Round Up

Investor Masuk Aset Berisiko, Harga Emas Dunia Terkikis

Haryanto, CNBC Indonesia
18 April 2020 15:01
emas
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas global di pasar spot dalam sepekan terakhir mengalami sedikit koreksi 0,28% menjadi US$ 1.684,19 dari US$ 1.688,90/troy ons pada penutupan hari Jumat lalu (10/4/2020).

Sebelumnya, harga emas global di pasar spot sempat mencapai US$ 1.727,70/troy ons pada penutupan perdagangan hari Selasa (14/4/2020) yang menyentuh level tertinggi baru dalam kurun 7 tahun, melansir dari Revinitif.

Namun, rekor tersebut tidak berlangsung lama, pada perdagangan hari Jumat (17/4/2020), harga emas dunia di pasar spot turun US$ 33,49 poin atau hampir 2% ke level US$ 1.684,19/troy ons dari hari sebelumnya setelah Presiden AS Donald Trump yang berencana membuka kembali aktivitas ekonomi AS membantu sentimen investor untuk melirik pasar modal.

Harapan akan segera berakhirnya pandemi Covid-19 kembali muncul setelah adanya kabar Gilead Science Inc, raksasa farmasi di AS, memiliki obat yang efektif melawan virus corona.

CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien Covid-19 yang terpapar parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi secara ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.

 

Pedoman baru Presiden Donald Trump untuk membuka kembali ekonomi AS. dan sentimen data awal terkait dengan pengobatan COVID-19 yang potensial mendorong investor menuju aset berisiko.

Sepekan kemarin, bursa saham di kawasan Asia mayoritas menguat, yang dipimpin oleh kenaikan indeks Kopsi sebesar 2,9%, diikuti oleh Nikkei 225 melesat 2,1%, Straits Time Singapore menguat 1,7%, indeks Shanghai Composit naik 1,5% dan indeks Hang Seng naik 0,3%.

Sementara pasar saham Australia, indeks acuan (benchmark) S&P/ASX 200 stagnan, sedangkan bursa saham domestik yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) koreksi 0,1%.

Kendati demikian, koreksi wajar dalam sepekan terakhir ini tidak menjadi patokan bahwa harga emas akan jatuh lebih dalam lagi ke bawah level psikologisnya di US$ 1.600 per troy ons.

Harga emas justru naik saat outlook ekonomi dunia April 2020 dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang bertajuk "The Great Lockdown".

Pandemi COVID-19 yang meningkat di seluruh dunia menimbulkan biaya hidup manusia yang tinggi, dan langkah-langkah perlindungan yang diperlukan sangat berdampak pada kegiatan ekonomi.

Sebagai hasil dari pandemi, ekonomi global diproyeksikan berkontraksi tajam hingga minus tiga persen (-3%) pada tahun 2020, jauh lebih buruk daripada selama krisis keuangan yang terjadi di 2008-2009.

Virus corona dan upaya negara-negara untuk mengendalikannya telah menempatkan ekonomi global pada jalur resesi terburuk sejak Depresi Hebat (Great Depression) dan dapat menelan kerugian kumulatif US$ 9 triliun dalam kegiatan ekonomi selama tahun 2020 dan 2021, lebih besar dari ukuran ekonomi Jepang dan Jerman jika digabungkan, Gita Gopinath, kepala ekonom Dana Moneter Internasional, mengatakan pada hari Selasa (14/4/2020).

Laju pertambahan kasus infeksi corona secara global, berdasarakan data dari Universitas Johns Hopkins menunjukkan lebih dari 2 juta orang terpapa dan angka kematian mencapai 154.271 jiwa.

Pandemi corona memang jadi ancaman terbesar bagi perekonomian global saat ini. Memang secara jumlah pertumbuhan kasusnya melambat. Namun terkait kapan wabah ini akan berakhir masih jadi misteri dan tak seorang pun dapat memastikan.

 

Bagaimanapun juga emas sebagai aset safe haven masih menjadi instrumen investasi yang menarik saat ini. Selera terhadap risiko investor memang berangsur pulih. Namun investor masih melirik emas dan memasukkannya ke dalam portofolio mereka.

Apalagi kebijakan The Fed juga mendukung harga emas untuk bergerak habis. Setelah membabat habis suku bunga acuan (Federal Fund Rate) ke kisaran 0-0,25%, bank sentral AS tersebut mengambil tindakan yang agresif.

Selain mengumumkan program pembelian aset atau yang lebih dikenal dengan quantitative easing (QE) tak terbatas, The Fed juga akan memberikan pinjaman lunak untuk sektor UMKM AS senilai US$ 2,3 triliun. Ini merupakan upaya The Fed untuk memompa uang ke perekonomian demi meredam dampak yang ditimbulkan oleh pandemi.

Tak berhenti di situ saja, The Fed juga memberikan detil terkait rencananya untuk membeli surat utang baik yang ratingnya 'investment grade' bahkan hingga 'junk'. "The Fed merupakan The Fed yang paling agresif, mereka tidak ingin jadi alasan mengapa kita bergerak menuju depresi" kata Jim Cramer dalam acara "Squawk Box" sebagaimana diwartakan CNBC International.

“Penguatan emas yang terjadi karena kelonggaran moneter ini pada akhirnya harus dilunasi dan mungkin akan dibayar dengan tingkat inflasi yang tinggi nantinya” kata Tai Wong, kepala trading derivatif untuk logam dasar dan logam mulia di BMO, melansir Reuters.

Ketua Fed Jerome Powell mengatakan bank sentral akan terus menggunakan semua alat yang tersedia sampai ekonomi AS mulai sepenuhnya pulih dari kerugian yang disebabkan oleh wabah.

"Dampak ekonomi dari pandemi ini kemungkinan besar akan menyita pasar dalam waktu yang sangat lama, bahkan ketika pandemi telah mereda," kata analis Commerzbank dalam sebuah catatan.

"Emas kemungkinan mendapat untung dari melimpahnya uang bank sentral dan utang baru." Tambahnya melansir Reuters.

Sementara melansir dari CNBC Internasional menunjukkan "Selera risiko melonjak, tetapi mungkin berlebihan karena kerusakan permanen pada perekonomian akan melihat konsumen AS yang terpukul," kata Edward Moya, analis pasar senior di broker OANDA, dalam sebuah catatan.

"Emas akan tetap didukung oleh muatan stimulus moneter dan fiskal yang akan terjadi di masa mendatang. Jika terjadi kemunduran yang lebih dalam, level $ 1.650 tetap menjadi kunci dukungan. " 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular