Rekor! Permintaan Lelang SUN Capai Rp 127 T

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
18 February 2020 13:38
Likuiditas Perbankan yang Besar Jadi Alasan
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Inhttps://kubis.cnbcindonesia.com/article/text/edit/17/138657/#donesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai permintaan lelang surat utang negara (SUN) dalam lelang hari ini kembali mencetak rekor baru yaitu senilai Rp 127,11 triliun, di atas rekor tertinggi Rp 96,9 triliun yang tercipta pada lelang rutin sebelumnya yaitu 2 pekan lalu.

Nilai permintaan peserta lelang hari ini (18/2/20) tersebut juga di atas rerata lelang tahun ini Rp 91,14 triliun, rerata setahun lalu Rp 49,52 triliun, dan rerata 2018 sebesar Rp 41,6 triliun.

Dua pelaku pasar obligasi membenarkan data bahwa nilai permintaan dalam lelang yang digelar siang ini mencapai Rp 127,11 triliun, berasal dari dua seri surat perbendaharaan negara (SPN/SUN dengan tenor di bawah setahun) senilai Rp 33,4 triliun dan lima seri SUN senilai Rp 93,67 triliun.

Lelang hari ini terjadi ketika harga SUN positif, di mana ditunjukkan oleh empat seri acuan di pasar sekunder yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun, dan FR0083 bertenor 20 tahun.

Seri acuan yang paling menguat adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 2,5 basis poin (bps) menjadi 5,77%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

 

Yield Obligasi Negara Acuan 18 Feb'20

Seri

Jatuh tempo

Yield 17 Feb'20 (%)

Yield 18 Feb'20 (%)

Selisih (basis poin)

Yield wajar PHEI 17 Feb'21 (%)

FR0081

5 tahun

5.801

5.776

-2.50

5.7614

FR0082

10 tahun

6.574

6.551

-2.30

6.5463

FR0080

15 tahun

7.057

7.041

-1.60

7.0311

FR0083

20 tahun

7.288

7.279

-0.90

7.284

Sumber: Refinitiv

 

 

Dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan nilai kepemilikan investor asing sebesar Rp 1.065,49 triliun, yang berarti dana investor asing baru yang masuk tahun ini ke pasar SUN tinggal Rp 3,63 triliun per akhir pekan lalu (14/2/20), data terakhir yang dirilis Kemenkeu.

Angka itu jelas turun dibanding posisi tertinggi tahun ini Rp 1.092,02 triliun pada 24 Januari 2020 atau berarti sudah susut dari posisi tertinggi yang sempat masuk Rp 30,16 triliun sejak awal tahun pada akhir Januari tersebut.


Angka itu juga menunjukkan kepemilikan investor asing masih masuk ke pasar SUN senilai Rp 70 miliar sejak akhir pekan lalu, sedangkan sejak awal bulan masih defisit Rp 11,57 triliun.

Ternyata jenis investor yang paling banyak menyerap SUN di pasar seiring dengan turunnya kepemilikan investor asing dan Bank Indonesia adalah perbankan di dalam negeri.

Data yang sama menunjukkan ada angka surplus Rp 196,88 triliun sejak awal tahun dan Rp 38,59 triliun sejak awal bulan hingga periode yang sama.

Satu penyebab utama adalah tren di awal tahun di mana perbankan biasanya enggan menahan dana pihak ketiga (DPK) di dalam buku mereka, setelah mengejar target peningkatan DPK sekaligus penyaluran kredit di bulan-bulan akhir tahun.

Ariawan, Head of Fixed Income Research PT BNI Sekuritas, menilai salah satu penyebab pelaku perbankan agresif dalam mengoleksi SUN di pasar adalah faktor likuiditas.

"Likuiditas bank sedang besar sekali. Terlebih saat ini sudah tidak ada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), selain masuk ke SPN (SUN jangka pendek) mereka juga masuk ke seri FR."

Faktor lain adalah risiko kredit yang sedang meningkat karena adanya ancaman berlanjutnya perlambatan tingkat konsumsi masyarakat apalagi saat ini pasar keuangan global masih dibekap kekhawatiran. Kekhawatiran dari global adalah ancaman perlambatan tumbuhanya ekonomi dunia yang kemudian semakin berlipat dengan adanya wabah virus corona Wuhan yang masih belum tuntas hingga sekarang ini.

Alhasil, SUN menjadi instrumen yang justru dikejar perbankan guna memarkirkan dana yang sedang 'idle' yang kemungkinan menjadi penyebab keringnya likuiditas rupiah di pasar keuangan, apalagi investor asing sudah mulai melepas kepemilikannya di pasar obligasi pemerintah itu.

Minat bank yang tinggi pada SUN juga dapat dilihat bahwa bertambahnya porsi perbankan di pasar SUN diiringi penguatan harga, sehingga ada tekanan beli di sana. Tekanan beli berarti lebih banyak pelaku pasar yang melakukan penawaran beli dibandingkan dengan tekanan jual sehingga membuat harganya terdongkrak di pasar.

[Gambas:Video CNBC]



Derasnya minat perbankan untuk menukar rupiahnya dengan SUN dapat juga tercermin pada salah satu operasi moneter yang digelar bank sentral untuk perbankan, yakni lelang reverse repo SUN.

Reverse repo adalah salah satu instrumen moneter milik bank sentral untuk menyerap kelebihan likuiditas, dalam hal ini rupiah, di sistem keuangan. Mekanismenya adalah BI akan menyerap dana dari perbankan yang akan dijamin dengan SUN yang sudah lebih dulu dimiliki bank sentral, atau istilah sederhananya reverse-gadai SUN.

Bank Indonesia, yang dapat ikut lelang SUN sebagai peserta non-kompetitif dan juga bisa melakukan operasi moneter di pasar dengan memanfaatkan efek utang tersebut, ternyata juga menjadi investor yang paling banyak melepas obligasi rupiah pemerintah.

Bank sentral tercatat melepas SUN sejak awal tahun senilai Rp 156,29 triliun dan Rp 14,06 triliun sejak akhir Januari hingga 14 Februari.



TIM RISET CNBC INDONESIA


(irv/hps) Next Article Lelang Sun Rp 16,62 T, BI Menangkan Porsi Rp 2,3 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular