RI Lawan Corona, Ini Sederet Kekesalan Erick Thohir

Monica Wareza & Sandi Ferry, CNBC Indonesia
20 April 2020 06:31
Menteri BUMN Erick Thohir, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjaatmadja, Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar (@kementerianbumn)
Foto: Menteri BUMN Erick Thohir, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjaatmadja, Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar (@kementerianbumn)
Kalangan industri farmasi pun menanggapi pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir, yang menyebut impor bahan baku dan alat kesehatan rawan permainan, bahkan memunculkan istilah mafia.

Industri di dalam negeri sangat bergantung dengan bahan baku impor, saat pandemi corona terjadi Indonesia merasakan dampaknya lantaran menurut Erick RI kesulitan mendapatkan bahan baku dan alat kesehatan dari luar, karena banyak negara lain juga berkepentingan.

Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Darodjatun Sanusi menyebut anggotanya bukan tidak mau menggunakan bahan baku dari dalam negeri.

Namun, iklim regulasi dalam negeri sendiri belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri farmasi dalam negeri. Di antaranya adalah kepastian soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang belum juga resmi dirilis oleh pemerintah hingga kini. Padahal, aturan ini penting agar memastikan pengusaha dan investor bisa bersaing dengan memanfaatkan bahan baku dalam negeri yang ada.

"Kita kan istilahnya menuju ke arah kemandirian. Kita selalu dibilang tergantung impor segala macem, pas kita mau investasi kan juga memerlukan dukungan," kata Darodjatun kepada CNBC Indonesia, Jumat (17/4).

Ia mengungkapkan pengusaha dalam negeri dan sejumlah investor asing, yang umumnya bekerjasama dalam bentuk joint venture sebenarnya sudah memiliki ketertarikan dalam berinvestasi di dalam negeri. Nantinya, kombinasi ini bisa meningkatkan penggunaan bahan baku dalam negeri, sehingga ketergantungan terhadap impor bisa lebih ditekan.


Sayang, respons pemerintah sangat lambat. Dalam hal ini Kementerian Perindustrian yang juga belum menelurkan regulasi TKDN farmasi, meski sudah dibahas selama dua tahun terakhir. Padahal, kepastian investasi sangat penting dalam menentukan keputusan investor membangun industri bahan baku farmasi dan alat kesehatan.

"Kalau yang investor asing juga pasti [butuh kepastian]. Mereka pikir, kalau nggak saya investasi di Indonesia, lebih baik trading aja. Ekspor aja, banyak ekspor yang tersedia," sebut Darodjatun.

95% impor
Darodjatun Sanusi mengakui bahwa saat ini banyak perusahaan farmasi dalam negeri yang menggunakannya bahan baku impor. 

"90-95% lah. Saya nggak ingin bicara 90%, karena 10% belum tahu produknya apa. Kalau kami kasih pernyataan bisa selalu 95%," katanya.

Besarnya angka ketergantungan terhadap impor sebenarnya bisa dikurangi, yakni melalui pengembangan lebih lanjut. Darodjatun mengatakan bahwa ada 7-9 investor, baik dalam dan luar negeri bersedia membiayai. Mulai dari segi riset hingga produksi. Dari sini, bahan baku lokal bisa dipilih untuk lebih banyak digunakan.

"Orang luar negeri mau sama-sama ambil resiko bahan baku ini karena kita sampaikan ada prospek untuk TKDN. Kalau TKDN terus-terusan ngga keluar, mereka liat kebijakan ini masih belum keluar. Investor lain [awalnya] tertarik untuk masuk, mungkin jadi nggak tertarik masuk," kata Darodjatun.

Jika kondisi ini terus bergulir, bukan tidak mungkin produsen lokal bisa lebih tersingkirkan oleh produk obat impor. Termasuk investor yang semula berani menanamkan modalnya dalam pengembangan riset pembuatan obat, jadi lebih memilih menjadi trader demi mendapat keuntungan.

"Trader kan nggak ada risiko terhadap investasi. Nggak harus sediakan dana, bayar pajak lokal. Sedangkan jika produksi sendiri bisa serap tenaga kerja. Munculnya bisnis-bisnis lain yang merupakan penunjang. Kalau muncul kegiatan industri biasanya ada keg lain di samping pajak. Multiplier effect," katanya.

(tas/tas)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular