Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengalami tekanan berat akhir-akhir ini. Aksi jual yang melanda mata uang Tanah Air membuatnya melemah sangat dalam.
Pada Jumat (20/3/2020), US$ 1 dihargai Rp 15.900 kala penutupan pasar spot. Rupiah berada di posisi terlemah sepanjang sejarah jika mengacu ke posisi penutupan pasar. Kalau dilihat dari perdagangan intraday, posisi terlemah rupiah ada di Rp 16.800/US$ yang terjadi pada pertengahan 1998.
Dalam sebulan terakhir, rupiah anjlok 16,06% di hadapan dolar AS. Sementara secara year-to-date (YtD), depresiasi rupiah tercatat 14,55%.
Rupiah begitu lemah karena investor memang sedang tidak berselera memegang mata uang ini. Reuters melakukan survei dwi-mingguan terhadap mata uang utama Asia, dan hasilnya rupiah adalah mata uang yang paling banyak 'dibuang.'
Hasil survei Reuters digambarkan dalam angka -3 sampai 3. Semakin tinggi hasilnya, maka investor semakin mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS yang berarti mata uang lawannya berada di posisi short (jual).
Dalam survei 19 Maret, skor rupiah adalah 1,57. Ini menjadi yang paling tinggi di antara mata uang Asia lainnya.
Periode | CNY | KRW | SGD | IDR | TWD | INR | MYR | PHP | THB |
19/3 | 0.57 | 1.22 | 1.18 | 1.57 | 0.18 | 1.22 | 1.14 | 0.56 | 1.23 |
05/3 | 0.13 | 0.67 | 0.50 | 0.73 | -0.31 | 0.63 | 0.56 | -0.18 | 0.93 |
20/2 | 0.52 | 0.74 | 1.06 | -0.54 | 0.06 | 0.10 | 0.34 | -0.30 | 0.75 |
6/2 | 0.34 | 0.61 | 0.67 | -0.60 | 0.03 | 0.12 | 0.01 | -0.15 | 0.37 |
23/1 | -0.45 | -0.22 | -0.50 | -0.86 | -0.85 | -0.05 | -0.39 | -0.43 | -1.05 |
9/1 | -0.55 | -0.13 | -0.56 | -0.49 | -0.63 | 0.40 | -0.24 | -0.23 | -1.04 |
5/12 | 0.18 | 0.39 | -0.30 | -0.35 | -0.63 | 0.44 | 0.25 | -0.62 | -1.19 |
21/11 | -0.11 | -0.37 | -0.71 | -0.41 | -0.84 | 0.31 | 0.11 | -0.64 | -1.08 |
07/11 | -0.18 | -0.38 | -0.48 | -0.50 | -1.03 | 0.10 | 0.04 | -0.85 | -1.08 |
24/10 | 0.25 | 0.07 | -0.06 | -0.22 | -0.56 | 0.31 | 0.45 | -0.29 | -1.13 |
Sumber: Reuters
[Gambas:Video CNBC]
Rupiah memang tertekan luar-dalam. Dari sisi eksternal, rupiah merasakan dampak penurunan risk appetite investor global akibat penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Minggu (22/3/2020) pukul 00:53 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 297.090 sementara korban jiwa mencapai 12.755. Virus corona yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China, kini sudah hinggap di lebih dari 170 negara.
Agar penyebaran tidak meluas, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Pemerintah dan berbagai kalangan mengampanyekan gerakan bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah agar gerak virus corona menjadi terbatas.
Sejumlah negara bahkan sudah melakukan hal yang lebih ekstrem yaitu karantina wilayah (lockdown). Tidak boleh ada warga yang pergi ke luar negeri, dan pendatang dari negara lain tidak boleh masuk. Ketika lockdown, warga benar-benar tidak boleh boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang amat sangat mendesak sekali banget.
Kebijakan work from home apalagi lockdown membuat aktivitas publik menjadi terbatas. Memang nyawa adalah prioritas pertama dan paling utama. Namun tidak bisa dipungkiri keterbatasan aktivitas masyarakat membuat roda perekonomian berjalan lambat, bahkan mungkin berhenti sama sekali.
Situasi ini juga terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 dari 5-5,5% menjadi 4,2-4,6%. Bahkan pemerintah punya skenario terburuk ekonomi Indonesia stagnan alias tidak tumbuh.
Artinya, pelambatan ekonomi bukan lagi soal terjadi atau tidak tetapi seberapa dalam. Ini yang membuat investor ogah mendekati aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Situasi saat ini memang sedang tidak mendukung untuk mengambil risiko. Bahkan obligasi pemerintah di Asia yang menawarkan imbalan tinggi juga tidak menarik," ujar Pan Jingyi, Market Strategist di IG Asia, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara dari dalam negeri, rupiah terpukul karena Indonesia tidak kunjung menyelesaikan pekerjaan rumah bernama defisit transaksi berjalan (current account deficit). Pada 2019, defisit transaksi berjalan Indonesia adalah -2,72% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari pos ini dipandang lebih berjangka panjang ketimbang investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Oleh karena itu, transaksi berjalan bisa menopang stabilitas nilai tukar mata uang dalam jangka panjang.
Tahun ini, sepertinya tekanan terhadap transaksi berjalan akan datang dari kelesuan ekspor. Pasalnya, harga dua komoditas andalan ekspor Indonesia yaitu batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) sedang jatuh. Secara YTD, harga batu bara dan CPO ambrol masing-masing -25,03% dan -3,33%.
 Refinitiv |
Pada 2019, nilai batu bara menyumbang 11,27% dari total ekpsor Indonesia dan berada di posisi pertama. Kedua adalah CPO dengan kontribusi 9,29%.
Harga batu bara dan CPO anjlok tidak lepas dari dampak penyebaran virus corona yang sudah disebutkan sebelumnya. Kala perekonomian dunia terancam stagnan, bahkan mengkerut, permintaan akan komoditas tentu berkurang sehingga harga bergerak ke selatan.
"Fundamental Indonesia dan cadangan devisa memang membaik sejak akhir 2018, tetapi ketergantungan terhadap portofolio untuk membiayai defisit transaksi berjalan membuat rupiah 'tersandera' oleh sentimen eksternal. Ini membuat kami masih menempatkan obligasi berbasis rupiah di posisi underweight. Kurs rupiah terhadap dolar AS bisa saja menuju ke Rp 16.500/US$ dalam waktu dekat jika arus modal keluar (capital outflows) terus meningkat," sebut riset Citi.
TIM RISET CNBC INDONESIA