
Demi Rupiah BI Tahan Suku Bunga, Apa Rupiah Dalam Bahaya?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 May 2020 16:13

Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi sumber ketidakpastian utama yang berisiko membuat rupiah kembali melemah. Virus itu juga yang membuat rupiah "babak belur" di bulan Maret.
Berdasarkan data Worldometer, hingga saat ini lebih dari 200 negara dan teritori terpapar Covid-19, nyaris tidak ada tempat yang aman dari virus yang berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei, China tersebut.
Jumlah kasus positif Covid-19 saat ini nyaris 5 juta orang, dengan 324.958 orang meninggal dunia, sementara hampir 2 juta orang sembuh.
Di Indonesia sendiri hingga Selasa kemarin tercatat jumlah kasus sebanyak 18.469 orang, dengan 1.221 orang meninggal dunia, dan 4.467 sembuh.
Beberapa negara di Asia, Eropa, hingga AS sudah mengalami tren penurunan jumlah kasus per harinya, tetapi risiko penyebaran gelombang kedua tidak bisa dipandang sebelah mata.
China dan Korea Selatan yang sebelumnya sudah "menang" melawan virus corona kini harus kembali siaga akibat adanya penambahan kasus baru. Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin.
Sementara itu dari Korea Selatan, beberapa pekan lalu Korsel melaporkan penambahan kasus 1 digit bahkan sempat zero infection. Tetapi sejak pekan lau sudah ada ratusan kasus baru yang terjangkit dari sebuah klub.
Selama virus tersebut masih belum lenyap dari bumi ini, atau selama belum ditemukan vaksinnya, risiko penyebaran gelombang kedua masih tetap ada. Sehingga kebijakan social distancing kemungkinan masih akan terus berlaku di berbagai negara. Akibatnya roda perekonomian global belum bisa berputar dengan kencang, sehingga risiko kemerosotan ekonomi, resesi, bahkan depresi masih menghantui.
Data kontraksi pertumbuhan ekonomi negara-negara dengan nilai ekonomi besar di kuartal I-2020 sudah banyak dirilis, mulai dari Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, hingga Jepang. Tetapi itu baru awal, di kuartal II-2020 kontraksi diprediksi akan semakin dalam.
Maklum saja, kebijakan social distancing dan karantina wilayah (lockdown) baru banyak diterapkan sejak Maret lalu atau akhir kuartal I-2020, hingga saat ini, meski perlahan mulai dilonggarkan.
Pada periode Januari-Maret perekonomian AS mengalami kontraksi alias minus 4,8%. Jerome Powell, ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam sebuah wawancara dengan CBS mengatakan perekonomian AS berisiko terkontraksi 20% hingga 30% di kuartal II-2020.
"Data yang akan kita lihat di kuartal yang berakhir Juni, akan sangat buruk," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Senin (18/5/2020).
Powell juga melihat tingkat pengangguran akan meroket hingga mendekati saat masa depresi besar (great depression) tahun 1930an sebesar 25%.
"Akan ada penurunan besar dalam kegiatan ekonomi. lonjakan dalam pengangguran," tambahnya.
Meski demikian, Powell mengesampingkan kemungkinan terjadinya depresi, dan melihat ekonomi AS akan bangkit di kuartal III-2020.
Sementara itu dari Eropa, perekonomian Inggris di kuartal I-2020 sebesar -2%. Pada Kamis (7/5/2020) pekan lalu, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memberikan "skenario ilustratif" perekonomian Inggris di tahun ini, yang diprediksi menjadi yang terburuk dalam lebih dari 300 tahun terakhir.
Sepanjang triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Inggris diprediksi minus alias berkontraksi 25%. Dampaknya sepanjang tahun 2020 kontraksi diramal sebesar 14%, atau yang terburuk sejak tahun 1706, berdasarkan data historis yang dimiliki BoE.
Sementara itu, Jepang kini resmi mengalami resesi teknikal akibat pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal beruntun secara quarter-on-quarter (QoQ). Di kuartal I-2020, perekonomian Negeri Matahari Terbit -0,9% QoQ, di kuartal sebelumnya -1,9%.
Banyak analis memprediksi Jepang akan mengalami kemerosotan ekonomi terburuk sejak perang dunia II.
Kemerosotan ekonomi dan risiko resesi tersebut dapat membuat sentimen pelaku pasar memburuk, yang tentunya akan membebani rupiah.
(pap/pap)
Berdasarkan data Worldometer, hingga saat ini lebih dari 200 negara dan teritori terpapar Covid-19, nyaris tidak ada tempat yang aman dari virus yang berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei, China tersebut.
Jumlah kasus positif Covid-19 saat ini nyaris 5 juta orang, dengan 324.958 orang meninggal dunia, sementara hampir 2 juta orang sembuh.
Beberapa negara di Asia, Eropa, hingga AS sudah mengalami tren penurunan jumlah kasus per harinya, tetapi risiko penyebaran gelombang kedua tidak bisa dipandang sebelah mata.
China dan Korea Selatan yang sebelumnya sudah "menang" melawan virus corona kini harus kembali siaga akibat adanya penambahan kasus baru. Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin.
Sementara itu dari Korea Selatan, beberapa pekan lalu Korsel melaporkan penambahan kasus 1 digit bahkan sempat zero infection. Tetapi sejak pekan lau sudah ada ratusan kasus baru yang terjangkit dari sebuah klub.
Selama virus tersebut masih belum lenyap dari bumi ini, atau selama belum ditemukan vaksinnya, risiko penyebaran gelombang kedua masih tetap ada. Sehingga kebijakan social distancing kemungkinan masih akan terus berlaku di berbagai negara. Akibatnya roda perekonomian global belum bisa berputar dengan kencang, sehingga risiko kemerosotan ekonomi, resesi, bahkan depresi masih menghantui.
Data kontraksi pertumbuhan ekonomi negara-negara dengan nilai ekonomi besar di kuartal I-2020 sudah banyak dirilis, mulai dari Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, hingga Jepang. Tetapi itu baru awal, di kuartal II-2020 kontraksi diprediksi akan semakin dalam.
Maklum saja, kebijakan social distancing dan karantina wilayah (lockdown) baru banyak diterapkan sejak Maret lalu atau akhir kuartal I-2020, hingga saat ini, meski perlahan mulai dilonggarkan.
Pada periode Januari-Maret perekonomian AS mengalami kontraksi alias minus 4,8%. Jerome Powell, ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam sebuah wawancara dengan CBS mengatakan perekonomian AS berisiko terkontraksi 20% hingga 30% di kuartal II-2020.
"Data yang akan kita lihat di kuartal yang berakhir Juni, akan sangat buruk," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Senin (18/5/2020).
Powell juga melihat tingkat pengangguran akan meroket hingga mendekati saat masa depresi besar (great depression) tahun 1930an sebesar 25%.
"Akan ada penurunan besar dalam kegiatan ekonomi. lonjakan dalam pengangguran," tambahnya.
Meski demikian, Powell mengesampingkan kemungkinan terjadinya depresi, dan melihat ekonomi AS akan bangkit di kuartal III-2020.
Sementara itu dari Eropa, perekonomian Inggris di kuartal I-2020 sebesar -2%. Pada Kamis (7/5/2020) pekan lalu, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memberikan "skenario ilustratif" perekonomian Inggris di tahun ini, yang diprediksi menjadi yang terburuk dalam lebih dari 300 tahun terakhir.
Sepanjang triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Inggris diprediksi minus alias berkontraksi 25%. Dampaknya sepanjang tahun 2020 kontraksi diramal sebesar 14%, atau yang terburuk sejak tahun 1706, berdasarkan data historis yang dimiliki BoE.
Sementara itu, Jepang kini resmi mengalami resesi teknikal akibat pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal beruntun secara quarter-on-quarter (QoQ). Di kuartal I-2020, perekonomian Negeri Matahari Terbit -0,9% QoQ, di kuartal sebelumnya -1,9%.
Banyak analis memprediksi Jepang akan mengalami kemerosotan ekonomi terburuk sejak perang dunia II.
Kemerosotan ekonomi dan risiko resesi tersebut dapat membuat sentimen pelaku pasar memburuk, yang tentunya akan membebani rupiah.
(pap/pap)
Next Page
Ekonomi Indonesia Juga Terancam
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular