
Saham BBRI, BMRI & BBNI Melesat, Isu Bank Jangkar Pudar?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepanikan atas isu bank jangkar (anchor bank) mulai reda pagi ini. Harga saham bank-bank besar milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami kenaikan signifikan.
Hingga pukul 09.20 WIB, harga saham bank-bank pelat merah naik tajam. Harga saham BBRI terapresiasi sebesar 6,45% ke level Rp 2.310/saham, Harga BMRI ditutup naik ke level Rp 3.900/saham atau kenaikan sebesar 4,94%, sedangkan BBNI tercatat terbang 3,90% ke level harga Rp3.470/saham.
Investor Asing juga nampaknya sudah mulai percaya diri menempatkan dana mereka di bank-bank ini. Hal ini ditunjukkan oleh aksi beli bersih investor asing di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebanyak Rp 5,3 miliar. Sedangkan saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) masih dijual bersih asing sebanyak Rp 30,9 miliar, dan PT bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga dijual bersih asing sebanyak Rp 8,99 miliar.
Kemarin Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, turut memberikan ketenangan kepada para pelaku pasar atas isu bank jangkar ini.
Sri Mulyani menjelaskan, penempatan dana pemerintah di perbankan bertujuan untuk mendukung langkah-langkah restrukturisasi kredit UMKM dan mendukung perbankan dan lembaga pembiayaan untuk bisa memberikan kredit modal kerja baru agar UMKM bangkit kembali. Selain itu, mengembalikan confidence perbankan untuk menyalurkan kredit modal kerja pada UMKM.
Sri Mulyani menegaskan, penempatan dana pemerintah di bank untuk membantu debitur UMKM, bukanlah untuk membantu likuiditas perbankan itu sendiri karena bantuan likuiditas perbankan ada di bawah wewenang Bank Indonesia (BI).
"Saya tekankan di sini, penempatan dana pemerintah bukanlah merupakan penyangga untuk membantu likuiditas perbankan karena itu adalah tugas Bank Indonesia. Tugas pengawasan bank, tetap ada di OJK, dan tugas penjaminan tetap dilakukan LPS. Jadi, Pemerintah tidak mengambil alih atau tugas masing-masing lembaga dilakukan sesuai dengan mandat Undang-Undang lembaga-lembaga tersebut yang kebetulan keempatnya adalah komponen KSSK," ujar sang bendahara negara, Senin (18/5/2020).
Sebelumnya, isu ini muncul setelah OJK memperkenalkan mekanisme bantuan likuiditas bernama bank jangkar atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun disebut dengan Bank Peserta. Bank-bank ini akan menjadi penyedia likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akibat COVID-19.
Ekonom Senior PT Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Mikail, mengatakan kebijakan ini jika tidak dijelaskan secara rinci bakal menjadi sentimen negatif ke investor karena ketidakjelasan siapa yang akan menanggung risiko kalau asset backed securities (efek beragun aset) dari bank-bank kecil yang pinjam dana ke Bank Peserta tadi gagal bayar selamanya.
Dia menjelaskan, meskipun OJK menyatakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan menjamin risiko kredit dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana oleh Bank Jangkar, hal ini tetap akan meningkatkan risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di dalam Jank Jangkar.
Selain risiko yang bakal ditanggung bank besar yang menjadi Bank Peserta, Bank Peserta ini pun mendapat tekanan lain yakni restrukturisasi kredit yang jumlahnya begitu banyak, terutama bank-bank besar BUMN alias bank yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara).
"Siapa yang harus menanggung? Sedangkan di saat bersamaan bank-bank Himbara itu juga sedang melakukan restrukturisasi kredit yang begitu banyak, jadi mereka seakan akan dibebankan dengan banyak kredit bermasalah dari internal mereka sendiri, dan harus merekstrukturisasi banyak NPL [kredit bermasalah]," tegas Ahmad, kepada CNBC Indonesia, Sabtu (16/5/2020).
Merespons ketidakpastian kabar ini OJK menjelaskan mekanisme bantuan likuiditas yang dijelaskan Bank Jangkar atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun disebut dengan Bank Peserta.
Jadi bank-bank yang selama ini menjadi supplier di pasar uang antarbank (PUAB) nantinya akan menjadi bank anchor atau Bank Jangkar. Tujuan penunjukan Bank Jangkar ini adalah sebagai penyedia likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akibat Covid-19.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, mengatakan Bank Jangkar alias Bank Peserta ini akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Jangkar. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan gadai atau repurchase agreement (repo) SBN (surat berharga negara) yang dimilikinya kepada Bank Indonesia (BI).
Wimboh menjelaskan, mekanisme penyangga likuiditas ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam PP itu disebutkan, penanganan kebutuhan likuiditas dipenuhi dari kapasitas internal bank terlebih dahulu melalui PUAB/Repo/PLJP (pinjaman likuiditas jangka pendek) Bank Indonesia sebelum mengajukan permintaan bantuan likuiditas dari pemerintah.
Pemerintah kemudian menempatkan dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan di Bank Peserta alias Bank Jangkar ini.
Risiko yang ditanggung pemerintah terhadap bank di mana pemerintah menempatkan dananya itu dijamin oleh LPS. Kemudian Bank Pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta. Khusus Perusahaan Pembiayaan dan BPR (bank perkreditan rakyat) juga bisa mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana.
Risiko kredit dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana dimitigasi dengan agunan kredit lancar dan dijamin LPS.
"Di dalam PP 23 itu, disebutkan Bank Peserta ini nanti bisa memberikan ruang pinjaman ke bank lain atau Bank Pelaksana dengan underlying-nya atau dengan jaminannya kredit-kredit yang direstrukturisasi tadi," kata Wimboh, dalam teleconference, Jumat (15/5/2020).
Jadi simpelnya, mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Peserta. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan repo SBN ke BI.
Menurut Hans Kwee, Direktur PT Anugerah Mega Investama sekaligus Dosen FEB Trisakti dan MET Atmajaya, mengatakan investor awalnya sangat mengkhawatirkan penerapan bank jangkar. Hal ini pun terlihat dari tren punurunan di pasar saham selama sepekan lalu.
"Pelaku pasar khawatir akibat risiko yang di hadapi bank jangkar sekaligus ketidakjelasan mekanisme pelaksanan bank jangkar. Tetapi setelah melihat penjelasan OJK maka kami menilai bank jangkar harusnya tidak dirugikan bahkan mendapatkan beberapa manfaat," katanya dalam keterangan resminya, Minggu (17/5/2020).
(trp/hps) Next Article OJK Jelaskan Bank Jangkar, Masihkah Saham Bank Dilepas Asing?