
Saham-saham BUMN Sudah Relatif Murah? Yuk Cek Faktanya
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 February 2020 17:22

Sementara dari sektor batu bara sendiri untuk tahun ini masih ada kemungkinan harga batu bara kembali tertekan. Sepanjang tahun lalu, harga batu bara kontrak acuan ICE Newcastle anjlok lebih dari 30%.
Sentimen negatif yang membayangi harga batu bara untuk tahun ini adalah, virus corona yang masih belum dapat dijinakkan di China membuat konsumsi batu bara di enam pembangkit listrik utama di China belum kembali normal usai libur panjang tahun baru imlek.
India yang juga sedang mengalami masalah pada perekonomian juga menjadi faktor penekan harga batu bara lainnya. Jika harga batu bara masih terus tergerus atau belum bisa bangkit, maka hal ini berpotensi menekan pendapatan dari emiten-emiten batu bara tanah air.
Dari sektor migas, ada saham PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) yang dari awal tahun terkoreksi lebih dari 30%. Anjloknya harga saham PGAS merespons wacana pemerintah yang ingin intervensi harga gas.
Keputusan apakah penurunan harga gas akan dilakukan oleh pemerintah baru akan diputuskan April ini. Namun investor kecewa dengan wacana tersebut karena berpotensi menggerus laba dari PGAS. Akibatnya investor melego saham ini sehingga harganya anjlok seperti sekarang.
Beralih ke sektor perbankan. Memang emiten perbankan pelat merah bisa dikatakan mencetak pertumbuhan laba pada 2019. BRI mencetak bersih Rp 34,41 triliun pada 2019 (+6,15% yoy).
Pada tahun yang sama BNI dan Bank Mandiri mencetak laba bersih masing-masing Rp 15,38 triliun dan Rp 27,5 triliun. Namun yang harus diwaspadai adalah ada kemungkinan industri perbankan masih menghadapi likuiditas ketat pada 2020.
Ketatnya likuiditas perbankan ini tercermin dari penyaluran kredit yang ekspansif sementara penerimaan dari dana pihak ketiga (DPK) yang pertumbuhannya tak bisa menyamai pertumbuhan kredit.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan DPK di angka 7% di akhir tahun 2019 sementara kredit tumbuh di atas 10%. Sementara itu, LPS memperkirakan di tahun 2020 DPK perbankan diproyeksikan tumbuh 8,4% padahal kredit diramal tumbuh 12,1%.
Jika gap likuiditas semakin melebar serta rasio kredit macet juga naik, tentu ini bukan kabar yang baik karena berpotensi menggerus laba dari perbankan itu sendiri. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi industri perbankan tanah air terutama untuk emiten bank BUMN.
Well, secara valuasi saham-saham BUMN ini memang terbilang murah. Namun juga patut dicermati risiko ke depan apalagi di tengah kondisi yang serba tak menentu seperti sekarang ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Sentimen negatif yang membayangi harga batu bara untuk tahun ini adalah, virus corona yang masih belum dapat dijinakkan di China membuat konsumsi batu bara di enam pembangkit listrik utama di China belum kembali normal usai libur panjang tahun baru imlek.
India yang juga sedang mengalami masalah pada perekonomian juga menjadi faktor penekan harga batu bara lainnya. Jika harga batu bara masih terus tergerus atau belum bisa bangkit, maka hal ini berpotensi menekan pendapatan dari emiten-emiten batu bara tanah air.
Keputusan apakah penurunan harga gas akan dilakukan oleh pemerintah baru akan diputuskan April ini. Namun investor kecewa dengan wacana tersebut karena berpotensi menggerus laba dari PGAS. Akibatnya investor melego saham ini sehingga harganya anjlok seperti sekarang.
Beralih ke sektor perbankan. Memang emiten perbankan pelat merah bisa dikatakan mencetak pertumbuhan laba pada 2019. BRI mencetak bersih Rp 34,41 triliun pada 2019 (+6,15% yoy).
Pada tahun yang sama BNI dan Bank Mandiri mencetak laba bersih masing-masing Rp 15,38 triliun dan Rp 27,5 triliun. Namun yang harus diwaspadai adalah ada kemungkinan industri perbankan masih menghadapi likuiditas ketat pada 2020.
Ketatnya likuiditas perbankan ini tercermin dari penyaluran kredit yang ekspansif sementara penerimaan dari dana pihak ketiga (DPK) yang pertumbuhannya tak bisa menyamai pertumbuhan kredit.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan DPK di angka 7% di akhir tahun 2019 sementara kredit tumbuh di atas 10%. Sementara itu, LPS memperkirakan di tahun 2020 DPK perbankan diproyeksikan tumbuh 8,4% padahal kredit diramal tumbuh 12,1%.
Jika gap likuiditas semakin melebar serta rasio kredit macet juga naik, tentu ini bukan kabar yang baik karena berpotensi menggerus laba dari perbankan itu sendiri. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi industri perbankan tanah air terutama untuk emiten bank BUMN.
Well, secara valuasi saham-saham BUMN ini memang terbilang murah. Namun juga patut dicermati risiko ke depan apalagi di tengah kondisi yang serba tak menentu seperti sekarang ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Pages
Most Popular