Roller Coaster SoftBank: Saham Melejit 12%, Laba Ambruk 92%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 February 2020 19:41
Roller Coaster SoftBank: Saham Melejit 12%, Laba Ambruk 92%
Foto: SoftBank (REUTERS/Issei Kato)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, Rabu (12/2/2020), menjadi hari yang begitu menegangkan bagi pemegang saham SoftBank Group.

SoftBank Group sendiri merupakan perusahaan konglomerasi asal Jepang yang dikenal sebagai investor kelas kakap, salah satunya di bidang teknologi. Sejauh ini, SoftBank Group telah menginvestasikan dana senilai ratusan miliar dolar di perusahaan-perusahaan bidang teknologi.

Di Indonesia sendiri, SoftBank Group diketahui menanamkan dananya di startup yang menyandang status sebagai decacorn (memiliki valuasi lebih dari US$ 10 miliar) pertama di Tanah Air, Grab. Selain itu, SoftBank Group juga diketahui menanamkan dananya di Tokopedia yang kini berstatus unicorn (memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar).

Pada perdagangan hari ini di bursa saham Jepang, harga saham SoftBank Group melejit hingga 11,89% ke level 5.751 yen per unit, menandai level tertinggi dalam tujuh bulan.


Melejitnya harga saham SoftBank Group dipicu oleh disetujuinya merger antara Sprint dan T-Mobile, dua perusahaan penyedia layanan telekomunikasi kelas kakap di AS.

SoftBank Group sendiri diketahui merupakan salah satu pemegang saham Sprint. Melansir Business Insider, nilai investasi dari SoftBank Group di Sprint mencapai US$ 21,7 miliar.

Pada Juli 2013, SoftBank Group diketahui menggelontorkan dana hingga US$ 21,6 miliar untuk mengambil alih mayoritas kepemilikan Sprint, diikuti oleh suntikan dana segar senilai US$ 87 juta pada tahun 2015.

Selama ini, Sprint dan T-Mobile telah berkali-kali mencoba untuk melakukan merger, namun selalu terganjal kendala hukum. Untuk diketahui, Sprint merupakan perusahaan penyedia layanan telekomunikasi terbesar keempat di AS, sementara T-Mobile berada di posisi tiga.

Melansir CNBC International, pada hari Selasa waktu setempat (11/2/2020) seorang hakim di AS memberikan restunya bagi kedua perusahaan untuk mengeksekusi merger yang akan bernilai US$ 26 miliar.

Merespons keputusan tersebut, harga saham Sprint yang diperdagangkan di bursa saham AS melejit 77,7%, sementara harga saham T-Mobile terapresiasi 11,8%.

Kini, hanya dibutuhkan restu dari California Public Utilities Commission supaya kedua perusahaan benar-benar bisa dilebur.

Sebelumnya, jaksa agung dari sebanyak 14 wilayah di AS mengajukan tuntutan untuk memblokir merger antara Sprint dan T-Mobile pasca aksi korporasi tersebut mendapatkan lampu hijau dari Justice Department dan Federal Communications Commission (FCC).

Para jaksa agung tersebut berargumentasi bahwa menggabungkan perusahaan penyedia layanan telekomunikasi terbesar ketiga dan keempat di AS akan membatasi kompetisi yang pada akhirnya akan berujung pada kenaikan harga yang harus ditanggung konsumen.

Di sisi lain, Sprint dan T-Mobile berargumentasi bahwa peleburan kedua perusahaan akan membantu mereka dalam berkompetisi melawan AT&T dan Verizon, dua perusahaan penyedia layanan telekomunikasi terbesar di AS.

Lebih lanjut, Sprint dan T-Mobile berargumentasi bahwa peleburan kedua perusahaan akan membantu mereka dalam memuluskan rencana pengembangan teknologi 5G di AS.


Pasca para investornya menikmati lonjakan harga saham SoftBank Group yang mencapai dua digit, kabar tak mengenakan justru datang menghampiri, yakni rilis kinerja keuangan yang sangat mengecewakan.

SoftBank Group melaporkan bahwa laba bersih periode kuartal II tahun fiskal 2020 (Oktober-Desember 2019) jatuh hingga 92% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun laba operasional jatuh hingga 99% dari 438 miliar yen menjadi 2,6 miliar yen.

Dalam periode Oktober-Desember 2019, SoftBank Group mencatatkan laba bersih senilai US$ 55 miliar yen (US$ 500 juta), jauh di bawah proyeksi para analis yang memperkirakan nilainya mencapai 122 miliar yen, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review yang melansir data dari FactSet.

Kinerja dari SoftBank Group dibebani oleh salah satu unit investasinya yakni Vision Fund. Vision Fund sendiri utamanya didukung oleh Arab Saudi dan telah mengubah wajah investasi di sektor teknologi.

Per akhir Desember 2019, Vision Fund diketahui sudah menginvestasikan US$ 76,6 miliar dari dana senilai US$ 100 miliar yang dikumpulkan ke 88 perusahaan. Nilai dari investasi tersebut adalah US$ 79,8 miliar.

Selain Arab Saudi, Apple, Qualcomm, ARM, Foxconn, dan Sharp ikut menanamkan modal ke Vision Fund.

Dalam periode Oktober-Desember 2019, Vision Fund melaporkan rugi operasional senilai 225 miliar yen (US$ 2,05 miliar). Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, terdapat laba operasional senilai 176 miliar yen.

Sejatinya, rugi operasional tersebut membaik jika dibandingkan dengan kerugian pada kuartal sebelumnya yang mencapai 970 miliar yen. Kala itu, perusahaan menderita kerugian yang besar setelah salah satu investasinya yakni WeWork gagal untuk dibawa melantai di pasar saham karena masalah tata kelola.

Rilis kinerja keuangan yang mengecewakan tersebut diyakini akan meningkatkan kekhawatiran terkait dengan kemampuan pendiri dan CEO SoftBank Group, Masayoshi Son, dalam mendapatkan pendanaan untuk Vision Fund 2.

Kerugian yang diderita Vision Fund juga menimbulkan pertanyaan pada strategi Son yang sering menyuntikkan dana jumbo ke startup yang bisnisnya belum teruji.

Mencermati kinerja keuangan SoftBank Group yang begitu mengecewakan, sangat mungkin jika sahamnya akan diterpa tekanan jual yang signifikan pada perdagangan esok hari, Kamis (13/2/2020).

TIM RISET CNBC INDONESIA




(ank/roy) Next Article Merugi, Softbank Jual Saham T-Mobile Senilai USD 21 Miliar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular