Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menyatakan total kasus positif virus corona (COVID-19) di Indonesia hingga Minggu kemarin (19/4/2020) pukul 12.00 WIB mencapai 6.575 orang. Jumlah ini meningkat 327 orang dibandingkan dengan sehari sebelumnya.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan jumlah kasus kematian menjadi 582 orang. Artinya bertambah 47 orang dibanding data pada Sabtu yang berada di angka 535. Adapun jumlah pasien yang sembuh mencapai 686 orang, meningkat 55 orang dibandingkan dengan sehari sebelumnya
Dari data tersebut, angka kematian di Indonesia akibat Covid-19 menjadi yang tertinggi se-ASEAN. Berdasarkan data Worldometer yang dikutip CNBC Indonesia, per Minggu (19/4/20).
Pemerintah pun terus berupaya untuk menahan sebaran virus asal Wuhan, China ini, termasuk memaksimalkan peran dari perusahaan BUMN farmasi. Saat ini BUMN farmasi di bawah kendali holding PT Bio Farma (Persero) dengan anak usaha PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan anak usaha KAEF yakni PT Phapros Tbk (PEHA).
Terkait dengan ini, sayangnya masih ada kendala di lapangan dalam hal bahan baku obat yang diproduksi emiten BUMN khususnya dan umumnya perusahaan farmasi dalam negeri.
Erick Thohir menyebut ketergantungan Indonesia dengan bahan baku dari impor menyebabkan banyaknya munculnya praktik-praktik kotor yang dilakukan oleh mafia.
"Kita yang harus peduli antara bangsa kita. Jangan semuanya ujung-ujungnya duit terus. Akhirnya kita terjebak short term policy [kebijakan jangka pendek]. Didominasi oleh mafia-mafia, trader-trader itu. Kita harus lawan dan Pak Jokowi punya keberpihakan itu," kata Erick di Jakarta, Kamis (16/4/2020).
Untuk itu dia mengharapkan agar seluruh pihak bekerjasama untuk menumpas praktik-praktik kotor tersebut.
Dia menyebutkan, hal ini bermula dari kebutuhan alat kesehatan dan farmasi dalam negeri yang masih bergantung pada pemenuhan dari luar negeri. Jumlahnya pun mencapai 90%, hanya 10% saja bahan baku yang bisa dipenuhi dari dalam negeri.
"Saya mohon maaf kalau menyinggung beberapa pihak, janganlah negara kita yang besar ini selalu terjebak praktik-praktik yang kotor, sehingga alat kesehatan mesti impor, bahan baku musti impor. Saya minta semua yang hadir di sini punya komitmen secara pribadi, kita harus bongkar hal-hal itu," kata dia.
Pendiri Mahaka Media ini sangat menyayangkan kondisi industri farmasi yang 90% mengandalkan impor. Padahal dengan adanya pandemi Covid-19 saat ini tiap-tiap negara diuji kekuatannya untuk mampu menjaga supply chain (rantai pasok) dari dalam negeri. Sebab saat ini seluruh negara saat ini berebut untuk mendapatkan bahan baku demi memenuhi kebutuhan negaranya.
"Mohon maaf kalau saya bicara ini, sangat menyedihkan kalau negara sebesar Indonesia ini 90% bahan baku dari luar negeri untuk industri obat. Sama juga alat kesehatan, mayoritas dari luar negeri," kata Erick.
Untuk itu, dia mendorong mulai adanya kemandirian dalam hal bahan baku secara bertahap untuk perusahaan-perusahaan farmasi tersebut.
"Kalau hari ini 10%, tahun depan 30%, tahun depannya lagi 50%. Kita juga tidak anti impor. Memang ada beberapa yang tidak bisa dilakukan, tapi yang kita bisa lakukan, harus bisa," kata Erick.
[Gambas:Video CNBC]
Kalangan industri farmasi pun menanggapi pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir, yang menyebut impor bahan baku dan alat kesehatan rawan permainan, bahkan memunculkan istilah mafia.
Industri di dalam negeri sangat bergantung dengan bahan baku impor, saat pandemi corona terjadi Indonesia merasakan dampaknya lantaran menurut Erick RI kesulitan mendapatkan bahan baku dan alat kesehatan dari luar, karena banyak negara lain juga berkepentingan.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Darodjatun Sanusi menyebut anggotanya bukan tidak mau menggunakan bahan baku dari dalam negeri.
Namun, iklim regulasi dalam negeri sendiri belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri farmasi dalam negeri. Di antaranya adalah kepastian soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang belum juga resmi dirilis oleh pemerintah hingga kini. Padahal, aturan ini penting agar memastikan pengusaha dan investor bisa bersaing dengan memanfaatkan bahan baku dalam negeri yang ada.
"Kita kan istilahnya menuju ke arah kemandirian. Kita selalu dibilang tergantung impor segala macem, pas kita mau investasi kan juga memerlukan dukungan," kata Darodjatun kepada
CNBC Indonesia, Jumat (17/4).
Ia mengungkapkan pengusaha dalam negeri dan sejumlah investor asing, yang umumnya bekerjasama dalam bentuk
joint venture sebenarnya sudah memiliki ketertarikan dalam berinvestasi di dalam negeri. Nantinya, kombinasi ini bisa meningkatkan penggunaan bahan baku dalam negeri, sehingga ketergantungan terhadap impor bisa lebih ditekan.
Sayang, respons pemerintah sangat lambat. Dalam hal ini Kementerian Perindustrian yang juga belum menelurkan regulasi TKDN farmasi, meski sudah dibahas selama dua tahun terakhir. Padahal, kepastian investasi sangat penting dalam menentukan keputusan investor membangun industri bahan baku farmasi dan alat kesehatan.
"Kalau yang investor asing juga pasti [butuh kepastian]. Mereka pikir, kalau nggak saya investasi di Indonesia, lebih baik trading aja. Ekspor aja, banyak ekspor yang tersedia," sebut Darodjatun.
95% impor
Darodjatun Sanusi mengakui bahwa saat ini banyak perusahaan farmasi dalam negeri yang menggunakannya bahan baku impor.
"90-95% lah. Saya nggak ingin bicara 90%, karena 10% belum tahu produknya apa. Kalau kami kasih pernyataan bisa selalu 95%," katanya.
Besarnya angka ketergantungan terhadap impor sebenarnya bisa dikurangi, yakni melalui pengembangan lebih lanjut. Darodjatun mengatakan bahwa ada 7-9 investor, baik dalam dan luar negeri bersedia membiayai. Mulai dari segi riset hingga produksi. Dari sini, bahan baku lokal bisa dipilih untuk lebih banyak digunakan.
"Orang luar negeri mau sama-sama ambil resiko bahan baku ini karena kita sampaikan ada prospek untuk TKDN. Kalau TKDN terus-terusan ngga keluar, mereka liat kebijakan ini masih belum keluar. Investor lain [awalnya] tertarik untuk masuk, mungkin jadi nggak tertarik masuk," kata Darodjatun.
Jika kondisi ini terus bergulir, bukan tidak mungkin produsen lokal bisa lebih tersingkirkan oleh produk obat impor. Termasuk investor yang semula berani menanamkan modalnya dalam pengembangan riset pembuatan obat, jadi lebih memilih menjadi trader demi mendapat keuntungan.
"Trader kan nggak ada risiko terhadap investasi. Nggak harus sediakan dana, bayar pajak lokal. Sedangkan jika produksi sendiri bisa serap tenaga kerja. Munculnya bisnis-bisnis lain yang merupakan penunjang. Kalau muncul kegiatan industri biasanya ada keg lain di samping pajak. Multiplier effect," katanya.