
Sempat Menghijau, IHSG Tutup Sesi I di Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 January 2020 12:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (30/1/2020), di zona hijau.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG naik 0,28% ke level 6.130,1. IHSG kemudian terus bergerak di zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada perdagangan hari ini berada di level 6.130,8, mengimplikasikan kenaikan sebesar 0,29% jika dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (29/1/2020).
Sayang, IHSG kemudian meluncur turun hingga berada di zona merah. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi 0,48% ke level 6.083,87.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-2,56%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,84%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-0,65%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,77%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-0,64%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 1,87%, indeks Hang Seng jatuh 1,82%, indeks Straits Times terkoreksi 0,51%, dan indeks Kospi melemah 1,53%.
Sebagai catatan, perdagangan di bursa saham China masih diliburkan seiring dengan libur Tahun Baru China.
Bursa saham Benua Kuning melemah pasca The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv.
Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.
Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas membebani kinerja bursa saham Asia.
Lebih lanjut, bursa saham Asia diterpa tekanan jual seiring dengan meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 18 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
Melansir CNBC International, hingga hari ini sebanyak 170 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 7.700. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya baru mencapai 56 orang.
Ini artinya, dalam kurun waktu tiga hari jumlah korban meninggal akibat infeksi virus Corona telah bertambah tiga kali lipat lebih.
Terdapat kemungkinan bahwa infeksi virus Corona akan mewabah seperti SARS. Jika ini yang terjadi, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, kini masyarakat China sedang merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Virus Corona Makin Brutal, Hari Sesi I IHSG Jatuh 0,99%
Pada pembukaan perdagangan, IHSG naik 0,28% ke level 6.130,1. IHSG kemudian terus bergerak di zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada perdagangan hari ini berada di level 6.130,8, mengimplikasikan kenaikan sebesar 0,29% jika dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (29/1/2020).
Sayang, IHSG kemudian meluncur turun hingga berada di zona merah. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi 0,48% ke level 6.083,87.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-2,56%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,84%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-0,65%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,77%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-0,64%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 1,87%, indeks Hang Seng jatuh 1,82%, indeks Straits Times terkoreksi 0,51%, dan indeks Kospi melemah 1,53%.
Sebagai catatan, perdagangan di bursa saham China masih diliburkan seiring dengan libur Tahun Baru China.
Bursa saham Benua Kuning melemah pasca The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv.
Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.
Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas membebani kinerja bursa saham Asia.
Lebih lanjut, bursa saham Asia diterpa tekanan jual seiring dengan meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 18 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
Melansir CNBC International, hingga hari ini sebanyak 170 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 7.700. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya baru mencapai 56 orang.
Ini artinya, dalam kurun waktu tiga hari jumlah korban meninggal akibat infeksi virus Corona telah bertambah tiga kali lipat lebih.
Terdapat kemungkinan bahwa infeksi virus Corona akan mewabah seperti SARS. Jika ini yang terjadi, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, kini masyarakat China sedang merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
![]() |
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Virus Corona Makin Brutal, Hari Sesi I IHSG Jatuh 0,99%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular