
Cek Fakta, Seberapa Lama Serangan Virus 'Rusak' Pasar Saham?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 February 2020 17:59

Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.
Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
China sendiri merupakan mitra dagang utama bagi AS yang merupakan merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi. Mulai dari iPhone hingga pakaian yang digunakan oleh konsumen di AS, banyak sekali yang diproduksi di China.
Jadi, diabaikannya perluasan infeksi virus Corona oleh pelaku pasar saham AS harus benar-benar menjadi perhatian pelaku pasar saham dunia. Penyebabnya jelas, ekonomi AS akan terdampak jika perluasan infeksi virus Corona tak juga diredam, namun hingga kini hal tersebut belum terefleksikan di bursa sahamnya.
Sebagai kiblat dari pasar saham, bahkan pasar keuangan dunia, rontoknya Wall Street jelas berpotensi untuk memantik aksi jual di bursa saham negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Singkat cerita, virus Corona bisa jadi belum selesai memukul kinerja bursa saham dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
China sendiri merupakan mitra dagang utama bagi AS yang merupakan merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi. Mulai dari iPhone hingga pakaian yang digunakan oleh konsumen di AS, banyak sekali yang diproduksi di China.
Jadi, diabaikannya perluasan infeksi virus Corona oleh pelaku pasar saham AS harus benar-benar menjadi perhatian pelaku pasar saham dunia. Penyebabnya jelas, ekonomi AS akan terdampak jika perluasan infeksi virus Corona tak juga diredam, namun hingga kini hal tersebut belum terefleksikan di bursa sahamnya.
Sebagai kiblat dari pasar saham, bahkan pasar keuangan dunia, rontoknya Wall Street jelas berpotensi untuk memantik aksi jual di bursa saham negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Singkat cerita, virus Corona bisa jadi belum selesai memukul kinerja bursa saham dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular