Dolar Ngamuk, Corona, Resesi, Rupiah Bisa Apa...?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 February 2020 10:06
Dolar Ngamuk, Corona, Resesi, Rupiah Bisa Apa...?
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga terbenam di zona merah di perdagangan pasar spot.

Pada Jumat (21/2/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.777. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar spot, rupiah juga meniti jalur merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.730 di mana rupiah melemah 0,22%. Rupiah berada di posisi terlemah sejak 10 Januari.

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,11%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS mulai nyaman di kisaran Rp 13.700.


Tidak cuma rupiah, sebagian besar mata uang Asia pun melemah di hadapan dolar AS. Baht Thailand menjadi mata uang terlemah di Asia dengan depresiasi 0,6%.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:04 WIB:

 



Setidaknya ada dua alasan yang membuat rupiah dkk di Asia melemah. Pertama, dolar AS memang sedang perkasa.

Pada pukul 09:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini melesat 2,37% dan secara year-to-date (YtD) meroket 3,58%.

Keperkasaan dolar AS datang dari pernyataan Wakil Ketua The Federal Reserve/The Fed (bank sentral AS) Richard Clarida. Dalam wawancara dengan CNBC International, Clarida menegaskan fundamental ekonomi Negeri Adidaya masih kuat.

"Pertumbuhan ekonomi terus berlangsung, pasar tenaga kerja berada di posisi terbaik dalam 50 tahun, harga-harga stabil tercermin dari inflasi yang semakin mendekati target kami. Ini adalah gambaran yang baik," kata Clarida.


Pembacaan awal indeks manufaktur versi The Fed Philadelphia periode Februari 2020 menunjukkan angka 36,7. Melonjak dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 17 dan menjadi yang tertinggi sejak Februari 2017.

Data ekonomi AS yang terus positif membuat pelaku pasar memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat. Mengutip CME FedWatch, peluang Federal Funds Rate bertahan di 1,5-1,75% dalam rapat The Fed 18 Maret mencapai 94,5%.

Tanpa penurunan suku bunga acuan seperti di negara-negara lain, berinvestasi di dolar AS masih menarik. Ini membuat permintaan terhadap mata uang Negeri Paman Sam melonjak.

Bahkan ada pameo dolar AS kini menjadi aset aman (safe haven) yang lebih manjur ketimbang yen Jepang. Maklum, Jepang sendiri sedang dalam ancaman resesi gara-gara virus Corona. "Kasus-kasus baru virus Corona di Jepang membuat yen kurang menarik sebagai safe haven," ujar David Bloom, Global Head FX di HSBC, seperti diberitakan Reuters.



Faktor kedua, seperti sudah disinggung sebelumnya, investor masih mencemaskan penyebaran virus Corona yang kian masif. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pukul 08:33 WIB, jumlah kasus Corona di seluruh dunia mencapai 76.215. Korban jiwa terus bertambah menjadi 2.247 orang.

Virus Corona memang berasal dan paling banyak menyerang di China. Namun perlu dicatat virus ini sudah menyebar ke 28 negara dan menciptakan kepanikan.

"Dampak sosial-ekonomi sangat jelas, tetapi saya belum bisa bilang angka pastinya. Namun sepertinya akan sangat besar," kata Duta Besar China untuk PBB Chen Xu, seperti dikutip dari Reuters.


Kemarin, Bank Indonesia (BI) sudah memaparkan risiko penyebaran virus Corona terhadap perekonomian Tanah Air. potensi kehilangan devisa dari pariwisata mencapai US$ 1,3 miliar. Sementara dari sisi logistik, dampak di sisi ekspor adalah US$ 0,7 miliar dan impor US$ 0,7 miliar. Kemudian ada dampak penundaan investasi, khususnya dari China, yang diperkirakan bernilai US$ 0,4 miliar.

Angka-angka tersebut membuat Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020. Awalnya, MH Thamrin meramal ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh 5,1-5,5%, tetapi kemudian direvisi menjadi 5-5,4%.

"Revisi prakiraan ini terutama karena pengaruh jangka pendek terhadap pemulihan ekonomi dunia pasca Covid-19 yang mempengaruhi lewat pariwisata, perdagangan, dan investasi," kata Perry, kemarin.

Indonesia bukan negara pertama yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi gara-gara virus Corona. Sebelumnya, Singapura merevisi dari 0,5-2,5% menjadi -0,5-1,5%. Thailand juga menurunkan proyeksi dari 2,7-3,7% menjadi 1,5-2,5%.


Risiko perlambatan ekonomi bahkan resesi di beberapa negara membuat investor mundur teratur dari pasar keuangan Asia. Kurangnya 'darah' berupa aliran modal asing membuat mata uang Asia bergerak ke selatan, tidak terkecuali rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular