Duet Kebijakan Trump-Powell Bikin Kurs Dolar AS Terbenam

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 March 2020 19:55
Indeks dolar AS, yang kerap dijadikan tolak ukur kekuatan mata uang Paman Sam ambles sepanjang pekan lalu ambles 4,4%.
Foto: Foto ilustrasi dolar amerika dan yuan china. REUTERS/Thomas White/Illustration/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar AS memang sedang menguat melawan rupiah, maupun mata uang negara berkembang lainnya. Tetapi melawan mata uang utama, dolar AS sebenarnya sedang babak belur.

Indeks dolar AS, yang kerap dijadikan tolak ukur kekuatan mata uang Paman Sam ambles sepanjang pekan lalu ambles 4,4%. Persentase pelemahan mingguan tersebut menjadi yang terburuk sejak krisis finansial global lebih dari 10 tahun yang lalu.

Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss.

Ke-enam mata uang tersebut menguat tajam melawan dolar AS sepanjang pekan lalu. Poundsterling memimpin penguatan setelah melesat 7%, disusul krona 4,46%, euro 4,17%, kemudian franc +3,58%, dolar Kanada +2,68% dan yen +2,63%.



Pasca-pelemahan tajam tersebut, dolar AS baru mampu bangkit pada hari ini, indeks dolar menguat menguat 0,6% ke 98,96 pada pukul 18:38 WIB. Penurunan tajam dolar pada pekan lalu memicu aksi short covering yang membuat dolar AS bangkit, tetapi itu diprediksi tidak akan lama.

"Dalam jangka pendek permintaan dolar cukup besar akibat aksi short covering, tetapi ini tidak akan berlangsung lama" kata Caitlin Long veteran di Wall Street dan pendiri bank crypto Avanti sebagaimana dilansir Forbes.

Long menambahkan, ia memperkirakan balance sheet (neraca saldo) bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mencapai US$ 10 triliun sebelum krisis pandemi virus corona (COVID-19) berakhir, hal itu menyebabkan dolar AS pada akhirnya akan "hancur".

The Fed saat ini memang sedang melonggarkan kebijakan moneter dengan sangat agresif. Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini sudah membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%.



Kemudian Powell juga melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi COVID-19. Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.

The Fed mengatakan akan melakukan QE dalam besaran berapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.

Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapa pun aset yang diperlukan guna menjaga likuiditas di pasar agar tidak mengetat. Semakin banyak aset yang dibeli oleh The Fed, maka balance sheet-nya akan semakin membengkak.

The Fed sendiri memprediksi balance sheet-nya di akhir tahun ini akan mencapai US$ 4,5 triliun.

Kebijakan The Fed saat ini sama dengan ketika krisis finansial global pada tahun 2008. Bahkan saat ini lebih agresif lagi mengingat QE dilakukan tanpa batas, sementara pada saat krisis finansial nilai QE terbatas setiap bulannya.

Selama menerapkan QE pada periode 2008 sampai 2014, balance sheet The Fed naik sebesar US$ 3,7 triliun. Data triliunan dolar AS guna memerangi COVID-19 tidak hanya dikucurkan oleh Powell dkk, tetapi juga oleh Pemerintah AS.

Pekan lalu, ketika dolar AS ambles, Pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal jumbo. Kesepakatan antara pemerintah AS dengan Senat untuk mengucurkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun sudah terjadi pada hari Selasa (24/3/2020) dan dituangkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU). RUU tersebut kemudian di-voting di Senat dan House of Representative (DPR) AS.

Setelah Senat dan DPR setuku, Jumat waktu AS, Presiden AS Donald Trump menandatangani RUU tersebut sehingga sah menjadi undang-undang, pemerintah AS bisa menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun tersebut.

Stimulus tersebut dikatakan sebagai yang terbesar yang pernah digelontorkan dalam sejarah AS. nilai stimulus tersebut dua kali lipat dari nilai perekonomian Indonesia.

"Saya menandatangani satu paket bantuan ekonomi terbesar dalam sejarah Amerika," kata Presiden ke 45 AS tersebut pada Jumat (27/3), seperti dilansir CNBC Internasional. "Ini akan memberikan pertolongan yang sangat dibutuhkan bagi keluarga, pekerja, dan bisnis bangsa kita, dan itulah masalahnya." Lanjut Trump.



Dengan nilai sebesar itu, sebesar US$ 117 miliar dialokasikan untuk rumah sakit dan US$ 16 untuk persediaan farmasi dan kelengkapan alat kesehatan nasional.

Selain itu, bantuan langsung tunai (BLT) juga dikucurkan sebesar US$ 1.200 per orang atau US$ 2.400 jika berpasangan dan tambahan US$ 500 untuk setiap anak. Bantuan ini hanya diperuntukkan untuk penduduk dengan pendapatan kurang dari US$ 75.000/tahun.

Kemudian memberikan hibah untuk industri maskapai penerbangan maupun pengangkutan masing-masing senilai US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang dialokasikan untuk membayar upah, gaji, dan tunjangan karyawan. Tidak lupa juga menyisihkan US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang digunakan sebagai pinjaman maupun jaminan pinjaman.

Bantuan juga diberikan dalam bentuk pinjaman ke UKM senilai US$ 350 miliar untuk membayar upah.

Banjir likuiditas tentunya akan terjadi akibat stimulus fiskal dari Trump, belum lagi stimulus moneter yang digelontorkan oleh Powell. Ketika perekonomian AS dibanjiri likuiditas dolar AS tentunya akan tertekan dan nilainya terus merosot.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Bukan Pamer, Cek Nih Keperkasaan Rupiah Lawan Mata Uang Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular