Tidak Sekadar Menguat, Rupiah Juga Juara Tiga di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 March 2020 17:23
Tidak Sekadar Menguat, Rupiah Juga Juara Tiga di Asia
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (24/3/2020). Pasar saham Asia yang mulai menguat memberikan sentimen positif ke rupiah.

Rupiah langsung menguat 0,31% ke level Rp 16.500/U$ begitu perdagangan hari ini dibuka. Penguatan tersebut bertambah besar menjadi 0,6% ke Rp 16.450/US$. Level tersebut merupakan level terkuat intraday rupiah sekaligus level penutupan perdagangan hari ini.

Mayoritas mata uang Asia menguat melawan dolar AS pada hari ini, meski demikian rupiah dengan penguatan 0,6% menjadi yang terbaik ketiga. Rupiah hanya kalah dari won Korea Selatan yang melesat 2,32%, dan dolar Singapura dengan penguatan 0,68%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 16:45 WIB.



Fakta menguatnya mata uang utama Asia menunjukkan dolar AS sedang loyo pada hari ini.

Penyebabnya, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang kembali menggelontorkan stimulus monoter membuat sentimen pelaku pasar sedikit membaik. Senin kemarin The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19).

The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.

"Tidak seperti pasca krisis finansial global (2008), saat The Fed nilai QE terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas" kata Ray Attril, kepala strategi valas di National Australia Ban, sebagaimana dilansir CNBC International.

Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas, sehingga nilai tukar dolar AS melemah.

Ini berarti, penguatan rupiah pada perdagangan hari ini masih rentan berbalik arah, apalagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah 1,3% pada hari ini, sementara indeks saham Asia lainnya melesat tinggi. Berdasarkan data RTI, di perdagangan hari ini investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 668,05 miliar di pasar reguler.

Sementara itu, di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) naik 7,7 basis poin (bps) menjadi 8,322%.

Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik.

Ketika harga sedang turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.

Melihat penurunan IHSG dan harga obligasi tersebut, rupiah sebenarnya masih rendah mengalami pelemahan.

Penyebab aksi jual di pasar keuangan RI masih sama dengan sebelumnya, pandemi virus corona (COVID-19). Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE hingga pagi ini, sudah lebih dari 160 negara terpapar COVID-19, dengan lebih dari 370.000 kasus. Jumlah korban meninggal tercatat lebih dari 16.000 orang, sementara yang sembuh lebih dari 100.000 orang.

Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 686 kasus positif, dengan 55 orang meninggal dan 30 orang dilaporkan sembuh. Angka tersebut diprediksi masih akan bertambah, bahkan cukup signifikan mengingat pemerintah akan melakukan rapid test.

Pandemi COVID-19 benar-benar membuat arah pasar finansial berbalik, bahkan pertumbuhan ekonomi global tahun ini yang sebelumnya lebih baik dari tahun lalu kini malah terancam mengalami resesi. Rupiah yang di bulan Januari lalu menjadi mata uang terbaik di dunia kini menjadi yang terburuk di Asia, akibat capital outflow yang besar.

Berdasarkan data dari RTI, hingga Senin kemarin investor asing melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 10,85 triliun year-to-date (YTD) di all market.

Sementara di pasar obligasi, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.

Itu artinya terjadi modal yang keluar dari RI nyaris Rp 100 triliun di pasar saham dan obligasi.



Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.

Merosotnya nilai tukar rupiah belakangan ini membuat Bank Indonesia (BI) menggelontorkan amunisnya guna menstabilkan nilai tukar Mata Uang Garuda. 

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengungkapkan saat ini cadangan devisa yang dimiliki Indonesia sangat cukup untuk melakukan stabilisasi nilai tukar. Walaupun saat ini aliran modal asing ke luar cukup tinggi, namun bank sentral memiliki banyak 'kekuatan' untuk membanjiri pasar.

"Aliran modal asing atau outflow baik dari Surat Berharga Negara, obligasi, dan saham itu mencapai Rp 125 triliun," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam briefing seputar perkembangan ekonomi terkini, Selasa (24/3/2020).

Ia menambahkan, Bank Indonesia juga telah menggelontorkan likuiditas hampir Rp 300 triliun. "Melalui pembelian SBN (Surat Berharga Negara) Rp 168 triliun dan dari repo perbankan Rp 55 triliun. Dan tak lupa ada penurunan GWM yang beraku April ini Rp 75 triliun," imbuh Perry.



Terkait penguatan rupiah hari ini, Perry mengatakan hal tersebut terjadi berkat pasokan valas dari eksportir.

"Nilai tukar rupiah hari ini cukup stabil. Bid dan offer berjalan baik di pasar valas. Terima kasih kepada eksportir yang memasok dolar ke pasar valas," kata Perry. 

BI, lanjut Perry, juga terus berada di pasar untuk mengawal rupiah. BI masih melakukan intervensi di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder.

Perry menegaskan bahwa BI punya 'amunisi' yang memadai bernama cadangan devisa. Sebagai informasi, cadangan devisa Indonesia per akhir Februari 2020 adalah US$ 130,44 miliar.





TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular