Jangan Kaget! Harga Emas Diramal Bisa Tembus Rp 2 Juta/gram

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 April 2020 17:04
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia kembali menguat memasuki perdagangan sesi Eropa, Kamis (23/4/2020), dan berada di atas US$ 1.700/troy ons. Sepanjang tahun ini hingga Rabu kemarin, harga emas sudah mencatat penguatan nyaris 13%.

Penguatan tersebut menjadikan emas salah satu sebagai aset yang paling cuan di tahun ini di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membawa perekonomian global menuju resesi yang dalam.

Meski demikian, penguatan 13% tersebut sepertinya tidak akan ada artinya jika melihat prediksi para analis yang bullish (tren naik) terhadap emas.

Di akhir Maret lalu, analis dari WingCapital Investment memprediksi harga emas US$ 3.000/troy ons. Saat itu, level tersebut terlihat luar biasa tinggi bagi emas. Untuk diketahui, rekor tertinggi harga emas adalah US$ 1.920/troy ons yang dicapai 6 September 2011, nyaris satu dekade yang lalu.

Semenjak saat itu, harga emas terus merosot, mengalami fase konsolidasi, hingga akhirnya mulai melesat naik lagi sejak pertengahan tahun lalu.

Kini, tidak hanya analis dari WingCapital yang memprediksi emas akan terbang tinggi, tetapi bank investasi ternama, Bank of America (BofA) juga memprediksi emas akan ke US$ 3.000/troy ons dalam 18 bulan ke depan.



1 troy ons setara dengan 31,1 gram, sehingga jika harga emas mencapai US$ 3.000/troy ons itu artinya harga per gramnya dalam rupiah sekitar Rp 1,5 juta (kurs: Rp 15.500/US$).



Berdasarkan data Refinitiv, harga emas pada pukul 13:40 WIB berada di kisaran US$ 1.724/troy ons, menguat 0,64% dibandingkan perdagangan kemarin. Itu artinya jika mencapai level US$ 3.000/troy ons, harga emas akan melesat sekitar 74%.

Melesat lagi
Terlihat luar biasa, tetapi jangan kaget kalau harga emas diramal bisa terbang lebih tinggi lagi. Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi dalam jangka panjang emas akan di atas US$ 4.000/troy ons atau sekitar Rp 2 juta/gram (kurs: Rp 15.500/US$).

Hansen mengatakan pelaku pasar belum paham sepenuhnya bagaimana dampak kebijakan bank sentral dan pemerintah di berbagai negara ke pasar finansial.

"Dari perspektif investasi emas, ini bukan mengenai apa yang terjadi hari ini, besok, atau bulan depan, tetapi apa yang akan terjadi 6 sampai 12 bulan ke depan atau lebih dari itu" kata Hansen, sebagaimana dikutip Kitco.

Hansen memprediksi di akhir tahun ini harga emas berada di US$ 1.800/troy ons, kemudian mencetak rekor tertinggi di 2021, dan dalam jangka panjang berada di atas US$ 4.000/troy ons.

[Gambas:Video CNBC]



Pelonggaran moneter secara global yang terjadi mulai tahun lalu menjadi pijakan awal emas menguat.

Pandemi Covid-19 yang membawa perekonomian global ke jurang resesi membuat bank sentral di berbagai negara secara agresif melonggarkan kebijakan moneter semakin agresif di tahun ini.

Negeri Paman Sam menjadi yang paling agresif. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%, kemudian mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat.

Itu baru The Fed, bank sentral lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama, bank sentral Australia misalnya, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah menerapkan program QE.

Tidak hanya bank sentral, pemerintah di berbagai negara juga menggelontorkan stimulus fiskal. Pemerintah AS sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah.

Stimulus moneter dan fiskal tersebut membuat pasar banjir likuiditas, kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi emas.

Banjir likuiditas tersebut akan memicu terjadinya inflasi, dan menurun Hansen dari Saxo Bank itulah yang akan membawa harga emas terbang tinggi ke atas US$ 4.000/troy ons dalam jangka panjang.

Di tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed dan bank sentral lainnya di Eropa menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga rendah serta QE, dampaknya harga emas terus bergerak naik hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2011.



Sementara itu, analis dari WingCapital Investment menggunakan pendekatan yang berbeda. Analis lebih melihat peningkatan belanja pemerintah dengan gelontoran stimulus tersebut dapat menaikkan rasio utang terhadap produk domestic bruto (PDB) akan membawa harga emas terbang tinggi.

"Secara historis kami melihat rasio utang terhadap PDB memiliki korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan balance sheet [neraca] The Fed (terhadap harga emas)" tulis analis WingCapital yang dikutip Kitco.

Untuk saat ini, belanja masif pemerintah AS guna memerangi COVID-19 diprediksi akan membengkakkan defisit anggaran, hingga rasio utang terhadap PDB akan menyamai ketika perang dunia II ketika naik sebesar 30% tahun ini. Sementara itu, beberapa analis lainnya melihat rasio tersebut akan naik sekitar 10% sampai 14%.

Untuk diketahui, saat ini rasio utang terhadap PDB AS pada tahun 2019 mencapai 108,28% dari PDB, berdasarkan data CEIC.



Sebagai perbandingan pada tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, rasio utang terhadap PDB AS naik sekitar sebesar 8% di tahun 2008 dari tahun 2007 menjadi 72,72%.

Kemudian naik lagi 12% menjadi 85,21% di tahun 2009. Laju kenaikan tersebut mulia menurun pada tahun 2010 dan harga emas mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada September 2011, setelahnya malah terus melorot seiring melambatnya laju kenaikan rasio utang terhadap PDB AS.

"Dalam prospek harga, menggunakan panduan pasca krisis finansial 2008 ketika pasar bullish dan harga emas naik dua kali lipat 3 tahun setelahnya, menurut kami target emas jangka panjang ke US$ 3.000/troy ons menjadi masuk akal" kata analis tersebut.

Bank of America (BofA) yang juga memprediksi harga emas akan ke US$ 3.000/US$, tetapi lebih cepat lagi yakni 18 bulan ke depan. Analis dari BofA tersebut melihat semua faktor-faktor yang disebutkan di atas, mulai dari perekonomian global yang mengalami resesi, kemudian stimulus fiskal serta peningkatan neraca bank sentral akan membuat pelaku pasar memburu emas sebagai investasi, sehingga harganya akan melonjak.


Secara teknikal, Tim Riset CNBC Indonesia sudah memberikan outlook bullish untuk emas sejak pertengahan tahun lalu.

Untuk melihat pergerakan emas dalam jangka panjang, tentunya menggunakan grafik dengan time frame yang besar bisa mingguan atau bulanan.

Pada grafik bulanan, emas bergerak di atas rerata pergerakan 50 (Moving Average/MA 50), MA 100 bulan dan MA 200 bulan. Posisi bisa menjadi indikasi emas dalam periode bullish.

Jangan Kaget! Emas 'Diramal' ke US$ 4.000/oz (Rp 2 Juta/gram)Grafik: Emas (XAU/USD) Bulanan
Foto: Refinitiv


Kemudian menambahkan indikator Fibonacci Retracement yang ditarik dari 6 September 2011 US$ 1.920.3/troy ons (level tertinggi sepanjang masa) ke 3 Desember 2015 US$ 1.045,85 (level terendah sejak mencapai rekor tertinggi).

Emas saat ini bergerak di atas Retracement 61,8% di US$ 1.586/troy ons, jika di akhir bulan nanti mampu bertahan di atas level tersebut emas berpeluang terus menguat menuju rekor tertinggi sepanjang sejarah US$ 1.920.3/troy ons yang merupakan Retracement 100%.

Penembusan di atas rekor tertinggi yang sudah bertahan nyaris 1 dekade tentunya akan memicu aksi beli, dan emas berpeluang terbang tinggi.

Kemudian Retracement 50% berada di level US$ 1.483/troy ons yang bisa menjadi support (tahanan bawah) yang kuat.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular