Newsletter

Sentimen Campur Aduk, Pasar Keuangan Tanah Air Volatil

Haryanto, CNBC Indonesia
16 April 2020 06:05
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan hari Rabu kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, namun pasar obligasi pemerintah dan nilai tukar rupiah menguat.

Kemarin, IHSG ditutup koreksi 1,7% ke level 4.625,91, dengan nilai transaksi tercatat Rp 7,03 triliun. IHSG bergerak cukup fluktuasi pada perdagangan kemarin di awal sempat menguat, lalu di akhir kandas ke zona merah di tengah beragam sentimen.

Sentimen positif datang dari kebijakan quantitative easing (QE) BI serta penyebaran pandemi penyakit virus corona (COVID-19) yang mulai melambat yang mendorong kenaikan di awal perdagangan.

Eropa yang menjadi episentrum penyebaran sebelum AS bahkan sudah mulai melonggarkan kebijakan lockdown-nya setelah penyebaran corona terus melambat. CNBC International melaporkan Italia dan Spanyol, mulai mencabut beberapa larangan pembatasan aktivitas warganya setelah jumlah kasus baru serta korban meninggal akibat COVID-19 terus menurun.

Spanyol sudah mengijinkan beberapa aktivitas konstruksi bekerja kembali, begitu juga dengan pabrik-pabrik sudah mulai beroperasi sejak hari Senin. Sementara itu Italia mulai mengijinkan beberapa usaha untuk kembali beraktivitas kemarin.

Sementara sentimen negatif muncul di tengah kabar proyeksi alias outlook ekonomi dari Dana Moneter Internasional (IMF). Ramalan terbaru IMF bertajuk 'The Great Lockdown' menyatakan bahwa ekonomi global bakal terkontraksi tajam hingga minus 3% di tahun ini, jauh lebih buruk sejak krisis keuangan yang terjadi di 2008-2009.

"Virus corona dan upaya negara-negara untuk mengendalikannya telah menempatkan ekonomi global pada jalur resesi terburuk sejak Depresi Hebat (Great Depression)," kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, Selasa (14/4), dilansir CNBC International.

Berita tersebut membuat ciut nyali pelaku pasar, sehingga para pelaku pasar mulai menjauhi aset-aset berisiko (risk aversion), dan berlari ke aset pendapatan tetap (fixed income) yang dianggap minim risiko di tengah situasi resesi.

Di pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kemarin menguat. Kenaikan harga terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) untuk dua seri acuan (benchmark).

Seri acuan yang paling menguat kemarin adalah FR0082 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield 10,3 basis poin (bps) menjadi 7,93%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.  Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Di antara pasar obligasi negara yang dikompilasi Tim Riset CNBC Indonesia, SBN menjadi yang terbaik ketiga setelah Malaysia dan Brasil.

Apresiasi di pasar surat utang pemerintah kemarin senada dengan penguatan rupiah di pasar valas. Pada Rabu (15/4/2020), rupiah menguat 0,38% dari penutupan sebelumnya. Kini US$ 1 dibanderol Rp 15.550/US$ di pasar spot.

Nilai tukar rupiah terus menguat jauh meninggalkan level Rp 16.000/US$. Terutama pada pekan kedua April 2020 karena kepanikan di pasar global mulai mereda.

Dengan penguatan tersebut, rupiah kembali menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Bahkan salah satu terbaik di dunia jika dilihat sejak pekan lalu rupiah sudah menguat 5,18%. Di saat mayoritas mata uang utama Asia bahkan melemah melawan dolar AS pada perdagangan kemarin.

Sentimen positif kinerja rupiah ditopang oleh kebijakan stimulus BI dan juga laporan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin, yang menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia bulan lalu sebesar US$ 14,09 miliar. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.

Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.

Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.

[Gambas:Video CNBC]



Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street terperosok ke zona merah pada perdagangan Rabu (15/4/2020), karena penjualan ritel AS bulan Maret turun lebih dari yang diperkirakan, menggarisbawahi ekonomi yang suram dari pandemi virus corona.

Indeks Dow Jones Industrial Average merosot 445,41 poin atau 1,9% menjadi 23.504,35. Indeks S&P 500 turun 62,7 poin atau 2,2% ke 2.783,36 sedangkan indeks Nasdaq ambles 122,56 poin atau 1,4% ke level 8.8.393,18.

Departemen Perdagangan AS menyebutkan penjualan ritel Maret anjlok 8,7%, menjadi koreksi bulanan terbesar sejak data tersebut disusun pada tahun 1992. Lonjakan permintaan hanya terjadi di barang grosir, farmasi, dan bahan pokok. Di luar itu, semua anjlok akibat lockdown.

Indeks manufaktur Empire State mencapai -78,2, atau terparah kedua sejak Resesi Akbar yang saat itu berada di level -34,3.

"Ini menunjukkan resesi bakal sangat parah karena ini baru awalnya... masyarakat tak belanja," tutur Peter Cardillo, Ekonom Kepala Spartan Capital Securities, sebagaimana dikutip CNBC International.

Penurunan Wall Street juga seiring dengan lemahnya kinerja saham-saham unggulan per kuartal II-2020.

Emiten pertama yang merilis kinerja mengecewakan adalah Bank of America yang laba bersihnya anjlok hingga 45% dan biaya pencadangan atau provisi-nya menggelembung sebesar US$ 3,6 miliar akibat pecahnya pandemi.

Laba bersih Goldman Sachs dan Citigroup sama-sama anjlok 46% masing-masing karena seretnya bisnis pengelolaan aset dan kenaikan pencadangan kredit bermasalah.

Sementara itu, pada penutupan perdagangan dini hari tadi saham Bank of America ditutup lebih dari 6% lebih rendah di belakang laba yang mengecewakan. Citigroup turun lebih dari 5%. Sektor energi, bahan baku dan keuangan adalah sektor dengan kinerja terburuk di S&P 500, masing-masing turun lebih dari 4%.

"Kemarin, pasar masih mendengar apa yang ingin didengarnya, sedangkan hari ini lebih seperti: 'Inilah yang sebenarnya terjadi," kata JJ Kinahan, kepala strategi pasar di TD Ameritrade. Kinahan mencatat, bagaimanapun, pasar diperdagangkan dalam kisaran yang lebih sempit daripada saat sell-off pertama kali dimulai.

Di sisi lain, salah satu pemicu turunnya bursa saham Wall Street yaitu harga minyak mentah kontrak berjangka AS WTI yang turun 24 sen per barel, atau 1,2%, menjadi US$ 19,87/barel, menjadi yang pertama kalinya harga berada di bawah angka US$ 20/barel sejak 2002. Ini terjadi setelah data baru menunjukkan bahwa persediaan minyak AS naik lebih dari yang diperkirakan minggu lalu.

Sementara harga minyak mentah Brent, patokan minyak global, turun US$ 1,91 per barel, atau 6,5%, menjadi US$ 27,69 per barel. Permintaan minyak global kemungkinan akan turun dengan rekor 9,3 juta barel per hari di tahun ini, Badan Energi Internasional mengatakan dalam laporan bulanannya. Permintaan pada bulan April akan turun 29 juta barel per hari ke tingkat yang tidak terlihat sejak 1995, kata badan itu. Melansir dari Dowjones Newswire.

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di bursa saham Wall Street yang ditutup anjlok, kemungkinan memberikan sentimen negatif bagi bursa saham global dan domestik.

Sentimen Kedua, yaitu perkembangan penyebaran wabah virus corona. Per pukul 04:50 WIB, jumlah pasien terpapar virus corona di seluruh dunia mencapai 2 juta orang lebih dengan jumlah korban jiwa sebanyak 133.572 orang.

Di Indonesia sendiri, ada penambahan kasus sebanyak 297 menjadi 5.136 orang terinfeksi positif virus corona dan korban jiwa tercatat sebanyak 469 orang.

Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor. Dimana investor cenderung untuk menjauhi aset-aset berisiko di tengah situasi ekonomi yang resah dan gelisah menunggu kapan pandemi virus corona akan berakhir.

Ketiga ramalan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyatakan bahwa ekonomi global bakal terkontraksi tajam hingga minus 3% di tahun ini, jauh lebih buruk sejak krisis keuangan yang terjadi di 2008-2009, menjadi sentimen negatif lainnya. Menggarisbawahi ekonomi global kian dekat dengan resesi.

Kendati demikian, ada sentimen positif juga yang bisa memberikan secercah harapan yang bisa menerangi para pelaku pasar menuju keoptimisan di antaranya kebijakan quantitative easing (QE) dari BI. Lalu data ekspor impor dari Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin yang lebih baik dari perkiraan. Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.

Sentimen positif lainnya yaitu di beberapa negara, upaya pencegahan penularan sudah dan akan dilonggarkan untuk memberi ruang bagi kebangkitan aktivitas ekonomi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 14 April adalah 1.844.863 orang. Naik 405% dibandingkan hari sebelumnya.

Meski masih bertambah, tetapi kenaikan 4,05% adalah laju paling lemah sejak 10 Maret. Juga jauh di bawah rata-rata kenaikan harian selama 21 Januari-14 April yang sebesar 11,84%.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  •          Laporan Survei Perbankan Triwulan I 2020
  •          Pemberitahuan RUPS PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
  •          Pemberitahuan RUPS PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPS)
  •          Pemberitahuan RUPS PT PP Tbk (PTPP)
  •          Pemberitahuan RUPS PT Millennium Pharmacon Internasional Tbk (SDPC)
  •          Pemberitahuan RUPS PT Mandom Indonesia Tbk (TCID)
  •          Klaim Pengangguran Amerika Serikat (19:30 WIB)

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Maret 2020)

US$ 120,97 miliar

 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular