Cek Fakta, Seberapa Lama Serangan Virus 'Rusak' Pasar Saham?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 February 2020 17:59
Cek Fakta, Seberapa Lama Serangan Virus 'Rusak' Pasar Saham?
Foto: WNI dari China Tiba di Indonesia (Dok. Kemenlu)
Jakarta, CNBC Indonesia - Di sepanjang tahun 2020, perdagangan di bursa saham dunia diwarnai oleh meluasnya infeksi virus Corona.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain sejak bulan Januari. Dilansir dari halaman resmi Center for Disease Control and Prevention (CDC), hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir publikasi dari Johns Hopkins CSSE, hingga kini sebanyak 563 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 28.000. Kini, korban meninggal akibat virus Corona juga ditemui di luar China, tepatnya di Filipina dan Hong Kong.


Jika dihitung sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin, Rabu (5/2/2020), bursa saham dunia jelas tertekan. Indeks Shanghai misalnya, ambruk hingga 7,61%, sementara indeks Hang Seng jatuh 4,98%. Beralih ke dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia terkontraksi 5,1%.

Namun, ada satu fenomena yang perlu dicermati oleh pelaku pasar saham global, yakni anomali pada pergerakan bursa saham AS. Di sepanjang tahun 2020, indeks S&P yang merupakan salah satu indeks saham acuan di AS justru menguat hingga 3,22%.

Untuk diketahui, jika dibandingkan dengan dua indeks saham acuan lainnya di AS yakni Dow Jones dan Nasdaq Composite, indeks S&P 500 merupakan yang paling baik dalam merepresentasikan kinerja bursa saham AS.



Pelaku pasar saham AS seakan mengabaikan terus meluasnya infeksi virus Corona. Padahal, AS sendiri termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona di wilayahnya.

Menjelang akhir pekan kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.

Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China.

Memang, ada sentimen positif dari dalam negeri yang membuat pelaku pasar saham AS gencar melakukan aksi beli di sepanjang tahun ini. Pertama, rilis data ekonomi yang menggembirakan seperti yang didapati dalam beberapa waktu terakhir.


Pada awal pekan ini, Manufacturing PMI AS periode Januari 2020 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 50,9, di atas konsensus yang sebesar 48,5, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Ekspansi aktivitas manufaktur AS pada bulan lalu menandai ekspansi pertama dalam enam bulan.

Kemudian kemarin, penciptaan lapangan kerja periode Januari 2020 (di luar sektor pertanian) versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebanyak 291.000, di atas konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones sebanyak 150.000. Penciptaan lapangan kerja tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan capaian bulan Desember yang hanya sebanyak 199.000.

Melansir CNBC International, penciptaan lapangan kerja yang sebanyak 291.000 pada bulan lalu merupakan capaian terbaik sejak Mei 2015.

Lebih lanjut, Services PMI periode Januari 2020 versi ISM diumumkan di level 55,5, di atas konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Selain rilis data ekonomi yang menggembirakan, sentimen positif bagi bursa saham AS juga datang dari upaya pemakzulan Presiden AS Donald Trump oleh Partai Demokrat yang berakhir gagal total.

Seperti yang diketahui, pada pertengahan Desember 2019 DPR AS resmi memutuskan untuk memakzulkan Trump. Kala itu, mayoritas anggota DPR AS memberikan persetujuan untuk mencopot Trump dari posisinya sebagai orang nomor satu di AS.

Ada dua alasan yang membuat anggota DPR AS memutuskan untuk melengserkan Trump. Pertama, Trump didakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya ketika menahan bantuan pendanaan bagi Ukraina guna mendorong Ukraina meluncurkan investigasi terhadap lawan politiknya, Joe Biden.


Kedua, Trump juga didakwa karena dianggap menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Hal ini dilakukan oleh Trump dengan melarang para pembantunya di Gedung Putih untuk memberikan kesaksian di sidang penyelidikan Trump.
Namun, kini upaya dari Partai Demokrat terbukti gagal total. Kemarin waktu setempat, Senat AS resmi melakukan pemungutan suara atas dua pasal yang didakwakan oleh DPR AS kepada Trump.

Hasilnya, Trump dinyatakan tak bersalah atas kedua pasal tersebut. Melansir CNBC International, sebanyak 52 dari 100 senator menyatakan Trump tak bersalah atas dakwaan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara untuk dakwaan menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, sebanyak 53 senator menyatakan Trump tak bersalah.

Praktis, Trump tetap menempati posisi sebagai orang nomor satu di AS, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.

Dengan kemenangan Trump dalam upaya pemakzulan yang dilakukan oleh Partai Demokrat, praktis ketidakpastian yang dihadapi oleh pelaku pasar saham dunia menjadi berkurang.

Ada harapan bahwa kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi yang sering dieksekusi oleh Trump akan terus bisa disalurkan, yang pada akhirnya akan menjaga laju perekonomian global di level yang relatif tinggi.

[Gambas:Video CNBC]



Sebagai informasi, pada tahun 2017 atau tahun pertama Presiden Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang nyaris mencapai 3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam setidaknya 10 tahun
Tetap saja, sejauh ini infeksi virus Corona yang kian meluas seakan diabaikan oleh pelaku pasar saham AS.

Untuk diketahui, kala sebuah virus merebak dan memakan banyak korban jiwa, indeks S&P 500 biasanya membukukan koreksi. Kala wabah virus SARS merebak pada tahun 2003 misalnya, indeks S&P 500 ambruk sebesar 12,8% dalam 38 hari perdagangan, seperti dilansir dari CNBC International yang menggunakan data dari Citi dan FactSet.

Kemudian pada tahun 2004 kala Avian Influenza merebak, indeks S&P 500 terkoreksi 6,9% dalam periode 141 hari perdagangan.

Virus teranyar yang merebak sebelum Corona adalah Zika, yakni pada tahun 2015 hingga 2016. Selama 66 hari perdagangan di antara tahun 2015 dan 2016, indeks S&P 500 melemah 12,9%.

Lantas, pada tahun ini kita jelas mendapati sebuah anomali, di mana indeks S&P 500 justru menguat kala infeksi virus Corona kian meluas.



Jika didalami, jelas terlihat bahwa kian meluasnya infeksi virus Corona tak bisa dianggap sepele. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman pertama, hingga kini sebanyak 563 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 28.000.

Jumlah korban meninggal di China akibat virus Corona telah melampaui jumlah korban meninggal kala wabah SARS merebak yang sebanyak 349 jiwa saja.

Memang, tingkat kematian (mortality rate) dari virus SARS jauh lebih tinggi, yakni mencapai 9,6%, seperti dikutip dari New York Times. Untuk virus Corona, tingkat kematiannya hanya sebesar 2%.

Bahkan, jumlah pasien yang berhasil disembuhkan (recovery rate) dari infeksi virus Corona justru melebihi jumlah pasien yang meninggal. Melansir publikasi dari Johns Hopkins CSSE, hingga kini sebanyak terdapat 28.274 kasus virus Corona di seluruh dunia, di mana sebanyak 1.198 pasien (4,24%) telah berhasil disembuhkan.

Tetap saja, dampak virus Corona terhadap perekonomian global tak bisa dianggap sepele. Pasalnya, infeksi virus Corona datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.

Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.

Pemerintah China sendiri sejatinya memperkirakan bahwa akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.

Namun, kemungkinan besar estimasi tersebut akan meleset jauh, mengingat banyak wilayah di China yang dikarantina guna menekan meluasnya infeksi virus Corona.

Bahkan, pemerintah China memutuskan untuk memperpanjang libur Tahun Baru China di negaranya. Sejatinya, libur Tahun Baru China pada awalnya dijadwalkan untuk berlangsung pada tanggal 24 hingga 30 Januari 2020.

Berlaku secara nasional, pemerintah China kemudian memperpanjang libur Tahun Baru China hingga akhir pekan kemarin.

Menurut estimasi dari Morgan Stanley, jika libur Tahun Baru China diperpanjang selama satu minggu secara nasional, tingkat produksi industri untuk periode Januari 2020 dan Februari 2020 bisa terpangkas lima hingga delapan persentase poin, seperti dilansir dari CNBC International.

Melansir pemberitaan CNBC International, hingga senin pagi (3/2/2020) setidaknya 24 provinsi, kota, dan wilayah di China telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk menghentikan operasional hingga setidaknya tanggal 10 Februari.

Bahkan, provensi Hubei yang terdampak paling parah oleh virus Corona, telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk tak beroperasi hingga setidaknya tanggal 14 Februari.

Menurut perhitungan CNBC International menggunakan data yang dipublikasikan oleh Wind Information, 24 provinsi, kota, dan wilayah yang memperpanjang libur Tahun Baru China tersebut berkontribusi sebesar lebih dari 80% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) China. Sementara itu, kontribusi dari wilayah-wilayah tersebut terhadap total ekspor mencapai 90%. Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.

Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.

Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.

“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.

Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.

Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.

Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

China sendiri merupakan mitra dagang utama bagi AS yang merupakan merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi. Mulai dari iPhone hingga pakaian yang digunakan oleh konsumen di AS, banyak sekali yang diproduksi di China.

Jadi, diabaikannya perluasan infeksi virus Corona oleh pelaku pasar saham AS harus benar-benar menjadi perhatian pelaku pasar saham dunia. Penyebabnya jelas, ekonomi AS akan terdampak jika perluasan infeksi virus Corona tak juga diredam, namun hingga kini hal tersebut belum terefleksikan di bursa sahamnya.

Sebagai kiblat dari pasar saham, bahkan pasar keuangan dunia, rontoknya Wall Street jelas berpotensi untuk memantik aksi jual di bursa saham negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Singkat cerita, virus Corona bisa jadi belum selesai memukul kinerja bursa saham dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular