Corona, Resesi Ekonomi & Babak Baru Perang Dagang AS-China

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 May 2020 12:24
Presiden Donald Trump di acara penandatanganan perjanjian perdagangan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. ((AP Photo/Evan Vucci))
Foto: Presiden Donald Trump di acara penandatanganan perjanjian perdagangan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. ((AP Photo/Evan Vucci))
Jakrta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) belum selesai menjangkiti dunia, tetapi kini ancaman baru muncul dari kemungkinan babak baru perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Menariknya, kemungkinan babak baru perang dagang ini dipicu oleh virus corona.

Presiden AS Donald Trump mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor akibat cara penanganan virus corona yang dilakukan China sehingga menjadi pandemi global.

Hal ini dikatakan Trump dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, Kamis (30/4/2020) waktu setempat. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).

Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.

"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."



Sejauh ini belum ada tanggapan dari China terkait ancaman tersebut, tetapi pasar sudah terlanjur cemas. Pandemi Covid-19 sudah membawa perekonomian global mengalami resesi, bahkan diperkirakan akan menjadi yang terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) pada tahun 1930an, apalagi jika ditambah babak baru perang dagang AS

Seperti diketahui, pada bulan Januari lalu Amerika Serikat dan China sudah menandatangani kesepakatan dagang fase I.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar. Tarif sebesar 25% dari masing-masing negara tersebut baru akan dibahas pada negosiasi dagang fase II.

"Bea masuk masih berlaku, tapi saya setuju untuk menurunkan bea masuk jika kita bisa mencapai 'fase II'. Dengan kata lain, kita akan bernegosiasi mengenai bea masuk" kata Trump saat menandatangani kesepakatan dagang fase I 15 Januari waktu AS lalu.

Perundingan dagang fase II rencananya akan dilakukan setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) di AS bulan November nanti. Tetapi dengan adanya ancaman baru dari Trump, tampaknya kesepakatan dagang justru akan mengarah ke babak baru perang dagang.



Seberapa besar bea masuk yang akan dikenakan masih belum diketahui, mengingat ini baru ancaman awal dari Trump. Tetapi jika memang benar akhirnya kembali dilakukan ada kemungkinan bea masuk yang dibatalkan Trump di akhir tahun 2019 lalu yang akan diterapkan kembali. 

Pada 15 Desember lalu, AS seharusnya mengenakan bea masuk senilai 15% untuk produk impor dari China senilai US$ 160 miliar. Tetapi Presiden Trump membatalkannya setelah mencapai kesepakatan dagang dengan China yang akhirnya ditandatangani pada pertengahan Januari 2020.

Perang dagang AS-China pada tahun lalu telah membuat perekonomian global melambat, kemudian muncul pandemi Covid-19 yang membawa dunia ke jurang resesi, jika ditambah dengan babak baru perang dagang, resesi sepertinya akan panjang.


[Gambas:Video CNBC]




Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dalam laporan terbaru yang dirilis pertengahan April lalu dengan judul The Great Lockdown, memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.

Lembaga yang berkantor pusat di Washington tersebut juga menyatakan krisis yang terjadi kali ini jauh lebih parah dibandingkan dengan krisis finansial global tahun 2008.

"Ini adalah krisis yang tidak sama dengan krisis lainnya. Sekarang begitu banyak ketidakpastian tentang bagaimana hidup dan kehidupan manusia. Kita bergantung kepada epidemologi dari sang virus, efektivitas upaya pencegahan penularan, pengembangan vaksin, yang semuanya tidak mudah untuk diprediksi," sebut Gita Gopinath, Penasihat Ekonomi IMF.

Perekonomian AS, sebagai yang terbesar di muka bumi ini diprediksi minus 5,9% di tahun ini. Kemudian China, negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua setelah AS diprediksi hanya akan tumbuh 1,3%.

Tetapi kabar bagusnya, untuk tahun depan perekonomian diprediksi akan melesat. Secara global diramal tumbuh 5,8% di tahun 2021, AS akan tumbuh 4,7% dan China 9,2%.

imfFoto: Dana Moneter Internasional (IMF)


Itu artinya kurva pemulihan ekonomi akan berbentuk V-shape, artinya merosot tajam dalam waktu singkat, kemudian langsung melesat naik lagi.

Tetapi kini mulai banyak yang meragukan pemulihan V-shape tersebut, dan lebih melihat kemungkinan U-shape, artinya pertumbuhan ekonomi agak lama mengalami resesi sebelum bangkit kembali.

Reuters menggelar jajak pendapat yang melibatkan 155 ekonom yang hasilnya lumayan mengkhawatirkan. Median dari survei tersebut adalah, ekonomi global diperkirakan terkontraksi -2% pada tahun ini. Lebih dalam dibandingkan survei tiga pekan lalu yang menghasilkan median -1,2%.

Bukan cuma itu, hal yang perlu diperhatikan adalah seberapa lama waktu yang dibutuhkan agar perekonomian dunia bisa pulih. Ternyata sekitar 56% responden memperkirakan pola pemulihan ekonomi akan berbentuk U-shape.



"Ekonomi dunia jatuh dalam kecepatan yang belum pernah terlihat sejak Perang Dunia II. Sampai vaksin ditemukan dan diproduksi massal, maka pemulihan ekonomi akan lebih ke arah U-shape ketimbang V-Shape," kata Michael Hanson, Ekonom Senior JPMorgan, seperti dikutip dari Reuters.

Hasil survei tersebut tentunya belum memperhitungkan babak baru perang dagang AS-China. Jika itu sampai terjadi, di saat pandemi Covid-19 belum lenyap dari muka bumi ini, maka resesi berkepanjangan bisa terjadi, dan kurva ekonomi bisa menjadi L-shape.

Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.

"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.

L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang lebih dramatis ketimbang U-shape, dimana perekonomian global mengalami resesi, kemudian memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih.

Perekonomian global masih jauh dari kata pulih akibat pandemi Covid-19, kini sudah muncul isu babak baru perang dagang, tantangan yang dihadapi pun semakin besar, jangan sampai terjadi resesi berkepanjangan hingga akhirnya menjadi depresi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular