Negara-negara Besar Terancam Resesi, IHSG Mampu Menguat Tipis

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 February 2020 17:19
Negara-negara Besar Terancam Resesi, IHSG Mampu Menguat Tipis
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah di awal perdagangan Senin (17/2/2020), tetapi berhasil mengakhiri sesi I di zona hijau.

IHSG membuka perdagangan dengan melemah 0,05% di level 5.863,914, pelemahan semakin dalam hingga ke 5.854,098 atau setara dengan 0,22%. Sebelum perdagangan sesi I berakhir, bursa kebanggaan Indonesia berbalik menguat hingga 0,2% ke 5.878,464. Tetapi sayangnya posisi tersebut gagal dipertahankan, IHSG mengakhiri sesi I di level 5.868,578, menguat tipis 0,03%.

Memasuki sesi II, IHSG kembali masuk ke zona merah meski tidak lebih dalam dari pelemahan di sesi I. IHSG nyaris berakhir melemah, sebelum berbalik menguat tipis 0,01% ke 5.867,523.

Berdasarkan data BEI, nilai transaksi perdagangan hari ini sebesar Rp 5,7 triliun dan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 630,31 miliar.

Negara-Negara Besar Terancam Resesi, IHSG Mampu Menguat TipisFoto: BPS mengumumkan perkembangan ekspor dan impor Indonesia Januari 2020 (CNBC Indonesia/Lidya Julita Sembiring)


Tekanan bagi IHSG di sesi II terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Januari 2019 mencapai US$ 13,41 miliar. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai US$ 14,28 miliar.

Ekspor terkoreksi 3,71% sedangkan impor turun 4,78%. Sehingga berdasarkan hitungan, maka neraca dagang pada Januari 2020 mengalami defisit sebesar US$ 870 juta.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY). Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.


Membengkaknya defisit perdagangan tersebut memberikan gambaran tantangan berat yang dihadapi perekonomian tahun ini, apalagi dengan adanya wabah virus corona di China.

Wabah virus corona atau yang disebut Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.

Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis dari John Hopkins CSSE, korban meninggal akibat virus corona atau yang disebut Covid-19 kini mencapai 1,775 orang dan telah menjangkiti lebih dari 71.000 orang di berbagai negara.



Masih belum diketahui seberapa besar dampak virus corona ke pertumbuhan ekonomi China dan global umumnya, yang pasti akan melambat.

Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.

Sementara itu Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan virus corona mungkin akan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini.

"Mungkin ada pemotongan yang kami masih harapkan akan berada dalam persentase 0,1-0,2," kata direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dikutip dari AFP akhir pekan kemarin.



Pelambatan ekonomi global menjadi kabar buruk bagi rupiah. Di awal tahun ini, rupiah menunjukkan keperkasaan, bahkan sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Salah satu sebabnya adalah pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi bangkit di tahun ini, sehingga aliran modal deras masuk ke Indonesia, di mana aset-aset memberikan imbal hasil tinggi.

Dengan perekonomian global yang diprediksi melambat, tentunya sentimen pelaku pasar memburuk dan lebih berhati-hati. Apalagi Indonesia tidak lepas dari pelambatan ekonomi juga.

Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3%. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3% di kuartal I-2020, dampaknya pasar finansial dalam negeri mendapat tekanan.

Selain itu, kepala ekonom BCA juga memprediksi pertumbuhan ekonomi di 2020 akan di bawah 5%, sementara untuk kuartal I-2020 diperkirakan berada dalam kisaran 4,6% sampai 4,9% pada kuartal I-2019.

"Kemungkinan full year juga akan di bawah 5%. Karena epidemi ini belum tuntas, dan kita sudah kehilangan momen di satu semester ini," kata David saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (17/2/2020).


[Gambas:Video CNBC]



Seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya, wabah Covid-19 dapat menekan pertumbuhan ekonomi China. Pelambatan tersebut membuat beberapa negara ketar-ketir. Singapura, Jerman, dan Jepang menjadi negara yang terancam mengalami resesi, ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan China.

Singapura sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, ekonomi Negeri Singa ini ada di kisaran 0,5%-2,5%.

China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor. Belum lagi melihat dampaknya virus corona di sektor pariwisata, dimana waisatawan dari China berkontribusi sekitar 20% dari total wisatawan ke Singapura.

Setelah Singapura, Jerman juga patut waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.

"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.

Jerman merupakan negara yang berorientasi ekspor dan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.

Melambatnya perekonomian China tentunya menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekonomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul.

Selanjutnya Jepang yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.



Pemerintah Jepang sebelumnya sudah memperingatkan jika PDB pada periode Oktober-Desember 2019 berisiko terkontraksi akibat kenaikan pajak penjualan, adanya angina topan, serta perang dagang AS dengan China.

Kini tantangan yang dihadapi Jepang di awal 2020 lebih besar lagi akibat wabah virus corona atau yang disebut Covid-19. Perekonomian China diprediksi melambat signifikan dan tentunya menyeret pertumbuhan ekonomi global, termasuk Jepang.

Jika PDB Jepang kembali berkontraksi di kuartal I-2020, maka Jepang akan mengalami resesi.



Tetapi dibalik semua sentimen negatif tersebut, terselip satu hal positif. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) sekali lagi bertindak guna meredam dampak wabah Covid-19 ke perekonomian.

PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas di pasar, sehingga roda perekonomian bisa berputar. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPF) yang akan diumumkan Kamis pekan ini.

Bulan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.

Berkat kebijakan tersebut, sentimen pelaku pasar sedikit terangkat, indeks Shanghai Composite bahkan melesat lebih dari 2%. Tetapi bursa Asia belum kompak hari ini, beberapa indeks utama seperti Nikkai Jepang dan Kospi Korea Selatan masih melemah. Hal tersebut mengindikasikan pelaku pasar masih berhati-hati, dan belum agresif masuk ke aset berisiko, dan IHSG hanya mampu menguat tipis.


TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular