
Corona Masih Bikin Cemas, Investor Ragu Masuk Bursa Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 March 2020 09:01

Untuk meredam dampak virus corona terhadap perekonomian, berbagai negara getol menggelontorkan stimulus. Di sisi fiskal, pemerintah di berbagai negara merilis stimulus fiskal dalam jumlah besar.
Misalnya di AS, Presiden Donald Trump menjanjikan stimulus dengan nilai mencapai US$ 1 triliun (Rp 15.175 triliun). Stimulus ini diperkirakan sudah bisa dieksekusi dua minggu lagi.
"Kami akan melakukan sesuatu yang besar," tegas Trump, seperti diwartakan Reuters.
Beberapa program dalam stimulus fiskal di AS adalah pendanaan sebesar US$ 50 miliar (Rp 758,75 triliun) kepada industri penerbangan yang terpukul akibat kelesuan sektor pariwisata dan perjalanan.
Selain itu, Washington juga mempertimbangkan bantuan tunai senilai US$ 1.000 (Rp 15,17 juta) kepada warga AS yang membutuhkan. Kalau di Indonesia, program ini semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Saya rasa memang harus ada bantuan tunai. Dengan begitu, rumah tangga bekal untuk konsumsi," kata Claudia Sahm, Direktur Kebijakan Makroekonomi di Washington Center for Equitable Growth, seperti dikutip dari Reuters.
Namun masalahnya, stimulus fiskal seperti ini bertujuan untuk mendorong permintaan (demand). Sementara virus corona menyerang sisi lain dari perekonomian yaitu pasokan (supply).
Akibat serangan virus corona, banyak negara yang melakukan lockdown. Ini membuat kantor dan pabrik tidak beroperasi.
Artinya, output produksi menjadi berkurang dan terjadi kelangkaan. Jadi walau masyarakat diberi uang tunai untuk berbelanja, kalau barangnya tidak ada bagaimana?
"Kami menilai pengambil kebijakan tidak bisa menganggap enteng risiko tekanan di sisi pasokan. Jika ini berlangsung lama, maka output manufaktur global akan turun dan menyebabkan inflasi," tegas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, seperti dikutip dari risetnya.
Situasi yang masih penuh tantangan seperti ini membuat investor berpikir ribuan kali untuk masuk ke instrumen berisiko di pasar keuangan Asia. Akibatnya, bursa saham Benua Kuning masih sulit mendapatkan momentum untuk bangkit.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Misalnya di AS, Presiden Donald Trump menjanjikan stimulus dengan nilai mencapai US$ 1 triliun (Rp 15.175 triliun). Stimulus ini diperkirakan sudah bisa dieksekusi dua minggu lagi.
"Kami akan melakukan sesuatu yang besar," tegas Trump, seperti diwartakan Reuters.
Selain itu, Washington juga mempertimbangkan bantuan tunai senilai US$ 1.000 (Rp 15,17 juta) kepada warga AS yang membutuhkan. Kalau di Indonesia, program ini semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Saya rasa memang harus ada bantuan tunai. Dengan begitu, rumah tangga bekal untuk konsumsi," kata Claudia Sahm, Direktur Kebijakan Makroekonomi di Washington Center for Equitable Growth, seperti dikutip dari Reuters.
Namun masalahnya, stimulus fiskal seperti ini bertujuan untuk mendorong permintaan (demand). Sementara virus corona menyerang sisi lain dari perekonomian yaitu pasokan (supply).
Akibat serangan virus corona, banyak negara yang melakukan lockdown. Ini membuat kantor dan pabrik tidak beroperasi.
Artinya, output produksi menjadi berkurang dan terjadi kelangkaan. Jadi walau masyarakat diberi uang tunai untuk berbelanja, kalau barangnya tidak ada bagaimana?
"Kami menilai pengambil kebijakan tidak bisa menganggap enteng risiko tekanan di sisi pasokan. Jika ini berlangsung lama, maka output manufaktur global akan turun dan menyebabkan inflasi," tegas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, seperti dikutip dari risetnya.
Situasi yang masih penuh tantangan seperti ini membuat investor berpikir ribuan kali untuk masuk ke instrumen berisiko di pasar keuangan Asia. Akibatnya, bursa saham Benua Kuning masih sulit mendapatkan momentum untuk bangkit.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular