Kok Harga Batu Bara Lebih Stabil dari Minyak? Ini Alasannya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 March 2020 12:08
Kok Harga Batu Bara Lebih Stabil dari Minyak? Ini Alasannya
Foto: Batu Bara (REUTERS/Jason Lee)
Jakarta, CNBC Indonesia - Walau mengalami fluktuasi, harga batu bara dunia sebenarnya merupakan komoditas yang harganya relatif lebih stabil dibanding harga komoditas lain di tengah merebaknya wabah virus corona (COVID-19) secara global.

Pada perdagangan Kamis kemarin (19/3/2020), harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle ditutup di US$ 66,4/ton atau turun 0,15% dibanding harga penutupan pada perdagangan sebelumnya.

Walau sedikit banyak pergerakan harga minyak jadi sentimen untuk harga batu bara, tetapi anjloknya harga minyak tak lantas membuat harga batu bara melorot signifikan dan memiliki volatilitas yang tinggi.

Jika dibandingkan dengan minyak yang sudah anjlok 40% dalam 2 pekan terakhir, harga batu bara justru relatif stabil di rentang US$ 64 - US$ 66 per ton.


Ada beberapa alasan utama yang membuat harga batu bara cenderung stabil. Jawabannya adalah wabah COVID-19 itu sendiri. Adanya wabah COVID-19 membuat Mongolia sebagai tetangga China yang menyuplai batu bara kokas untuk kebutuhan pembuatan baja China menutup perbatasannya, sehingga memangkas pasokan ke China hingga 50% dari biasanya.

Kedua adalah cuaca basah musiman di negara bagian Australia. Australia merupakan sumber dari sebagian besar ekspor batu bara Asia Pasifik. Cuaca yang tidak mendukung tentu menjadi penghambat pengiriman batu bara menggunakan kargo. Hal ini berakibat pada kenaikan harga.

Kini China sudah melaporkan penurunan kasus infeksi COVID-19 secara signifikan dan sudah memulai kembali aktivitas ekonominya. Perbatasan Mongolia juga telah dibuka kembali, tetapi Queensland masih mengalami gangguan cuaca, sehingga harga batu bara tetap kokoh.

Harapan bahwa Beijing akan mendorong langkah-langkah stimulus untuk meningkatkan ekonomi juga mendukung harga batu bara kokas. Batu bara termal juga mendapat berkah dari wabah COVID-19 karena tambang China jadi menganggur atau bekerja dengan kapasitas yang lebih rendah. Hal ini mendorong permintaan impor batu bara

Dengan aktivitas penambangan China yang kembali normal, kemungkinan akan ada penurunan dalam permintaan impor. Namun, harga batu bara impor yang masih bersaing dengan harga domestik menjadi salah satu poin plus. Artinya, trader memiliki insentif keuntungan untuk membeli dari eksportir batu bara termal Indonesia dan Australia.


Harga indeks mingguan untuk batu bara termal di pelabuhan Newcastle Australia, sebagaimana dilaporkan oleh Argus, adalah US$ 64,87/ton dalam sepekan yang berakhir 13 Maret, hampir tidak berubah dari US$ 64,85 pada akhir 2019.

Sementara harga batu bara Indonesia berkualitas lebih rendah dengan nilai energi 4.200 kilokalori per kg berada di $ 32,77 per ton, turun 3,1% dari akhir tahun lalu.

Faktor tersebut menjadi sentimen positif untuk harga batu bara. Namun di sisi lain COVID-19 juga berpotensi membawa disrupsi bagi permintaan batu bara di negara-negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan yang juga konsumen terbesar batu bara di kawasan Asia.

[Gambas:Video CNBC]



Impor batu bara Jepang sejak awal Maret sampai dengan kemarin tercatat sebesar 6,3 juta ton. Padahal tahun lalu, pada periode yang sama impor batu bara Jepang mencapai 8,1 juta ton. Artinya ada kontraksi sebesar 22,2% (yoy).

Sebenarnya potensi penurunan output daya yang dihasilkan dari pembangkit nuklir Jepang jadi faktor yang positif untuk harga batu bara. Namun akibat rendahnya harga gas di pasar, serta wabah COVID-19 maka hal ini membuat disrupsi dari sisi permintaan batu bara di Jepang.

Wabah COVID-19 yang juga terjadi di Korea Selatan turut membebani harga batu bara. Data Refinitiv menunjukkan, impor batu bara Negeri Ginseng sejak awal Maret hingga kemarin sebesar 3,2 juta ton tahu turun 41,8% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,5 juta ton.


Risiko penurunan permintaan batu bara juga berasal dari Korea Selatan yang dikabarkan akan menghentikan operasi 21-28 pembangkit listriknya yang menggunakan bahan bakar batu bara Maret ini. Hal itu dilakukan Negeri KPOP untuk melawan perubahan iklim.

Perlu diketahui, Korea Selatan memiliki kurang lebih 60 pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara dan berkontribusi sebesar 40% terhadap suplai listrik di Negeri Ginseng. Jadi dapat dibayangkan jika lebih dari sepertiga pembangkit listriknya tidak dioperasikan maka permintaan dari Korea Selatan pun akan turun.



TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular