Mata Uang Asia Mulai Bangkit, Kok Rupiah Masih Melemah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 February 2020 10:11
Mata Uang Asia Mulai Bangkit, Kok Rupiah Masih Melemah?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga merah di perdagangan pasar spot.

Pada Senin (10/2/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.708. Rupiah melemah 0,45% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Pelemahan ini memutus rantai apresiasi rupiah di kurs tengah BI yang sebelumnya terjadi selama tiga hari perdagangan beruntun. Dalam tiga hari itu, penguatan rupiah tercatat 0,82%.

Sementara di pasar spot, rupiah yang dibuka stagnan langsung masuk jalur merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.710 di mana rupiah melemah 0,29%.

Mata uang utama Asia lainnya yang sempat melemah kini cenderung mixed di hadapan dolar AS. Beberapa mata uang yang sebelumnya melemah kini berbalik menguat seperti yuan China, won Korea Selatan, dolar Singapura, baht Thailand, sampai dolar Taiwan.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:07 WIB:




Perlahan keperkasaan dolar AS di Asia memudar. Awalnya greenback begitu perkasa, ditolong oleh rilis data ketenagakerjaan.

Pada Januari 2020, perekonomian AS mencetak 225.000 lapangan kerja. Jauh lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 160.000.

"Pasar tenaga kerja AS sedang 'berapi-api' di seluruh silindernya, sudah jelas perekonomian masih ekspansif. Dengan demikian, The Fed (The Federal Reserves, Bank Sentral AS) sepertinya bisa menahan suku bunga lebih lama," kata Oliver Konzeoue, FX Sales Trader di Saxo Markets yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters.

Tahun lalu, The Fed menurunkan suku bunga acuan tiga kali untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya. Hasilnya lumayan, saat negara maju lainnya terpincang-pincang bahkan nyaris jatuh ke jurang resesi, ekonomi AS masih tumbuh positif meski melambat.

Memasuki 2020, ada harapan pertumbuhan ekonomi AS bakal terus positif. Pasalnya, AS dan China sudah menyepakati perjanjian damai dagang Fase I yang menjadi pintu masuk untuk mengakhiri perang dagang.

Oleh karena itu, sepertinya perekonomian AS memang sudah tidak membutuhkan stimulus berupa penurunan suku bunga acuan. Ekspansi ekonomi sudah terjadi secara natural melalui mekanisme pasar tanpa campur tangan bank sentral.

Peluang penurunan suku bunga acuan yang semakin kecil membuat dolar AS menjadi menarik untuk dikoleksi. Keuntungan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS masih akan menguntungkan. Ini membuat pelaku pasar memburu dolar AS sehingga nilai tukarnya menguat.



Akan tetapi, rilis data dari China agak melunturkan pamor dolar AS. Biro Statistik Nasional China mengumumkan inflasi Negeri Tirai Bambu pada Januari 2020 sebesar 5,4% year-on-year (YoY). Ini adalah laju tercepat sejak Oktober 2011.

 

Tidak hanya di level konsumen, harga di tingkat produsen pun merangkak naik. Pada Januari 2020, inflasi produsen China tercatat 0,1% YoY, tertinggi sejak Mei 2019. Ini menjadi inflasi pertama dalam tujuh bulan terakhir.

 

Dua data tersebut menggambarkan bahwa perekonomian China tetap bergeliat meski dihantam penyebaran virus Corona. Virus Corona memang semakin ganas, per 10 Februari pukul 09:34 WIB sudah ada 40.510 kasus di seluruh dunia dan korban jiwa mencapai 910 orang.


Dengan berbagai upaya dari pemerintah dan bank sentral, investor sepertinya yakin dampak virus Corona terhadap perekonomian China bisa dibatasi. Bank Sentral China (PBoC) akan mempermudah proses penerbitan obligasi korporasi, di mana persyaratan bisa dikirim melalui surat atau secara online. Segala bentuk informasi tambahan yang diperlukan bisa menyusul kemudian.

Selain itu, PBoC juga akan menyediakan fasilitas pinjaman dengan nilai total CNY 300 miliar (Rp 588,04 triliun dengan kurs saat ini) kepada perbankan dengan tujuan mendongkrak penyaluran kredit. Pinjaman ini akan dikenakan bunga khusus yang lebih rendah dibandingkan bunga pasar.

Stimulus ini diharapkan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi China. Meski perlambatan akibat virus Corona sulit dihindari, tetapi setidaknya tidak ada hard landing.

Perkembangan dari China membuat investor merasa agak lega. Arus modal pun mulai masuk ke pasar keuangan Asia sehingga beberapa mata uang mampu menguat.



Namun rupiah yang masih sulit menguat sepertinya terbeban oleh sentimen domestik. Pelaku pasar menantikan rilis data penting yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). BI memperkirakan NPI bisa surplus pada 2019 setelah pada 2018 membukukan defisit U$ 7,13 miliar.

 

NPI menggambarkan arus devisa di perekonomian dalam negeri. Ketika NPI surplus, maka devisa yang masuk lebih banyak dari yang keluar. Artinya, fundamental penyokong rupiah akan lebih kuat.


Salah satu poin penting dalam perbaikan NPI adalah transaksi berjalan (current account). Memang transaksi berjalan 2019 hampir pasti masih defisit, tetapi sepertinya membaik ketimbang 2018.

Ini terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang pada 2019 membukukan defisit US$ 3,19 miliar. Memang masih tekor, tetapi jauh membaik dibandingkan 2018 yang minus US$ 8,69 miliar.

Investor boleh berekspekstasi ada perbaikan data NPI. Namun ini baru di atas kertas, realisasinya harus menunggu pengumuman BI. Oleh karena itu, tidak heran investor masih bersikap wait and see.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular