Newslettter

Wall Street Perkasa! Tren Penguatan Jangan Pergi Dulu

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
05 March 2020 06:59
Pasar Eropa dan AS Menghijau
Foto: Wall Street/Brendan McDermid | Reuters

Faktor lain yang juga membuat pasar menguat adalah karena adanya potensi penyesuaian (rebalancing) portofolio pengelola dana (fund manager) dari institusi besar domestik. Aksi rebalancing perlu dilakukan setelah portofolio mereka terkoreksi dalam sejak awal tahun hingga hampir 15%, tepatnya 14,89% hingga Senin pekan ini.

Fund manager tentu memiliki keperluan untuk menjaga porsi portofolio antara instrumen saham dan instrumen lain seperti dana kas. Ketika koreksi pasar saham sudah mencapai level koreksi yang cukup besar itu, maka besar kemungkinan persentase porsi dana kas mereka akan melebihi porsi di awal tahun ini, sehingga memaksa mereka untuk membeli lagi instrumen ekuitas di pasar untuk menyamakan persentase portofolio saham dan dana kas kembali ke awal tahun lagi.

Lonjakan di pasar saham ternyata juga terjadi di pasar obligasi. Kemarin, harga obligasi rupiah pemerintah juga didorong oleh sentimen dari pemangkasan suku bunga acuan yang justru dapat menambah daya tarik instrumen efek utang.

Seri acuan SUN yang paling menguat kemarin adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 26,80 basis poin (bps) menjadi 5,77%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Besaran penurunan yield tersebut tentunya 'sesuatu banget' karena biasanya pergerakan yield harian hanya terjadi pada rentang 0 bps-5 bps.

Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Kodrat dari surat utang negara (SUN) adalah harganya dapat naik yang seiring dengan potensi penurunan tingkat imbal hasil (yield) ketika suku bunga acuan berpotensi dipangkas, atau bahkan sudah dipangkas 'beneran'.

Dengan adanya penurunan suku bunga acuan AS, maka bukan tidak mungkin langkah cepat dari bank sentral AS yang bisa dianggap meniru gaya ahead the curve Bank Indonesia tersebut, akan membuat bank sentral di negara lain juga menurunkan suku bunganya.

Meskipun membuat pasar saham AS meradang kemarin, ternyata penurunan suku bunga justru diapresiasi pelaku pasar di Asia. Terlihat bahwa pasar Asia ditutup naik meskipun 'tidak besar-besar amat' layaknya IHSG yang eksis dan memuncaki posisi tertinggi di antara indeks saham Asia lain kemarin.

Gelar Macan Asia yang patut disematkan untuk IHSG kemarin tentu juga pantas untuk disandang oleh rupiah, mengingat kemarin rupiah ditutup menguat 1,16%.

Mata Uang Garuda membuka perdagangan di level Rp 14.250/US$ atau menguat 0,18% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Penguatan tersebut semakin tajam hingga 1,02% di Rp 14.130/US$, sebelum terpangkas di Rp 14.150/US$ pada pukul 12:00 WIB.

Penguatan rupiah kembali terakselerasi selepas tengah hari, bahkan sempat menyentuh Rp 14.090/US$ atau menguat 1,3%. Di penutupan perdagangan, penguatan rupiah terpangkas ke Rp 14.110/US$ menguat 1,16% di pasar spot.

Dari Asia, indeks saham utama Nikkei 225 di Jepang naik 0,08%, Shanghai Composite naik 0,63%, dan Straits Times di Singapura menguat 0,18%. Di sisi lain, indeks Hang Seng di Hong Kong masih turun -0,24%.

Penguatan tersebut juga
diikuti hijaunya pasar saham Benua Biru yang naik lebih signifikan dan meyakinkan. Indeks DAX di Jerman naik 1,19%, CAC di Prancis menguat 1,33%, dan FTSE 100 di Inggris Raya terapresiasi 1,45%.

Di Amerika Serikat semalam, ternyata Super Tuesday atau ajang seleksi capres dari Partai Demokrat digadang-gadang menjadi penyebab penguatan pasar saham AS semalam. Unggulnya mantan wakil presiden Joe Biden yang megusung program asuransi universal 'Medicare for All' ternyata masih di atas pesaingnya Bernie Sanders yang dianggap lebih keras terhadap kebijakan kapitalis. Masih lebih potensialnya Biden menjadi perwakilan Demokrat turut dianggap sebagai pendorong rally pasar saham AS tadi pagi.

Indeks utama Wall Street yaitu Dow Jones Industrial Avg ditutup melonjak 4,52%, indeks S&P 500 meroket 4,22%, dan Nasdaq Composite menguat lebih tipis meskipun masih cukup besar yaitu 3,85%.

Ketika pasar sahamnya menguat, bursa obligasi pemerintah di AS (biasa disebut US Treasury) bergerak sebaliknya yaitu mengalami koreksi harga. Penurunan harga tercermin dari kenaikan yield, terutama yang terjadi pada seri acuan utama yaitu tenor 10 tahun.

Kemarin, yield UST seri 10 tahun sempat turun hingga 0,93% dan ditutup pada 0,99% sekaligus mencetak posisi yield terendah sepanjang masa. Posisi yield tersebut mencerminkan bahwa risiko yang dipandang oleh pelaku pasar sedang tinggi-tingginya, dan berkaca dari rekor tentunya risiko tersebut merupakan hal paling besar yang ditakuti pasar sepanjang masa hingga saat ini, yaitu resesi akibat virus corona.


(irv)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular