Bursa Asia Merah, IHSG Bisa Mengekor Seandainya Tidak Libur

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 May 2020 17:40
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham Asia melemah pada perdagangan Kamis (7/5/2020). Sementara pasar keuangan dalam negeri hari ini libur Hari Raya Waisak. Seandainya tidak libur, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berisiko juga berakhir di zona merah.

Indeks Shanghai China dan Hang Seng Hong Kong masing-masing melemah 0,23% dan 0,65%, kemudian Kospi Korea Selatan nyaris stagnan. Indeks Nikkei dan Strait Times Singapura masing-masing menguat 0,28% dan 0,75%.

China pada hari ini melaporkan tingkat ekspor China, ekspor dalam denominasi dolar naik 3,5% di bulan April dibandingkan tahun lalu. Sementara pada periode yang sama impor merosot 14,2%. Ekonom yang disurvei Reuters sebelumnya memprediksi ekspor China akan merosot 15,7% du bulan April, sementara impor turun 11,2%.

Meski ekspor masih menunjukkan peningkatan, tetapi beberapa bulan ke depan diprediksi masih akan tertekan.

"Ekspor barang lebih baik dari prediksi di bulan April. Kami pikir peningkatan ekspor hanya sementara, dan dalam beberapa bulan akan kembali kehilangan momentum," kata ekonom dari Oxford dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.



"Outlook ekspor jelas sangat menantang akibat penurunan permintaan saat mitra-mitra dagang utama China jatuh ke dalam resesi akibat menerapkan kebijakan lockdown dan social distancing guna meredam penyebaran Covid-19" tulis ekonom tersebut.

Selain itu sentimen negatif juga datang dari memanasnya hubungan Amerika Serikat dengan China yang bisa memicu babak baru perang dagang.

Memburuknya hubungan kedua negara bermula dari AS yang menuduh China menutup-nutupi wabah di awal kemunculannya sehingga kini wabah itu menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan kematian banyak orang, serta merugikan ekonominya.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah China bersikap diplomatis. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan AS bukanlah musuh China.

"Masyarakat AS harus jelas terkait hal ini: China bukan musuh mereka," ujar Geng dalam konferensi pers seperti dilansir CNN International, Senin (20/4/2020).

"Kami berharap orang-orang di AS menghargai fakta, sains, dan konsensus internasional. Mereka harus berhenti menyerang dan menyalahkan China, membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab, dan lebih fokus pada situasi domestik dan kerja sama internasional," katanya.

Tetapi Presiden AS Donald Trump, malah terus menyerang China dan berencana menuntut kompensasi.

Namun demikian Trump menyatakan dirinya belum bisa menentukan jumlah akhir dari biaya kompensasi tersebut. Tetapi ia menyebut nilainya lebih besar dari yang disebutkan oleh seorang editor media terkemuka Jerman yang baru-baru ini meminta China membayar ganti rugi ke Jerman senilai US$ 165 miliar atau sekitar RP 2.475 triliun untuk menutupi kerugian ekonomi Jerman akibat Covid-19.

"Jerman melihat beberapa hal, kami melihat beberapa hal juga," katanya, menurut AFP, Senin (27/4/2020). "Kami berbicara tentang lebih banyak uang daripada yang dibicarakan Jerman."

Tidak hanya kompensasi, Trump juga mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, pekan lalu.

"Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).

Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.

"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."
Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.



"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Terus diserang tentunya membuat China mulai gerah, dan mempertimbangkan langkah-langkah balasan jika benar AS kembali menaikkan bea impor atau membatalkan kesepakatan dagang fase I.

"Perang" melawan Covid-19 masih belum berakhir, jika perang dagang kedua negara kembali berkecambuk, perekonomian global diramal akan mengalami resesi dalam waktu yang panjang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.

"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.

L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang lebih dramatis ketimbang U-shape dan V-shape.

Merosotnya perekonomian global hingga mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 di tahun ini diprediksi bisa segera bangkit ketika Covid-19 berhasil dihentikan, oleh karenanya perekonomian diprediksi akan membentuk kurva V-shape. Tetapi banyak yang meragukan hal tersebut, dan kurva U-shape dikatakan lebih tepat, dimana perekonomian mengalami resesi dan agak lama berada di bawah sebelum akhirnya bangkit.

Sementara dalam L-shape perekonomian global mengalami resesi, kemudian memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Indeks Nikkei di Rekor Tertinggi 33 Tahun, IHSG Kapan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular