
Waspada! Risiko Rupiah Melemah ke Rp 17.000/US$ Masih Ada
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 March 2020 14:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (24/3/2020). Sentimen pelaku pasar yang sedikit membaik, yang tercermin dari penguatan bursa saham Asia memberikan sentimen positif ke rupiah.
Pada pukul 13:00 WIB US$ 1 setara dengan Rp 16.475, rupiah menguat 0,45% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya rupiah sempat menguat 0,6% ke Rp 16.450/US$.
Sentimen pelaku pasar sedikit terangkat di perdagangan hari ini setelah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang kembali menggelontorkan stimulus moneter membuat sentimen pelaku pasar sedikit membaik. Senin kemarin The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19).
The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapa pun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti gelontoran stimulus fiskal senilai triliunan dolar AS dari Pemerintah Washington, yang saat ini sedang di bawah di Senat.
Bursa saham Asia menghijau hingga siang ini, indeks Nikkei Jepang menguat lebih dari 5%, Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 6%, Hang Seng Hong Kong nyaris 4% dan Shanghai Composite lebih dari 1%. Hal tersebut turut membantu IHSG menguat, tetapi belum mampu dipertahankan.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menguat lebih dari 3%, tetapi gagal dipertahankan dan berbalik melemah 0,95% di akhir sesi I. Dari pasar pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) naik 7,7 basis poin (bps) menjadi 8,322%. Berdasarkan data RTI, sepanjang sesi I investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 363,45 miliar di pasar reguler.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga sedang turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.
Melihat penurunan IHSG dan harga obligasi tersebut, rupiah sebenarnya masih rentan mengalami pelemahan kembali.
Penyebab aksi jual di pasar keuangan RI masih sama dengan sebelumnya, pandemi virus corona (COVID-19). Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE hingga pagi ini, sudah lebih dari 160 negara terpapar COVID-19, dengan lebih dari 370.000 kasus. Jumlah korban meninggal tercatat lebih dari 16.000 orang, sementara yang sembuh lebih dari 100.000 orang.
Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 579 kasus positif, dengan 49 orang meninggal dan 29 orang dilaporkan sembuh. Angka tersebut diprediksi masih akan bertambah, bahkan cukup signifikan mengingat pemerintah akan melakukan rapid test.
Pandemi COVID-19 benar-benar membuat arah pasar finansial berbalik, bahkan pertumbuhan ekonomi global tahun ini yang sebelumnya lebih baik dari tahun lalu kini malah terancam mengalami resesi. Rupiah yang sebelumnya menjadi mata uang terbaik di dunia kini menjadi yang terburuk di Asia, akibat capital outflow yang besar.
Berdasarkan data dari RTI, hingga Senin kemarin investor asing melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 10,22 triliun secara year-to-date (YTD) di all market.
Sementara di pasar obligasi, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.
Itu artinya terjadi modal yang keluar dari RI nyaris Rp 100 triliun di pasar saham dan obligasi.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Pada pukul 13:00 WIB US$ 1 setara dengan Rp 16.475, rupiah menguat 0,45% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya rupiah sempat menguat 0,6% ke Rp 16.450/US$.
Sentimen pelaku pasar sedikit terangkat di perdagangan hari ini setelah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang kembali menggelontorkan stimulus moneter membuat sentimen pelaku pasar sedikit membaik. Senin kemarin The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19).
Selain itu, pelaku pasar juga menanti gelontoran stimulus fiskal senilai triliunan dolar AS dari Pemerintah Washington, yang saat ini sedang di bawah di Senat.
Bursa saham Asia menghijau hingga siang ini, indeks Nikkei Jepang menguat lebih dari 5%, Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 6%, Hang Seng Hong Kong nyaris 4% dan Shanghai Composite lebih dari 1%. Hal tersebut turut membantu IHSG menguat, tetapi belum mampu dipertahankan.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menguat lebih dari 3%, tetapi gagal dipertahankan dan berbalik melemah 0,95% di akhir sesi I. Dari pasar pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) naik 7,7 basis poin (bps) menjadi 8,322%. Berdasarkan data RTI, sepanjang sesi I investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 363,45 miliar di pasar reguler.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga sedang turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.
Melihat penurunan IHSG dan harga obligasi tersebut, rupiah sebenarnya masih rentan mengalami pelemahan kembali.
Penyebab aksi jual di pasar keuangan RI masih sama dengan sebelumnya, pandemi virus corona (COVID-19). Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE hingga pagi ini, sudah lebih dari 160 negara terpapar COVID-19, dengan lebih dari 370.000 kasus. Jumlah korban meninggal tercatat lebih dari 16.000 orang, sementara yang sembuh lebih dari 100.000 orang.
Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 579 kasus positif, dengan 49 orang meninggal dan 29 orang dilaporkan sembuh. Angka tersebut diprediksi masih akan bertambah, bahkan cukup signifikan mengingat pemerintah akan melakukan rapid test.
Pandemi COVID-19 benar-benar membuat arah pasar finansial berbalik, bahkan pertumbuhan ekonomi global tahun ini yang sebelumnya lebih baik dari tahun lalu kini malah terancam mengalami resesi. Rupiah yang sebelumnya menjadi mata uang terbaik di dunia kini menjadi yang terburuk di Asia, akibat capital outflow yang besar.
Berdasarkan data dari RTI, hingga Senin kemarin investor asing melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 10,22 triliun secara year-to-date (YTD) di all market.
Sementara di pasar obligasi, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.
Itu artinya terjadi modal yang keluar dari RI nyaris Rp 100 triliun di pasar saham dan obligasi.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular