
'Saktinya' Rupiah, dari Terburuk di Asia Kini Jadi Juara 3
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 April 2020 15:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berbalik menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (23/4/2020) setelah sepanjang hari berada di zona merah.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung merosot 0,64% di Rp 15.498/US$. Depresiasi rupiah semakin besar hingga 0,88% di Rp 15.535/US$. Dengan pelemahan tersebut rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada tengah hari.
Rupiah bahkan masih berada di zona merah hingga 15 menit sebelum perdagangan ditutup. Perlahan Mata Uang Garuda kemudian memangkas pelemahan, stagnan kemudian menguat hingga 0,32% di akhir perdagangan, berada di level US$ 15.350/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Dengan penguatan tersebut, rupiah menduduki peringkat 3 terbaik di Asia. Hingga pukul 15:05 WIB, rupiah hanya kalah dari rupee India yang menguat 0,42% dan won Korea Selatan 0,38%. Tetapi posisi tersebut tentunya bisa berubah, mengingat perdagangan di beberapa negara Asia termasuk India dan Korea Selatan belum berakhir.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
Rupiah pada perdagangan Rabu kemarin berakhir stagnan setelah sempat anjlok nyaris 1%. Dengan berakhir stagnan, rupiah mampu mempertahankan penguatan sebesar 5,52% melawan dolar AS sepanjang bulan ini.
Dengan penguatan tajam tersebut, rupiah tentunya rentan terkena koreksi. Benar saja, rupiah melemah tajam di awal perdagangan hingga tengah hari, padahal sentimen pelaku pasar sedang bagus setelah harga minyak mentah merangkak naik.
Ketika sentimen pelaku pasar sedang bagus, rupiah cenderung "mengerikan" bagi dolar AS, dan itu terbukti di akhir perdagangan. Dengan penguatan hari ini, total rupiah menguat 5,83% sepanjang April.
Harga minyak mentah yang mulai merangkak naik membuat sentimen pelaku pasar membaik. Minyak jenis Brent menguat sekitar 3% dan kembali ke atas US$ 20/barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat nyaris 4% diperdagangkan di kisaran US$ 14/barel pagi ini, berdasarkan data Refinitiv.
Sebelumnya di awal pekan, jagat finansial dibuat heboh kemarin setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan.
Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa (21/4/2020), dan kontrak yang paling aktif diperdagangkan adalah kontrak bulan Juni. Di akhir perdagangan Senin, minyak WTI kontrak Juni berada di level US$ 20,43/barel dan lebih tepat menggambarkan pasar minyak mentah yang sebenarnya.
Namun, pada hari Selasa minyak WTI kontrak Juni tersebut akhirnya ambles juga, sempat menyentuh level terendah intraday US$ 6,5/barel sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 11,57/barel. Harga minyak Brent juga ikut ambles ke bawah US$ 20/barel dan mencapai level terendah sejak 2001.
Rabu kemarin, minyak akhirnya pulih meski sempat mengalami aksi jual di awal perdagangan, dan hari ini minyak mentah bergerak lebih stabil. Pulihnya harga minyak sejak kemarin membuat sentimen pelaku pasar membaik yang tercermin dari penguatan bursa saham Eropa dan Amerika Serikat (Wall Street). Pasar Asia mendapat hawa positif hari ini, dan rupiah kembali perkasa.
Rabu kemarin, rupiah berhasil lolos dari zona merah di menit-menit perdagangan saat Gubernur Bank Indonesia (B) Perry Warjiyo memaparkan Perkembangan Ekonomi Terkini melalui video conference.
Perry sekali lagi menebar optimisme di pasar finansial dengan mengatakan puncak kepanikan global akibat pandemi Covid-19 sudah berlalu, puncaknya di pekan kedua Maret.
Perry juga mengatakan dana asing yang masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 4,37 triliun.
"Kami pantau, data-data yang transaksi harian, dari non residence atas investasi portofolio SBN, saham dari 13-20 April lalu. Dari pemantauan kami terjadi inflow asing dari non residence terhadap SBN. Data kami menunjukkan, 13-20 April inflow Rp 4,37 triliun," ujar Perry, secara virtual, di Jakarta, Rabu (22/04/2020).
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi, total kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 926,91 triliun per 31 Maret. Dampaknya rupiah pun bergejolak.
Inflow sempat terjadi di pasar saham, di akhir sesi I investor asing melakukan aksi net buy sekitar Rp 28 miliar. Tetapi sayangnya kembali terjadi outflow di sesi II.
Hal sebaliknya terjadi di pasar obligasi yang tercermin dari pergerakan yield hari ini. Siang tadi sepertinya sedang terjadi outflow melihat yield obligasi tenor 10 tahun yang naik 3,2 basis poin menjadi 7,871. Tetapi di akhir perdagangan hari ini, yield tersebut menurun menjadi 7,842, yang memberikan gambaran kemungkinan terjadinya inflow di pasar obligasi.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung merosot 0,64% di Rp 15.498/US$. Depresiasi rupiah semakin besar hingga 0,88% di Rp 15.535/US$. Dengan pelemahan tersebut rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada tengah hari.
Rupiah bahkan masih berada di zona merah hingga 15 menit sebelum perdagangan ditutup. Perlahan Mata Uang Garuda kemudian memangkas pelemahan, stagnan kemudian menguat hingga 0,32% di akhir perdagangan, berada di level US$ 15.350/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
Rupiah pada perdagangan Rabu kemarin berakhir stagnan setelah sempat anjlok nyaris 1%. Dengan berakhir stagnan, rupiah mampu mempertahankan penguatan sebesar 5,52% melawan dolar AS sepanjang bulan ini.
Dengan penguatan tajam tersebut, rupiah tentunya rentan terkena koreksi. Benar saja, rupiah melemah tajam di awal perdagangan hingga tengah hari, padahal sentimen pelaku pasar sedang bagus setelah harga minyak mentah merangkak naik.
Ketika sentimen pelaku pasar sedang bagus, rupiah cenderung "mengerikan" bagi dolar AS, dan itu terbukti di akhir perdagangan. Dengan penguatan hari ini, total rupiah menguat 5,83% sepanjang April.
Harga minyak mentah yang mulai merangkak naik membuat sentimen pelaku pasar membaik. Minyak jenis Brent menguat sekitar 3% dan kembali ke atas US$ 20/barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat nyaris 4% diperdagangkan di kisaran US$ 14/barel pagi ini, berdasarkan data Refinitiv.
Sebelumnya di awal pekan, jagat finansial dibuat heboh kemarin setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan.
Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa (21/4/2020), dan kontrak yang paling aktif diperdagangkan adalah kontrak bulan Juni. Di akhir perdagangan Senin, minyak WTI kontrak Juni berada di level US$ 20,43/barel dan lebih tepat menggambarkan pasar minyak mentah yang sebenarnya.
Namun, pada hari Selasa minyak WTI kontrak Juni tersebut akhirnya ambles juga, sempat menyentuh level terendah intraday US$ 6,5/barel sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 11,57/barel. Harga minyak Brent juga ikut ambles ke bawah US$ 20/barel dan mencapai level terendah sejak 2001.
Rabu kemarin, minyak akhirnya pulih meski sempat mengalami aksi jual di awal perdagangan, dan hari ini minyak mentah bergerak lebih stabil. Pulihnya harga minyak sejak kemarin membuat sentimen pelaku pasar membaik yang tercermin dari penguatan bursa saham Eropa dan Amerika Serikat (Wall Street). Pasar Asia mendapat hawa positif hari ini, dan rupiah kembali perkasa.
Rabu kemarin, rupiah berhasil lolos dari zona merah di menit-menit perdagangan saat Gubernur Bank Indonesia (B) Perry Warjiyo memaparkan Perkembangan Ekonomi Terkini melalui video conference.
Perry sekali lagi menebar optimisme di pasar finansial dengan mengatakan puncak kepanikan global akibat pandemi Covid-19 sudah berlalu, puncaknya di pekan kedua Maret.
Perry juga mengatakan dana asing yang masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 4,37 triliun.
"Kami pantau, data-data yang transaksi harian, dari non residence atas investasi portofolio SBN, saham dari 13-20 April lalu. Dari pemantauan kami terjadi inflow asing dari non residence terhadap SBN. Data kami menunjukkan, 13-20 April inflow Rp 4,37 triliun," ujar Perry, secara virtual, di Jakarta, Rabu (22/04/2020).
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi, total kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 926,91 triliun per 31 Maret. Dampaknya rupiah pun bergejolak.
Inflow sempat terjadi di pasar saham, di akhir sesi I investor asing melakukan aksi net buy sekitar Rp 28 miliar. Tetapi sayangnya kembali terjadi outflow di sesi II.
Hal sebaliknya terjadi di pasar obligasi yang tercermin dari pergerakan yield hari ini. Siang tadi sepertinya sedang terjadi outflow melihat yield obligasi tenor 10 tahun yang naik 3,2 basis poin menjadi 7,871. Tetapi di akhir perdagangan hari ini, yield tersebut menurun menjadi 7,842, yang memberikan gambaran kemungkinan terjadinya inflow di pasar obligasi.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular