Saham Emiten BUMN Rontok Sejak Awal Tahun, Ada Apa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 February 2020 18:34
Saham Emiten BUMN Rontok Sejak Awal Tahun, Ada Apa?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Jumat 28/2/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Meluasnya wabah corona membuat bursa saham global mengalami tekanan hebat, tak terkecuali bursa saham Tanah Air. Saham-saham emiten BUMN pun tak luput dari tekanan dan babak belur sejak awal tahun.

Harga saham-saham emiten pelat merah, sejak awal tahun mencatatkan tren koreksi yang dalam. Dari 20 emiten pelat merah yang sahamnya diperdagangkan di bursa saham Tanah Air, rata-rata penurunan harganya mencapai 25,5% year to date hingga Jumat (28/2/2020).

Bahkan dari 20 emiten ada empat emiten yang harganya anjlok hampir 50%. Saham-saham tersebut adalah saham PT Garuda Indonesia Tbk/GIAA (-49,8%), PT Indofarma Tbk/INAF (-48.,5%), PT Perusahaan Gas Negara/PGAS (-41%) dan PT Semen Baturaja Tbk/SMBR (-40,9%).

Sementara saham-saham BUMN yang minusnya paling rendah sejak awal tahun adalah saham emiten perbankan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-4,8%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-5,2%) dan emiten konstruksi PT Wijaya Karya Tbk/WIKA (-5,8%).

Jika dilihat secara harian, maka harga saham-saham BUMN mengalami koreksi rata-rata 3,5% pada hari ini dibanding hari kemarin. Jika melihat performa harian saham BUMN yang kinerjanya paling buruk adalah saham dari emiten farmasi yaitu INAF (-14,7%) dan KAEF (-10,1%).



Wabah corona memang jadi isu yang paling disorot oleh pelaku pasar global. Jika dibandingkan dengan SARS 17 tahun silam, tingkat mortalitas akibat virus corona baru ini memang jauh lebih rendah. Namun dalam hal tingkat infeksi dan skalanya, virus yang kini bernama COVID-19 ini jauh lebih mengerikan.

Dalam kurun waktu 2 bulan terakhir, jumlah orang yang terinfeksi patogen ganas ini mencapai lebih dari 80.000 di lebih dari 50 negara. Virus ini telah merenggut lebih dari 2.700 nyawa orang.



Sementara untuk kasus SARS pada 2002-2003, virus hanya menginfeksi lebih dari 8.000 orang secara global dan menewaskan 774 orang. Itu pun terjadi dalam kurun waktu yang relatif lama kurang lebih 9 bulan.

Pelaku pasar khawatir wabah ini akan jadi pandemi. Walau WHO belum menyatakan kasus ini sebagai pandemi, tetapi pimpinan WHO terus mewanti-wanti setiap negara untuk tidak merasa aman dari serangan virus ini.

"Tidak ada negara yang boleh merasa aman, itu fatal sekali. Virus ini punya potensi menjadi pandemi," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Gebreyesus, seperti yang diwartakan Reuters.

Walau Indonesia belum melaporkan satu kasus pun, bukan berarti RI kebal dari dampak perekonomian yang ditimbulkan oleh virus ini. Ekonomi Indonesia erat hubungannya dengan China yang notabene sebagai episentrum penyebaran virus.


Artinya dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh virus ini terhadap perekonomian Tiongkok juga akan ikut dirasakan oleh RI. Berbagai riset yang dipublikasikan oleh lembaga global menyebutkan bahwa perekonomian China berpotensi terdampak sebesar lebih dari 1 poin persentase (pp).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pidato kuncinya kemarin di acara CNBC Indonesia Outlook 2020 menyampaikan kalau ekonomi China terdampak 1 pp saja, maka perekonomian domestik akan terdampak sebesar 0,3-0,6 pp. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus fiskal untuk meredam dampak yang ditimbulkan oleh virus ganas ini.

Beberapa stimulus tersebut seperti diskon tiket pesawat terbang dan insentif pajak untuk hotel dan restoran di sejumlah daerah yang pariwisatanya terdampak virus corona, menggenjot kartu pra kerja dan kartu sembako cepat selesai, serta meningkatkan kuota untuk subsidi rumah dengan anggaran mencapai Rp 1,5 triliun.

Tak hanya stimulus fiskal, kelonggaran moneter juga diberikan. Bank Indonesia selaku otoritas moneter tanah air pekan lalu memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%.



[Gambas:Video CNBC]



Namun stimulus tersebut tak mampu mengangkat kinerja IHSG. Sejak awal tahun IHSG sudah terkoreksi lebih dari 13%. Semua saham emiten BUMN juga menunjukkan tren bearish.

Selain isu corona, saham-saham BUMN juga tak sepi dari terpaan isu negatif di sektornya masing-masing. Misal di industri perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan kondisi likuiditas ketat masih akan dialami perbankan pada 2020.

LPS memperkirakan penyaluran kredit mampu tumbuh 12%, sementara pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya di angka 8%. Pada 2019 saat kondisi perbankan diwarnai dengan likuiditas ketat, laba bersih emiten perbankan pelat merah tumbuh melambat. Laba bersih bank hanya mampu tumbuh single digit pada 2019.



Pada 2019, Bank Mandiri hanya mampu mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 9,9% (yoy) melambat jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebesar 21,2% (yoy). Laba bersih Bank BNI juga tumbuh melambat dari 10,3% (yoy) pada 2018 menjadi 2,5% (yoy tahun lalu. Laba bersih Bank BNI juga tumbuh melambat dari 11,6% (yoy ) pada 2018 menjadi 6,2% (yoy) tahun lalu.

Sentimen negatif lain juga datang dari industri batu bara. Batu bara merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor RI. Tahun 2019 diwarnai dengan anjloknya harga batu bara. Pelemahan harga batu bara diprediksi masih akan terjadi di tahun ini.

Apalagi negara-negara destinasi ekspor batu bara tanah air seperti China, Korea Selatan dan Jepang kini menjadi negara dengan jumlah kasus corona yang terbanyak. Tentu hal ini menjadi ancaman bagi pendapatan emiten batu bara tanah air.

Dari industri migas, wacana pemerintah akan mengintervensi harga gas direspon negatif oleh investor saham tanah air. Upaya pemerintah untuk menurunkan harga gas diganjar dengan anjloknya harga saham PGAS karena dinilai dapat menggerus margin dari emiten gas pelat merah itu.


Walau pemerintah belum ketok palu soal ini dan rencananya baru akan diputuskan nanyi April, tetapi investor kecewa dengan wacana tersebut. Sampai dengan hari ini harga saham PGAS masih mencatatkan koreksi sebesar 41% sejak awal tahun.

Belum isu negatif lain terkait utang emiten BUMN Karya yang membengkak juga jadi sorotan. Beberapa BUMN terlilit utang. Contoh yang paling kelihatan adalah PT Krakatau Steel (KRAS) yang tahun ini mengumumkan restrukturisasi utang senilai US$ 2 miliar dan merupakan restrukturisasi utang terbesar di Indonesia.

Program restrukturisasi utang yang melibatkan 10 bank nasional dan swasta ini diharapkan dapat menghemat biaya sebanyak US$ 685 juta dalam sembilan tahun.

Selain KRAS utang dari BUMN konstruksi juga disorot. Gencarnya pembangunan infrastruktur membuat BUMN karya ini membutuhkan dana untuk ekspansi besar-besaran yang bersumber dari utang.

Ambil contoh adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan anak usahanya yaitu PT Waskita Beton Precast (WSBP) yang mendapat outlook negatif untuk surat utangnya. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) merevisi outlook surat utang WSKT dari idA- stable menjadi negatif.

Sementara anak usahanya yaitu WSBP juga masih mendapat meraih peringkat BBB-(idn) dari BBB+(idn) untuk utang atau sukuk dari PT Fitch Rating Indonesia.

Penurunan tersebut seiring pemeringkatan serupa terhadap induk usaha perseroan yaitu WSKT. Fitch Rating menurunkan profil kredit standalone (SCP) ke BBB-(idn) dari BBB+(idn) karena leverage yang tinggi.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular