Saat Virus Corona Berhasil Dibasmi, Bagaimana Nasib Emas?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 April 2020 17:46
Saat Virus Corona Berhasil Dibasmi, Bagaimana Nasib Emas?
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial global sedang ceria di awal pekan ini setelah penyebaran virus corona (COVID-19) mulai melambat di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Dampaknya bursa saham global menguat di awal pekan ini.

Dari Eropa, Italia dan Spanyol melaporkan penurunan jumlah korban meninggal per harinya, kemudian Jerman melaporkan penurunan jumlah kasus baru yang signifikan.

Sementara dari AS, jumlah korban meninggal di New York per harinya juga mengalami penurunan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pertumbuhan kasus corona di Negeri Paman Sam pada 7 April adalah 8,62%. Ini menjadi yang terendah sejak 27 Maret, dan jauh di bawah rata-rata laju pertumbuhan selama 24 Januari-7 April yang sebesar 22,17%.

Secara global, WHO menyebutkan dalam kurun waktu 20 Januari-6 April rata-rata pertumbuhan jumlah kasus corona adalah 12.52% per hari. Sejak 24 Maret, pertumbuhan jumlah kasus baru sudah di bawah itu yakni 9,67%. Bahkan dalam delapan hari terakhir hingga 7 April pertumbuhan kasus baru per harinya sudah satu digit persentase.



Meski demikian, sentimen pelaku pasar belum sepenuhnya stabil, terlihat dari pergerakan bursa saham AS (Wall Street) pada perdagangan Selasa yang melesat tajam di awal tapi melemah tipis di penutupan.

Pandemi COVID-19 yang masih belum pasti akan akan berakhirnya, dan seberapa besar dampaknya ke perekonomian global membuat sentimen pelaku pasar belum stabil.

Yang pasti, semakin lama pandemi ini berlangsung, pertumbuhan ekonomi akan semakin merosot hingga resesi yang semakin dalam. Tetapi mulai melambatnya penyebaran di Eropa bisa menjadi tanda wabah ini sudah mencapai puncaknya, dan menuju tren menurun hingga akhirnya terhenti seperti di China, asal virus corona.

Ketika pandemi ini berakhir, perekononomian global diprediksi akan segera bangkit kembali, dan sentimen pelaku pasar tentunya kembali membaik, masuk kembali ke aset-aset berisiko dan berimbal hasil tinggi.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana nasib emas yang menyandang status safe haven dan salah satu aset paling bersinar saat ini? Apakah pelaku pasar akan meninggalkan emas?

Sepanjang kuartal I-2020, harga emas dunia mampu menguat 3,56%, menjadi aset yang paling diburu pelaku pasar setelah obligasi (Treasury) AS. 



Aset safe haven memiliki karakteristik menguat saat sentimen pelaku pasar memburuk dan terjadi gejolak di pasar finansial global. Begitu juga sebaliknya ketika sentimen pelaku pasar membaik dan pasar finansial global menanjak naik, nilainya akan menurun.

Tetapi yang terjadi belakangan ini pergerakan emas justru seirama dengan pergerakan bursa saham. Ketika indeks S&P 500 ambles di bulan Maret lalu, harga emas dunia juga ikut merosot.

Jika kita melihat periode yang lebih panjang, atau secara tahunan akan terlihat jika indeks S&P 500 dan emas sebenarnya bergerak nyaris selalu searah. Contoh terbaru, Selasa kemarin ketika indeks S&P 500 melemah 0,16%, harga emas dunia juga turun 0,68%.

Pandemi COVID-19 membuat perekonomian global merosot tajam bahkan menuju jurang resesi. Kondisi saat ini bahkan dikatakan lebih buruk dari krisis finansial global tahun 2008.

Akibatnya, bank sentral di berbagai negara melonggarkan kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga, dan menggelontorkan stimulus dengan kebijakan yang tidak biasa (unconventional) seperti program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE).

Selain itu, pemerintah negara-negara yang terdampak COVID-19 juga memberikan stimulus fiskal.

Bank sentral AS (The Fed) dan pemerintah AS di bawah komando Presiden Donald Trump memberikan stimulus moneter dan fiskal yang paling fenomenal.

The Fed sepanjang bulan Maret membabat habis suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) menjadi 0-0,25%. Suku bunga tersebut menjadi yang terendah sejak tahun 2015.

Selain itu The Fed juga mengumumkan program QE dengan nilai tak terbatas. Kebijakan yang diambil The Fed sama dengan ketika menghadapi krisis finansial 2008, bahkan kali ini lebih agresif lagi nilai QE tanpa batas.



"Tidak seperti pascakrisis finansial global (2008), saat The Fed nilai QE terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas," kata Ray Attril, Kepala Strategi Valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.

Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapa pun aset yang diperlukan guna menyediakan likuiditas di pasar.

Pasca krisis finansial 2008, kebijakan The Fed tersebut membuat bursa saham AS terus menguat. Begitu juga dengan harga emas hingga mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,3/troy ons pada September 2011. Seperti disebutkan sebelumnya, jika melihat secara tahunan, kinerja indeks bursa saham (diwakili indeks S&P 500) searah dengan harga emas dunia. Pada periode 2001 hingga 2019, hanya 5 kali indeks S&P 500 dan harga emas berlawan secara tahunan. 



Di tahun ini, kebijakan The Fed tersebut diprediksi akan membawa emas memecahkan rekor tertinggi tersebut. Meski nantinya pandemi COVID-19 sudah berakhir dan perekonomian global mulai bangkit, tetapi suku bunga rendah dan kebikajakan QE The Fed serta bank sentral lainnya berpeluang membawa emas terus menanjak, mengulang periode 2008-2011.

Harga emas diprediksi setidaknya ke US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat oleh kepala strategi global di TD Securities, Bart Melek. Bahkan tidak menutup kemungkinan ke US$ 2.000/troy ons. Sebagai informasi, pagi ini harga emas dunia berada di kisaran US$ 1.612/troy ons.

"Normalisasi kondisi likuiditas, suku bunga riil negatif, dan biaya investasi yang rendah serta kekhawatiran akan depresiasi mata uang, situasinya mirip dengan periode setelah krisis finansial global (2008), yang berarti harga emas dapat menguat menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat" tulis Melek sebagaimana dikutip Kitco.com.

Melek menambahkan penguatan menuju US$ 2.000/troy ons adalah kemungkinan lain sebelum memasuki tahun 2021, jika kondisi ekonomi global mulai normal, kebijakan moneter masih longgar serta defisit fiskal melonjak.

Senada dengan TD Securities, analis dari WingCapital Investment juga memprediksi harga emas dunia akan melesat naik, bahkan mencapai US$ 3.000/troy ons dalam 3 tahun ke depan. Hanya saja background yang diberikan sedikit berbeda, dengan melihat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) AS.

Guna memerangi pandemi COVID-19, pemerintah AS sudah menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah Paman Sam. Nilai stimulus tersebut bahkan dua kali dari nilai ekonomi Indonesia.

"Secara historis kami melihat rasio utang terhadap PDB memiliki korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan balance sheet [neraca] The Fed [terhadap harga emas]," tulis analis WingCapital yang dikutip Kitco.com.

Untuk saat ini, belanja masif pemerintah AS guna memerangi COVID-19 diprediksi akan membengkakkan defisit anggaran, hingga rasio utang terhadap PDB akan menyamai ketika perang dunia II ketika naik sebesar 30% tahun ini. Sementara itu, beberapa analis lainnya melihat rasio tersebut akan naik sekitar 10% sampai 14%.



Untuk diketahui, saat ini rasio utang terhadap PDB AS pada tahun 2019 mencapai 108,28% dari PDB, berdasarkan data CEIC. Sebagai perbandingan pada tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, rasio utang terhadap PDB AS naik sekitar sebesar 8% di tahun 2008 dari tahun 2007 menjadi 72,72%.

Kemudian naik lagi 12% menjadi 85,21% di tahun 2009. Laju kenaikan tersebut mulia menurun pada tahun 2010 dan harga emas mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada September 2011, setelahnya malah terus melorot seiring melambatnya laju kenaikan rasio utang terhadap PDB AS.

"Dalam prospek harga, menggunakan panduan pasca krisis finansial 2008 ketika pasar bullish dan harga emas naik dua kali lipat 3 tahun setelahnya, menurut kami target emas jangka panjang ke US$ 3.000/troy ons menjadi masuk akal" kata analis tersebut.

"Kami melihat, pelemahan harga emas akibat faktor musiman atau kebutuhan akan likuiditas spekulator besar, akan menjadi peluang beli untuk mengakumulasi posisi jangka panjang" katanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular