
Ambruk Nyaris 5%, Sudah Murahkan Valuasi IHSG?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 February 2020 14:01

Ada beberapa faktor yang berpotensi membebani langkah IHSG di sepanjang sisa bulan ini. Pertama, terus meluasnya infeksi virus Corona.
Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.
Kalau ekonomi China melambat, maka laju perekonomian global dipastikan akan tertekan. Pasalnya, sejauh ini China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi.
Kedua, masih berkubangnya Hong Kong di jurang resesi. Pada pekan kemarin, Hong Kong merilis pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal IV-2019. Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2019, perekonomian Hong Kong tercatat tumbuh negatif alias terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan.
Lantas, perekonomian Hong Kong masih berkubang di jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong tercatat terkontraksi sebesar 0,5% secara kuartalan, disusul oleh kontraksi sebesar 3,2% pada kuartal III-2019.
Hong Kong sendiri merupakan investor kelas kakap bagi Indonesia. Pada tahun 2018, dana segar senilai US$ 2 miliar dibawa masuk ke Indonesia oleh investor asal Hong Kong, melansir data yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) pada tahun 2018 yang mencapai US$ 29,3 miliar.
Pada tahun 2019, realisasi investasi dari investor asal Hong Kong meningkat menjadi US$ 2,9 miliar. Secara persentasenya, kontribusi Hong Kong dari total realisasi PMA meningkat menjadi 10,2% pada tahun 2019, dari yang sebelumnya 6,8% pada tahun 2018.
Jadi, ancaman bagi perekonomian Indonesia yang datang dari berkubangnya Hong Kong di jurang resesi tak bisa dipandang sebelah mata oleh pelaku pasar saham Tanah Air.
Faktor ketiga yang berpotensi menekan kinerja pasar saham Indonesia di sisa bulan ini adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi. Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, perekonomian Indonesia pada tahun 2019 hanya mampu tumbuh sebesar 5,02%, menandai laju pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam.
Memasuki tahun 2020, perekonomian terlihat masih lesu. Sepanjang Januari 2020, BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%.
Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.
Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.
"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.
Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.
Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi pada bulan Januari praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah.
Lantas, walaupun memiliki PER yang rendah dan catatan yang apik di bulan Februari, belum bisa dipastikan bahwa akan ada dorongan beli yang kuat yang akan mengerek kinerja IHSG di sisa bulan Februari.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
Kalau ekonomi China melambat, maka laju perekonomian global dipastikan akan tertekan. Pasalnya, sejauh ini China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi.
Kedua, masih berkubangnya Hong Kong di jurang resesi. Pada pekan kemarin, Hong Kong merilis pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal IV-2019. Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2019, perekonomian Hong Kong tercatat tumbuh negatif alias terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan.
Lantas, perekonomian Hong Kong masih berkubang di jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong tercatat terkontraksi sebesar 0,5% secara kuartalan, disusul oleh kontraksi sebesar 3,2% pada kuartal III-2019.
Hong Kong sendiri merupakan investor kelas kakap bagi Indonesia. Pada tahun 2018, dana segar senilai US$ 2 miliar dibawa masuk ke Indonesia oleh investor asal Hong Kong, melansir data yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) pada tahun 2018 yang mencapai US$ 29,3 miliar.
Pada tahun 2019, realisasi investasi dari investor asal Hong Kong meningkat menjadi US$ 2,9 miliar. Secara persentasenya, kontribusi Hong Kong dari total realisasi PMA meningkat menjadi 10,2% pada tahun 2019, dari yang sebelumnya 6,8% pada tahun 2018.
Jadi, ancaman bagi perekonomian Indonesia yang datang dari berkubangnya Hong Kong di jurang resesi tak bisa dipandang sebelah mata oleh pelaku pasar saham Tanah Air.
Faktor ketiga yang berpotensi menekan kinerja pasar saham Indonesia di sisa bulan ini adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi. Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, perekonomian Indonesia pada tahun 2019 hanya mampu tumbuh sebesar 5,02%, menandai laju pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam.
Memasuki tahun 2020, perekonomian terlihat masih lesu. Sepanjang Januari 2020, BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%.
Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.
Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.
"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.
Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.
Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi pada bulan Januari praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah.
Lantas, walaupun memiliki PER yang rendah dan catatan yang apik di bulan Februari, belum bisa dipastikan bahwa akan ada dorongan beli yang kuat yang akan mengerek kinerja IHSG di sisa bulan Februari.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular