 10 tahun baik negara-negara emerging market maupun negara maju. Yield obligasi Brasil dan Afrika Selatan memang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi rating surat utang jangka panjang kedua negara tersebut belum masuk investment grade seperti Indonesia.m Sehingga secara risiko, Brasil dan Afrika Selatan lebih berisiko ketimbang Indonesia.
Jika BI memangkas suku bunga, maka kemungkinan yield obligasi Indonesia akan menurun, sehingga daya tarik investasi di mata investor global tentunya akan berkurang. Jika hal tersebut terjadi, aliran modal ke dalam negeri akan seret, bahkan ada kemungkinan terjadi capital outflow, dan rupiah berisiko kembali melemah.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan Indonesia sudah mengalami defisit (Current Account Deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat, begitu juga jika terjadi inflow maka Mata Uang Garuda akan perkasa.
Bulan Maret menjadi contoh rentannya rupiah terhadap hot money. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi outflow di pasar obligasi sebesar Rp 121,25 triliun, dampaknya kurs rupiah merosot 13.67% bahkan sempat menyentuh Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular