
Batu Bara, CPO & Minyak, Mana yang Paling Top di Kuartal I?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
06 April 2020 11:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak hal terjadi di kuartal pertama tahun 2020 yang membuat harga-harga komoditas berguguran. Namun di tengah anjloknya harga komoditas, harga batu bara cenderung menjadi yang paling stabil dibanding minyak mentah maupun minyak sawit.
Ketidakpastian akan damai dagang antara Washington-Beijing, tensi geopolitik yang tinggi, hubungan bilateral yang retak, isu lingkungan hingga wabah penyakit jadi faktor penggerak utama harga komoditas pada triwulan pertama tahun 2020.
Pada kuartal I tahun 2020, harga minyak mentah anjlok 65,5% (qoq), harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ambles 21,3% (qoq) dan harga batu bara termal Newcastle melorot 2,82% (qoq). Harga tersebut mengacu pada harga kontrak berjangka (futures).
Di antara dua komoditas lain, harga batu bara memang yang paling tahan dari goncangan. Harga batu bara bergerak di kisaran US$ 64 - 72/ton. Koreksi harganya pun yang paling minim. Tak hanya itu, volatilitas harga batu bara juga yang paling rendah (STDEV : coal 1,8% ; CPO 2,7% & Crude Oil 4,9%).
Wabah corona memang jadi sentimen yang paling memicu volatilitas harga komoditas. Pasalnya wabah yang kini sudah menginfeksi lebih dari 1,27 juta orang di dunia ini berisiko besar untuk membawa perekonomian global jatuh ke dalam jurang resesi.
Kala resesi terjadi, konsumsi menjadi tertekan. Begitu juga dengan konsumsi komoditas. Pelemahan konsumsi yang mengindikasikan turunnya permintaan akan menekan harga. Namun apa yang membuat harga batu bara survive di tengah badai corona ternyata ya wabah itu sendiri.
Pada tiga bulan pertama tahun 2020, China dilanda musibah besar. Wabah corona membuat aktivitas ekonomi China menjadi terganggu. Kebijakan lockdown yang diterapkan China untuk kota Wuhan dan beberapa kota lain membuat permintaan dan pengiriman komoditas menjadi terhambat.
Namun di sisi lain, ketika kebijakan lockdown mulai membuahkan hasil dan ekonomi China mulai bersemi, China menjadi lebih bergantung pada batu bara impor. Salah satu pemasok batu bara impor untuk China adalah Australia.
Sebagai catatan, pada 2019 Negeri Kanguru mengekspor batu bara kokas (untuk pembuatan baja) ke China mencapai lebih dari 30 juta ton. China menjadi lebih bergantung pada batu bara impor lantaran aktivitas pertambangan batu bara domestiknya belum beroperasi secara penuh dan harga batu bara impor jauh lebih kompetitif.
Menurut data Argus Media, harga batu bara berkalori 5.500 Kcal/Kg di China mencapai US$ 81,25/ton. Sementara untuk nilai kalori yang sama dari Australia harganya hanya US$ 53/ton mengacu pada data Oktober tahun lalu.
Hal ini membuat harga batu bara walau terkoreksi menjadi yang paling stabil di antara dua komoditas lainnya. Namun di tengah ancaman resesi global seperti ini, susah rasanya untuk harga batu bara termal naik signifikan.
Berbeda dengan harga batu bara termal, harga CPO dan minyak mentah kontrak justru anjlok signifikan. Harga CPO yang sempat menguat kuartal terakhir tahun lalu karena ancaman penipisan pasokan akibat kekeringan harus anjlok pada kuartal pertama tahun ini. Harga CPO ambles 21,3% (qoq) dari awal tahun yang berada di rentang RM 3.000/ton menjadi kurang dari RM 2.500/ton.
Pemicunya ada tiga. Pertama wabah corona yang mengancam anjloknya permintaan. Kedua adalah retaknya hubungan bilateral Malaysia dengan India karena kritik tajam Negeri Jiran yang mengakibatkan anjloknya ekspor bulanan hingga lebih dari 90% pada Februari. Ketiga adalah drama politik internal negara yang memicu mundurnya Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
Beralih ke komoditas minyak mentah. Si emas hitam menjadi komoditas yang harganya paling anjlok. Pemicunya masih sama yakni pandemi corona. Wabah yang sudah menjangkiti seluruh dunia membuat aktivitas ekonomi kolaps.
Penumpang pesawat terbang anjlok signifikan seiring dengan diberlakukannya lockdown di berbagai negara dan pembatasan mobilitas orang.
Permintaan minyak diramal anjlok lebih dari 10 juta barel per hari (bpd) di tahun ini. Ketika permintaan minyak mentah terancam anjlok signifikan (negative demand shock), pasar masih terancam kebanjiran pasokan degan adanya perang harga antara Arab Saudi & Rusia (positive supply shock).
Arab Saudi geram karena Rusia menolak usulan pemangkasan produksi minyak lebih dalam untuk menjaga stabilitas harga minyak di pasar. Hal inilah yang membuat Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan aliansinya yang tergabung dalam OPEC gagal capai konsensus awal Maret lalu.
Ketegangan antara Arab Saudi dan Rusia ini memicu harga minyak anjlok dan berada di level terlemah sejak 18 tahun terakhir. Harga minyak sempat dibanderol mendekati level US$ 20/barel pada Q120, padahal di awal tahun harga minyak Brent masih di atas US$ 60/barel. Akibatnya para produsen minyak di berbagai negara sudah mulai angkat tangan karena aktivitas pengeboran menjadi tak ekonomis lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Batu Bara Melesat, Dapat Berkah dari Kenaikan Harga Minyak
Ketidakpastian akan damai dagang antara Washington-Beijing, tensi geopolitik yang tinggi, hubungan bilateral yang retak, isu lingkungan hingga wabah penyakit jadi faktor penggerak utama harga komoditas pada triwulan pertama tahun 2020.
Pada kuartal I tahun 2020, harga minyak mentah anjlok 65,5% (qoq), harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ambles 21,3% (qoq) dan harga batu bara termal Newcastle melorot 2,82% (qoq). Harga tersebut mengacu pada harga kontrak berjangka (futures).
Di antara dua komoditas lain, harga batu bara memang yang paling tahan dari goncangan. Harga batu bara bergerak di kisaran US$ 64 - 72/ton. Koreksi harganya pun yang paling minim. Tak hanya itu, volatilitas harga batu bara juga yang paling rendah (STDEV : coal 1,8% ; CPO 2,7% & Crude Oil 4,9%).
Wabah corona memang jadi sentimen yang paling memicu volatilitas harga komoditas. Pasalnya wabah yang kini sudah menginfeksi lebih dari 1,27 juta orang di dunia ini berisiko besar untuk membawa perekonomian global jatuh ke dalam jurang resesi.
Kala resesi terjadi, konsumsi menjadi tertekan. Begitu juga dengan konsumsi komoditas. Pelemahan konsumsi yang mengindikasikan turunnya permintaan akan menekan harga. Namun apa yang membuat harga batu bara survive di tengah badai corona ternyata ya wabah itu sendiri.
Pada tiga bulan pertama tahun 2020, China dilanda musibah besar. Wabah corona membuat aktivitas ekonomi China menjadi terganggu. Kebijakan lockdown yang diterapkan China untuk kota Wuhan dan beberapa kota lain membuat permintaan dan pengiriman komoditas menjadi terhambat.
Namun di sisi lain, ketika kebijakan lockdown mulai membuahkan hasil dan ekonomi China mulai bersemi, China menjadi lebih bergantung pada batu bara impor. Salah satu pemasok batu bara impor untuk China adalah Australia.
Sebagai catatan, pada 2019 Negeri Kanguru mengekspor batu bara kokas (untuk pembuatan baja) ke China mencapai lebih dari 30 juta ton. China menjadi lebih bergantung pada batu bara impor lantaran aktivitas pertambangan batu bara domestiknya belum beroperasi secara penuh dan harga batu bara impor jauh lebih kompetitif.
Menurut data Argus Media, harga batu bara berkalori 5.500 Kcal/Kg di China mencapai US$ 81,25/ton. Sementara untuk nilai kalori yang sama dari Australia harganya hanya US$ 53/ton mengacu pada data Oktober tahun lalu.
Hal ini membuat harga batu bara walau terkoreksi menjadi yang paling stabil di antara dua komoditas lainnya. Namun di tengah ancaman resesi global seperti ini, susah rasanya untuk harga batu bara termal naik signifikan.
Pemicunya ada tiga. Pertama wabah corona yang mengancam anjloknya permintaan. Kedua adalah retaknya hubungan bilateral Malaysia dengan India karena kritik tajam Negeri Jiran yang mengakibatkan anjloknya ekspor bulanan hingga lebih dari 90% pada Februari. Ketiga adalah drama politik internal negara yang memicu mundurnya Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
Beralih ke komoditas minyak mentah. Si emas hitam menjadi komoditas yang harganya paling anjlok. Pemicunya masih sama yakni pandemi corona. Wabah yang sudah menjangkiti seluruh dunia membuat aktivitas ekonomi kolaps.
Penumpang pesawat terbang anjlok signifikan seiring dengan diberlakukannya lockdown di berbagai negara dan pembatasan mobilitas orang.
Permintaan minyak diramal anjlok lebih dari 10 juta barel per hari (bpd) di tahun ini. Ketika permintaan minyak mentah terancam anjlok signifikan (negative demand shock), pasar masih terancam kebanjiran pasokan degan adanya perang harga antara Arab Saudi & Rusia (positive supply shock).
Arab Saudi geram karena Rusia menolak usulan pemangkasan produksi minyak lebih dalam untuk menjaga stabilitas harga minyak di pasar. Hal inilah yang membuat Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan aliansinya yang tergabung dalam OPEC gagal capai konsensus awal Maret lalu.
Ketegangan antara Arab Saudi dan Rusia ini memicu harga minyak anjlok dan berada di level terlemah sejak 18 tahun terakhir. Harga minyak sempat dibanderol mendekati level US$ 20/barel pada Q120, padahal di awal tahun harga minyak Brent masih di atas US$ 60/barel. Akibatnya para produsen minyak di berbagai negara sudah mulai angkat tangan karena aktivitas pengeboran menjadi tak ekonomis lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Batu Bara Melesat, Dapat Berkah dari Kenaikan Harga Minyak
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular