
Hari ini, Yen Jadi Mata Uang Paling Diincar Pelaku Pasar
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 May 2020 15:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar yen menguat melawan nyaris semua mata uang utama pada perdagangan Rabu (6/5/2020), mengindikasikan mata uang Jepang ini menjadi yang paling diincar pelaku pasar. Rupiah juga menjadi salah satu yang terkena dampak perkasanya yen.
Pada pukul 14:08 WIB, yen menguat 0,25% melawan dolar AS ke 106,31/US$, kemudian 0,14% melawan euro, yen bahkan mencapai level terkuat 3 tahun di 115,04/EUR atau menguat 0,36% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Poundsterling juga dibuat melemah 0,26% ke 132,2/GBP, dan rupiah melemah 0,55% ke Rp 141,74/JPY.
Ketegangan antara Amerika Serikat dengan China menjadi pemicu penguatan yen, maklum saja mata uang ini dianggap aset aman (safe haven), bahkan lebih safe haven dibandingkan dolar AS.
Pada pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor akibat cara penanganan penyakit virus corona (Covid-19) yang dilakukan China sehingga menjadi pandemi global.
Hal ini dikatakan Trump dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, Kamis (30/4/2020) waktu setempat. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).
Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.
"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."
Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.
"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
"Perang" melawan Covid-19 masih belum berakhir, jika perang dagang kedua negara kembali berkecambuk, perekonomian global diramal akan mengalami resesi dalam waktu yang panjang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.
"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.
L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang lebih dramatis ketimbang U-shape dan V-shape.
Merosotnya perekonomian global hingga mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 di tahun ini diprediksi bisa segera bangkit ketika Covid-19 berhasil dihentikan, oleh karenanya perekonomian diprediksi akan membentuk kurva V-shape. Tetapi banyak yang meragukan hal tersebut, dan kurva U-shape dikatakan lebih tepat, dimana perekonomian mengalami resesi dan agak lama berada di bawah sebelum akhirnya bangkit.
Sementara dalam L-shape perekonomian global mengalami resesi, kemudian memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih.
Akibatnya yen kembali menjadi incaran pelaku pasar saat ini.
"Yen menjadi mata uang utama sejak krisis (AS-China) dimulai, dan akan terus seperti itu" kata Kit Jukes, kepala strategi valas di Societe Generale, sebagaimana dilansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Buat Rekor Buruk, Rupiah Keok Lawan Mata Uang di Semua Benua!
Pada pukul 14:08 WIB, yen menguat 0,25% melawan dolar AS ke 106,31/US$, kemudian 0,14% melawan euro, yen bahkan mencapai level terkuat 3 tahun di 115,04/EUR atau menguat 0,36% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Poundsterling juga dibuat melemah 0,26% ke 132,2/GBP, dan rupiah melemah 0,55% ke Rp 141,74/JPY.
Pada pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor akibat cara penanganan penyakit virus corona (Covid-19) yang dilakukan China sehingga menjadi pandemi global.
Hal ini dikatakan Trump dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, Kamis (30/4/2020) waktu setempat. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).
Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.
"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."
Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.
"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
"Perang" melawan Covid-19 masih belum berakhir, jika perang dagang kedua negara kembali berkecambuk, perekonomian global diramal akan mengalami resesi dalam waktu yang panjang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.
"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.
L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang lebih dramatis ketimbang U-shape dan V-shape.
Merosotnya perekonomian global hingga mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 di tahun ini diprediksi bisa segera bangkit ketika Covid-19 berhasil dihentikan, oleh karenanya perekonomian diprediksi akan membentuk kurva V-shape. Tetapi banyak yang meragukan hal tersebut, dan kurva U-shape dikatakan lebih tepat, dimana perekonomian mengalami resesi dan agak lama berada di bawah sebelum akhirnya bangkit.
Sementara dalam L-shape perekonomian global mengalami resesi, kemudian memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih.
Akibatnya yen kembali menjadi incaran pelaku pasar saat ini.
"Yen menjadi mata uang utama sejak krisis (AS-China) dimulai, dan akan terus seperti itu" kata Kit Jukes, kepala strategi valas di Societe Generale, sebagaimana dilansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Buat Rekor Buruk, Rupiah Keok Lawan Mata Uang di Semua Benua!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular