Saham-saham BUMN Sudah Relatif Murah? Yuk Cek Faktanya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 February 2020 17:22
Saham-saham BUMN Sudah Relatif Murah? Yuk Cek Faktanya
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham tanah air sejak awal tahun tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan karena digempur oleh berbagai sentimen negatif yang berasal dari eksternal maupun domestik.

Hingga periode perdagangan pekan lalu Jumat (21/2/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah terkoreksi 6,62% sejak awal tahun. Sebanyak 34 indeks bursa saham tanah air baik indeks sektoral maupun indeks berdasarkan papan pencatatan berada di zona merah, tak terkecuali indeks IDX BUMN 20.

Dari awal tahun indeks IDX BUMN 20 ini telah terkoreksi 4,98%. Masih mencatatkan kinerja yang lebih baik dari IHSG. Pasar saham tanah air memang tengah digempur oleh berbagai sentimen.


Sentimen dari luar datang dimulai dengan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran, ada juga tarik ulur cerainya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), ketegangan regional lainnya hingga yang terbaru dan masih menjadi momok untuk pasar saham global adalah virus corona.

Virus corona yang pertama kali ditemukan di Wuhan kini tak hanya menjangkiti China. Sudah lebih dari 79.000 orang di 26 negara dinyatakan positif terjangkit virus yang menyerang sistem pernapasan ini. Hingga kini korban meninggal tercatat sudah mencapai lebih dari 2.600 orang.

Sementara dari dalam negeri sentimen negatif yang cukup membayangi bursa saham tanah air adalah kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya yang merembet ke industri asuransi lain serta reksadana menjadi faktor penekan kinerja pasar saham Indonesia.

Dengan IHSG dan IDX BUMN 20 yang mencatatkan minus sejak awal tahun. Banyak orang yang mengatakan ini adalah momen yang tepat untuk melakukan aksi beli karena harga saham sedang diskon alias murah.

Saham-saham emiten pelat merah yang mayoritas juga jadi konstituen indeks LQ45 juga dinilai sudah sangat murah sehingga layak untuk dikoleksi. Benarkah demikian? Apakah valuasi saham-saham BUMN Ini memang menarik?


Berdasarkan studi yang dilakukan Tim Riset CNBC Indonesia, saham-saham BUMN menawarkan potensial imbal hasil sebesar 38%, berdasarkan harga pekan lalu dibanding dengan target harga konsensus analis yang dihimpun Refinitiv.

Apalagi beberapa emiten BUMN juga menjadi konstituen indeks IDX High Dividend 20. Berdasarkan kalkulasi Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan data Refinitiv, median perolehan dividen (dividend yield) perusahaan BUMN mencapai 2,95% setahun. Harga saham-saham emiten BUMN dinilai kian menarik ketika Kementerian BUMN mendorong untuk menaikkan dividen yang dibayarkan ke investor. 

Perhitungan potensial dari return yang dilakukan tanpa memasukkan emiten PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) karena keterbatasan data.

[Gambas:Video CNBC]



Dari 20 perusahaan pelat merah yang melantai di bursa ada 13 perusahaan yang valuasinya lebih murah dibanding peers di industrinya. Penghitungan valuasi menggunakan rasio harga terhadap earning (P/E) maupun harga terhadap harga saham buku (P/B).

Jika menggunakan metode forward valuation multiples 5 tahun, dari 18 emiten BUMN yang dievaluasi ada 15 emiten yang bergerak di bawah nilai rata-rata forward valuation multiples dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sampai di sini memang terlihat bahwa saham-saham BUMN tampak murah dan lagi diskon gede-gedean.





Bahkan ada saham BUMN yang menawarkan potensi return yang sangat tinggi di atas 100%. Tak hanya BUMN saja, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan BUMN sebagai entitas anak atau entitas asosiasi juga terlihat menawarkan harga dan potensi imbal hasil yang menarik.





Namun di tengah kondisi seperti sekarang ini di mana ketidakpastian global masih membayangi. Berhati-hati dalam berinvestasi adalah hal yang bijak untuk dilakukan.

Ada hal-hal lain yang juga perlu dicermati yaitu sentimen atau isu di masing-masing sektor yang berpotensi menggerus kinerja dari perusahaan pelat merah dan entitas asosiasinya.

Beberapa BUMN terlilit utang. Contoh yang paling kelihatan adalah PT Krakatau Steel (KRAS) yang tahun ini mengumumkan restrukturisasi utang senilai US$ 2 miliar dan merupakan restrukturisasi utang terbesar di Indonesia.

Program restrukturisasi utang yang melibatkan 10 bank nasional dan swasta ini diharapkan dapat menghemat biaya sebanyak US$ 685 juta dalam sembilan tahun.

Selain KRAS utang dari BUMN konstruksi juga disorot. Gencarnya pembangunan infrastruktur membuat BUMN karya ini membutuhkan dana untuk ekspansi besar-besaran yang bersumber dari utang.

Ambil contoh adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan anak usahanya yaitu PT Waskita Beton Precast (WSBP) yang mendapat outlook negatif untuk surat utangnya. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) merevisi outlook surat utang WSKT dari idA- stable menjadi negatif.

Sementara anak usahanya yaitu WSBP juga masih mendapat meraih peringkat BBB-(idn) dari BBB+(idn) untuk utang atau sukuk dari PT Fitch Rating Indonesia.

Penurunan tersebut seiring pemeringkatan serupa terhadap induk usaha perseroan yaitu WSKT. Fitch Rating menurunkan profil kredit standalone (SCP) ke BBB-(idn) dari BBB+(idn) karena leverage yang tinggi. Sementara dari sektor batu bara sendiri untuk tahun ini masih ada kemungkinan harga batu bara kembali tertekan. Sepanjang tahun lalu, harga batu bara kontrak acuan ICE Newcastle anjlok lebih dari 30%.

Sentimen negatif yang membayangi harga batu bara untuk tahun ini adalah, virus corona yang masih belum dapat dijinakkan di China membuat konsumsi batu bara di enam pembangkit listrik utama di China belum kembali normal usai libur panjang tahun baru imlek.

India yang juga sedang mengalami masalah pada perekonomian juga menjadi faktor penekan harga batu bara lainnya. Jika harga batu bara masih terus tergerus atau belum bisa bangkit, maka hal ini berpotensi menekan pendapatan dari emiten-emiten batu bara tanah air.

Dari sektor migas, ada saham PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) yang dari awal tahun terkoreksi lebih dari 30%. Anjloknya harga saham PGAS merespons wacana pemerintah yang ingin intervensi harga gas. 

Keputusan apakah penurunan harga gas akan dilakukan oleh pemerintah baru akan diputuskan April ini. Namun investor kecewa dengan wacana tersebut karena berpotensi menggerus laba dari PGAS. Akibatnya investor melego saham ini sehingga harganya anjlok seperti sekarang.

Beralih ke sektor perbankan. Memang emiten perbankan pelat merah bisa dikatakan mencetak pertumbuhan laba pada 2019. BRI mencetak bersih Rp 34,41 triliun pada 2019 (+6,15% yoy).

Pada tahun yang sama BNI dan Bank Mandiri mencetak laba bersih masing-masing Rp 15,38 triliun dan Rp 27,5 triliun. Namun yang harus diwaspadai adalah ada kemungkinan industri perbankan masih menghadapi likuiditas ketat pada 2020.

Ketatnya likuiditas perbankan ini tercermin dari penyaluran kredit yang ekspansif sementara penerimaan dari dana pihak ketiga (DPK) yang pertumbuhannya tak bisa menyamai pertumbuhan kredit.



Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan DPK di angka 7% di akhir tahun 2019 sementara kredit tumbuh di atas 10%. Sementara itu, LPS memperkirakan di tahun 2020 DPK perbankan diproyeksikan tumbuh 8,4% padahal kredit diramal tumbuh 12,1%.

Jika gap likuiditas semakin melebar serta rasio kredit macet juga naik, tentu ini bukan kabar yang baik karena berpotensi menggerus laba dari perbankan itu sendiri. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi industri perbankan tanah air terutama untuk emiten bank BUMN.

Well, secara valuasi saham-saham BUMN ini memang terbilang murah. Namun juga patut dicermati risiko ke depan apalagi di tengah kondisi yang serba tak menentu seperti sekarang ini.




TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular