Round Up

Stimulus & Capital Inflow, Obligasi RI Sepekan Terapresiasi

Haryanto, CNBC Indonesia
18 April 2020 17:18
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah Indonesia sepekan kemarin menguat 1,65%, terdorong oleh stimulus bank Indonesia (BI) dan arus modal asing (capital inflow) di pasar keuangan.

Penguatan obligasi pemerintah yang bertenor 10 tahun, tercermin dengan penurunan yield sebesar 13,2 basis poin (bps) atau 1,65% menjadi 7.969% dari posisi Jumat lalu (9/4/2020) di 8.101%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Selain itu, pada Selasa kemarin (14/4/2020), pemerintah melakukan lelang tujuh seri Surat Utang Negara (SUN) dengan target indikatif Rp 20 triliun dan target maksimal Rp 30 triliun. Permintaan yang masuk senilai Rp 27,65 triliun, dan pemerintah memenangkan sebesar Rp 16,88 triliun dari tujuh seri tersebut, mengacu data DJPPR Kementerian Keuangan.


Kenaikan obligasi terjadi setelah Bank Indonesia (BI) menetapkan sejumlah kebijakan lanjutan, termasuk meningkatkan quantitative easing (QE).

Quantitative Easing (QE) adalah salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral guna meningkatkan jumlah uang beredar.

Dimana dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bank Indonesia melakukan berbagai kebijakan guna menjaga stabilitas eksternal termasuk nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi

Kebijakan itu, di antaranya:

  • Pertama adalah dengan meningkatkan intensitas intervensi di tiga pasar yaitu spot, Domestic Non-Delivarable Forwards (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
  • Kedua, BI akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas alias quantative easing. Selama ini, BI sudah melakukan quantitative easing hampir Rp 300 triliun dan ke depan akan bertambah lagi.
  • Ketiga, BI akan meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk bank konvensional dan 50 bps untuk bank syariah, berlaku mulai 1 Mei. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SBN di pasar perdana.

Apresiasi obligasi juga ditopang setelah Gubernur BI mengatakan bahwa perbankan sudah diwajibkan untuk memegang SBN atau Surat Berharga Negara yang diterbitkan pemerintah melalui rasio Penyangga Likuiditas Makro (PLM).

Selain itu, Perry Warjiyo, Gubernur BI, kembali menegaskan bahwa kurs rupiah masih terlalu murah (undervalued) dibandingkan fundamentalnya. Oleh karena itu, Perry yakin bahwa rupiah akan terus bergerak stabil cenderung menguat ke arah Rp 15.000/US$ pada akhir 2020.

Penguatan rupiah, lanjut Perry, akan didorong oleh arus modal asing (capital inflow) di pasar keuangan. Selama 14-16 April, BI mencatat arus modal asing adalah Rp 2,9 triliun. "Inflow ini sebagian besar ke SBN," katanya dalam konferensi pers Perkembangan Ekonomi Terkini, Jumat (17/4/2020).

Berdasarkan data historis, tambah Perry, arus modal asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak dan berlangsung lebih lama ketimbang arus modal keluar (capital outflow). Sepanjang 2011-2019, rata-rata outflow dari SBN adalah Rp 29,2 triliun dalam waktu empat bulan.

Namun, inflow ternyata lebih deras dan lebih lama. pada 2011-2019, inflow di SBN rata-rata adalah Rp 229,1 triliun dalam kurun waktu 21 bulan.

Hal tersebut mencerminkan investor global optimis terhadap aset pendapatan tetap (fixed income) ini di tengah sejumlah stimulus dari pemerintah dan bank sentral dalam menjaga kestabilitasan ekonomi dari serangan pandemi virus corona.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(har/har) Next Article Asing Mulai Masuk Obligasi RI, Setelah Sempat Keluar Rp 114 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular