Tunggu Kabar dari Pasar Baru, Rupiah Sulit Melaju

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 February 2020 10:14
Tunggu Kabar dari Pasar Baru, Rupiah Sulit Melaju
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun rupiah masih melemah di perdagangan pasar spot, setelah sempat menguat tipis.

Pada Senin (17/2/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp Rp 13.693. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Sementara di pasar spot, rupiah masih merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.680 di mana rupiah melemah 0,07%.

Kala pembukaan pasar, rupiah stagnan di Rp 13.670/US$. Mata uang Tanah Air sempat menguat tipis, tetapi itu tidak lama. Rupiah pun masuk jalur merah.


Akan tetapi, peluang penguatan rupiah masih ada. Sebab, mayoritas mata uang utama Asia kini terapresiasi di hadapan greenback. Selain rupiah, hanya yen Jepang yang masih melemah.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:11 WIB:




Hasrat pelaku pasar untuk memburu instrumen berisiko di negara berkembang naik setelah pengumuman terbaru dari China. Hari ini, bank sentral China (PBoC) mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%.

Penurunan ini akan 'mengguyur' likuiditas ke perekonomian China. Sebuah langkah yang memang sangat dibutuhkan karena Negeri Tirai Bambu sedang menghadapi masalah serius yaitu penyebaran virus Corona.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 08:53 WIB, jumlah kasus Corona di seluruh dunia sudah mencapai 71.325 di mana 70.545 ada di China. Sementara korban jiwa tercatat 1.775 orang, empat datang dari luar China.

Penyebaran virus Corona yang begitu masif membuat aktivitas ekonomi China terganggu. Setelah libur Tahun Baru Imlek, roda perekonomian China belum bergulir normal karena dihantui virus mematikan.

Oleh karena itu, PBoC agresif dalam menyuntikkan stimulus. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPF) yang akan diumumkan Kamis pekan ini.

Selain itu, PBoC juga terus menggelontorkan likuiditas dengan operasi reverse repo. Hari ini, nilai operasi tersebut mencapai CNY 100 miliar (Rp 196,04 triliun dengan kurs sekarang).

Stimulus dari PBoC tersebut diharapkan dapat menjadi pelumas bagi mesin pertumbuhan ekonomi di China. Dengan begitu, ekonomi China bisa mendarat dengan mulus, tidak ada hard landing meski melambat.

Investor juga berharap uang dari PBoC bisa merembes ke pasar. Likuiditas yang berlebih akan pada akhirnya akan mendorong keberanian investor untuk masuk ke aset-aset berisiko.



Namun, langkah rupiah masih berat karena investor menunggu pengumuman data penting. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) yang berkantor pusat di daerah Pasar Baru (Jakarta Pusat) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Januari 2020.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY). Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY dan neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.


Sepertinya arus devisa dari perdagangan masih sulit diharapkan setidaknya dalam waktu dekat. Meski AS-China sudah meneken perjanjian damai dagang Fase I, tetapi arus perdagangan global masih berisiko terhambat gara-gara virus Corona.

"Kami tidak memperkirakan ada pemulihan yang cepat, meski penyebaran virus berkurang bahkan hilang. Setelah serangan Corona, mungkin ekonomi China butuh waktu sekitar empat kuartal untuk bangkit," kata Iris Pang, Ekonom ING, seperti diwartakan Reuters.


Perlambatan ekonomi di China berarti ada penurunan permintaan barang-barang dari negara lain, termasuk Indonesia. Padahal China adalah negara tujuan ekspor utama Tanah Air.

Oleh karena itu, rupiah akan sangat mengandalkan arus modal di sektor keuangan alias hot money. Sementara sifat hot money sangat fluktuatif, mudah datang dan pergi sesuka hati.

Dengan sentimen negatif akibat virus Corona, risk appetite akan berkurang sehingga sulit juga berharap arus modal bakal masuk dengan deras seperti tahun lalu. Apakah rupiah bisa menguat 3% seperti 2019? Kemungkinan tetap ada, tetapi rasanya tidak terlalu besar.

Nasib rupiah yang serba tidak pasti ini membuat investor menahan diri. Akibatnya, rupiah tidak bisa ikut 'pesta' mata uang Asia.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular