Newsletter

Duh! Bursa Berjangka AS Sudah Ambles 5%, Pasar RI Apa Kabar?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 March 2020 06:07
Duh! Bursa Berjangka AS Sudah Ambles 5%, Pasar RI Apa Kabar?
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri melewati pekan terburuk yang terakhir kali terjadi pada tahun 2008, nyaris 12 tahun yang lalu.

Aksi jual terus terjadi, perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami 2 kali penghentian sementara selama 30 menit (trading halt) dalam lima hari perdagangan pekan lalu, setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles 5,01%. Dengan demikian, dalam dua pekan terakhir, total berdagangan di BEI mengalami 4 kali trading halt.

Sepanjang pekan lalu, IHSG ambles 14,52% ke 4.194,944, level tersebut merupakan yang terendah sejak September 2015. Penurunan nyaris 15% tersebut menjadi penurunan terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, pada bulan Oktober 2008, IHSG ambrol lebih dari 20% dalam sepekan.

Bursa kebanggaan tanah air ini pada Jumat (20/3/2020) juga sempat menembus ke bawah level 4.000, tepatnya di 3.918,340 yang merupakan level terendah sejak Agustus 2013.



Jika dilihat sejak akhir 2019 hingga Jumat pekan lalu atau secara year-to-date (YTD), IHSG kini sudah ambrol 34,12%. Berdasarkan data dari RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih secara YTD sebesar Rp 10,25 triliun.

Sementara itu dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun naik 80,3 basis poin (bps) menjadi 8,099%. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Mei 2019. Secara YTD, yield tenor 10 tahun tersebut sudah naik 100,1 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Ketika harga turun, berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.

Akibat capital outflow yang terjadi di pasar saham dan obligasi, rupiah menjadi babak belur hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Jumat lalu, rupiah sempat menyentuh Rp 16.200/US$, level tersebut menyamai level terlemah intraday 18 Juni 1998. Adapun rekor terlemah rupiah secara intraday Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.



Rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga keluar dari level Rp 16.000/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 15.900/US$ pada hari Jumat. Tetapi untuk diketahui, pada 17 Juni 1998, rupiah memang menyentuh level Rp 16.800/US$, tetapi di akhir perdagangan berada di level Rp 15.000/US$.

Selanjutnya, sehari setelahnya rupiah kembali melemah ke Rp 16.200/US$, tetapi setelahnya justru berbalik menguat dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.000/US$.

Itu artinya pada perdagangan jika melihat posisi penutupan perdagangan, Rp 15.900/US$ merupakan yang terlemah sepanjang sejarah.

Sepanjang pekan lalu, rupiah ambles 7,87%, dan menjadi yang terburuk sejak pekan terakhir bulan Oktober 2008. Secara YTD, rupiah kini sudah ambrol 14,55%.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.



Capital outflow tersebut terjadi akibat pendemi virus corona (COVID-19) yang meluas dan nyaris semua negara terpapar virus asal kota Wuhan provinsi Hubei, China tersebut.

Akibatnya banyak negara mengambil kebijakan lockdown, yang membuat aktivitas ekonomi global merosot tajam, bahkan muncul risiko resesi. Dampaknya aksi jual tak terhindarkan di pasar keuangan RI, dan terjadi capital outflow nyaris Rp 100 triliun di pasar saham dan obligasi.

Aksi jual sebenarnya tidak hanya terjadi di pasar keuangan RI, tetapi juga secara global. Namun Indonesia yang merupakan negara emerging market tentunya dianggap lebih berisiko oleh para investor sehingga aksi jual terjadi lebih parah.

Bursa saham AS (Wall Street) bergerak dengan volatilitas tinggi dan ambrol pada pekan lalu. Indeks Dow Jones ambles 17% sepanjang pekan lalu, mencatat pekan terburuk sejak Oktober 2008 ketika merosot 18,2%. Indeks S&P 500 ambles lebih dari 13% dan Nasdaq -12,6%. Keduanya juga mencatat pekan terburuk sejak krisis finansial 2008. 

Tidak hanya itu, Indeks Dow Jones sepanjang bulan Maret sudah ambrol 24% dan kemungkinan akan membukukan kinerja bulanan terburuk sejak September 1931, sementara S&P 500 -22% menuju kinerja terburuk sejak bulan Mei 1940. 



Penyebabnya sama, COVID-19 yang sudah menyebar dengan cepat di AS. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini lebih dari 26.000 orang terjangkit COVID-19, dengan korban meninggal sebanyak 340 orang, sementara yang sembuh sebanyak 176 orang. 

Banyak negara bagian yang sudah membatasi aktivitas warganya guna mereda penyebaran COVID-19, dampaknya aktivitas ekonomi menurun drastis, dan pertumbuhan ekonomi Paman Sam terancam merosot. 

Terbaru, pemerintah di New York juga mengumumkan pembatasan aktivitas mulai Minggu malam waktu AS. Hal in membuat para ekonom semakin pesimistis dengan situasi ekonomi global.

Gubernur New York Andrew Cuomo memerintahkan aktivitas bisnis yang tidak penting untuk ditutup dan melarang semua pertemuan. Peningkatan dramatis langkah-langkah mitigasi ini dilakukan setelah negara bagian terpadat di negara itu, California, pada hari Kamis mengarahkan 40 juta penduduknya untuk tinggal di rumah.

Stimulus fiskal sudah digelontorkan oleh pemerintah AS, sementara stimulus moneter juga dikucurkan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Tetapi nyatanya aksi jual masif masih terus terjadi, bahkan diikuti dengan volatilitas yang sangat tinggi. 

"Pasar bergerak karena lebih karena emosi, bukan data aktual. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya volatilitas tinggi" kata Sal Bruno, chief investment officer di IndexIQ, sebagaimana dilansir CNBC International. 

Pada pekan lalu, indeks yang mengukur volatilitas pasar (VIX) atau yang dikenal juga dengan indeks ketakutan (fear index) ditutup di atas 80, dan lebih tinggi dari level krisis 2008. Itu pelaku pasar lebih cemas dengan outlook ekonomi saat ini, ketimbang di tahun 2008. Akibatnya, aksi jual di kiblat bursa saham dunia ini terus berlanjut.



Meski demikian, VIX pada hari Jumat menurun tajam hingga berada di kisaran 66, bisa jadi hal tersebut mengindikasikan ketakutan pelaku pasar mulai mereda setelah gelontoran kebijakan dari pemerintah maupun bank sentral negara-negara. 


Pandemi COVID-19 benar-benar memukul pasar finansial global. Yang paling ditakutkan oleh pelaku pasar adalah dampak COVID-19 ke perekonomian global. Pandemi yang sudah masuk ke AS dan menyebabkan banyak negara bagian membatasi aktivitas warganya, tentunya membuat perekonomian AS terpukul.

Ketika aktivitas warganya terbatas, tentunya belanja konsumen akan menurun.

Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS, yang berkontribusi sekitar dua per tiga dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Saat belanja konsumen menurun, maka PBD AS juga akan merosot.

Ketika sang raksasa ekonomi dunia (Amerika Serikat) lesu, maka ekonomi global pun kena dampaknya, apalagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, China, juga terlebih dahulu mengalami hal yang sama.


IHS Markit memprediksi perekonomian global di tahun ini hanya akan tumbuh sebesar 0,7%. Melansir CNBC International, pertumbuhan ekonomi global di bawah 2% diklasifikasikan sebagai resesi global.

Kepala Ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.

PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.

Perekonomian global jelas-jelas terpukul, hal tersebut membuat bank sentral dan pemerintah di berbagai negara bergerak cepat memberikan stimulus guna melindungi perekonomian mereka.

The Fed, bank sentral paling powerful di dunia, sudah membabat habis suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) menjadi 0-0,25%, juga mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). Kebijakan bank sentral pimpinan Jerome Powell ini sama dengan ketika menghadapi krisis finansial 2008. Presiden AS, Donald Trump, juga sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 1 triliun.

Kemudian dari Eropa, yang kini menjadi episentrum baru COVID-19, European Central Bank (ECB) pekan lalu mengumumkan akan menggelontorkan senilai 500 miliar euro (US$ 820 miliar).

Dua pekan lalu, pekan lalu, juga mengumumkan QE senilai 120 miliar euro (US$ 105,8 miliar) yang akan dilakukan hingga akhir tahun nanti. Bank sentral Inggris juga sudah memangkas suku bunga acuannya menjadi 0,25%, belum lagi negara-negara lain yang juga mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal.

Tetapi sayangnya aksi jual di pasar finansial masih terus berlanjut. Pelaku pasar saat ini lebih menginginkan kepastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir. Atau setidaknya ada tanda-tanda penyebarannya sudah mampu dikekang.

Ketika hal tersebut terjadi, bank investasi ternama JPMorgan meyakini Wall Street akan kembali mencapai rekor tertingginya.  Dalam catatan ke nasabahnya, kepala strategi pasar saham AS, Dubravko Lakos-Bujas memprediksi indeks S&P 500 akan mencapai level 3.400 di awal 2021. Level tersebut melewati rekor tertingi sepanjang masa 3.386 yang dicapai pada 19 Februari lalu, dan 47% lebih tinggi dari level penutupan Jumat lalu.

Salah satu yang bisa menjadi indikator sentimen investor terhadap aset-aset berisiko adalah pergerakan indeks saham berjangka (futures) Wall Street. Kabar buruknya, indeks futures Wall Street langsung menyentuh "batas bawah" atau "limit down" setelah ambles 5% kurang dari 5 menit setelah perdagangan di bulan pukul 5:00 WIB hari ini, Senin (23/3/2020).

"Batas bawah" pada perdagangan futures yakni penurunan sebesar 5%. Bursa berjangka CME memberikan "batas bawah" 5% untuk mencegah terjadinya kepanikan di pasar.

Ambrolnya indeks berjangka AS menjadi indikasi sentimen pelaku pasar yang masih buruk dan menghindari aset-aset berisiko, dan tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia termasuk Indonesia, yang berisiko memicu kembali aksi jual. 

AS saat ini sedang merancang paket stimulus baru termasuk menyediakan likuiditas bagi perusahaan yang terkena dampak pandemi COVID-19.

Mengutip CNBC International, Menteri Keuangan AS, Stephen Mnuchin pada hari Minggu waktu AS mengatakan stimulus yang akan diberikan untuk memacu perekonomian AS senilai US$ 4 triliun, termasuk di dalamnya berkoordinasi dengan The Fed guna memberikan likuiditas yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang terkena dampak.

Kepala strategi pasar saham AS dari Goldman Sachs, David Kostin, mengatakan yang akan membedakan antara cepat atau lamanya pemulihat di bursa saham akan ditentukan oleh 3 faktor yakni, seberapa cepat penyebaran COVID-19 dapat diatasi, apakah dunia usaha mendapatkan akses untuk mencukupi modal dan likuiditas yang cukup dalam 90 sampai 120 hari ke depan, dan apakah stimulus fiskal dapat menstabilkan proyeksi pertumbuhan ekonomi.

Kecepatan mengatasi penyebaran COVID-19 menjadi kuncinya, ketika sudah berhasil dihentikan atau penyebarannya mulai melandai, maka roda perekonomian bisa segera berputar kembali. Semakin lama COVID-19 menyebar, maka semakin lama pula aktivitas ekonomi akan terhenti, dan sebesar apapun stimulus yang diberikan menjadi kurang efektif.



Sama dengan negara lainnya, Pemerintah RI dan Bank Indonesia (BI) juga sudah mengeluarkan senjata untuk meminimalisir dampak COVID-19. Hingga saat ini, kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 514 orang, dengan 48 orang meninggal dunia, dan 29 orang dinyatakan sembuh. 

Pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan, ada total sebesar Rp 62,3 triliun dari realokasi anggaran APBN, baik yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) baik di pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Kami sampai hari ini sudah identifikasi Rp 62,3 triliun dari belanja K/L yang akan bisa direalokasikan untuk bisa dipiroritaskan seusai arahan presiden," katanya.

Sementara itu BI pada pekan lalu kembali memangkas suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5. Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko COVID-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi sekali lagi, pelaku pasar belum merespon hal tersebut, aksi jual di bursa keuangan dalam negeri terus berlanjut. 



Meski demikian di hari Jumat lalu, IHSG berhasil rebound dari level terlemah sejak Agustus 2013, kemudian rupiah berhasil kembali ke bawah level Rp 16.000/US$. Pergerakan tersebut bisa jadi mengindikasikan pelaku pasar melihat pelemahan IHSG sudah terlalu dalam dan memburu saham-saham murah. 

Begitu juga dengan rupiah yang nilainya merosot terlalu tajam, padahal di bulan Januari lalu rupiah merupakan mata uang terbaik di dunia setelah menguat lebih dari 2% melawan dolar AS. 

Itu artinya di awal tahun pelaku pasar melihat investasi di RI menarik sehingga terjadi capital inflow yang cukup besar sebelum muncul pandemi COVID-19 yang membalikkan keadaan. 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini: 
  • Rilis data penjualan sepeda motor Indonesia (13:30 WIB)


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar




TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular