
Rupiah Ngeri! Dalam 3 Pekan Dolar Australia Dibuat Turun 3%
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 January 2020 11:36

Jakarta Kurs dolar Australia melawan rupiah pada perdagangan Jumat (17/1/2020), tetapi jika melihat sejak awal 2020 Mata Uang Rupiah sangat perkasa.
Pada pukul 11:00 WIB AU$ 1 setara dengan Rp 9.409,65, dolar Australia menguat 0,12% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Namun jika melihat sejak 2 Januari 2020 atau kurang dari tiga pekan lalu, kurs dolar Australia sudah melemah 3,4%. Tidak hanya itu, pada Rabu kemarin mata uang Kanguru mencapai level penutupan perdagangan terendah sejak Agustus 2013.
Membaiknya sentimen pelaku pasar serta data-data dalam negeri menjadi penopang penguatan tajam rupiah.
Kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang diteken pada Rabu (15/1/2020) di Washington menjadi faktor utama membaiknya sentiment pelaku pasar.
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.
Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, dengan adanya kesepakatan dagang fase I setidaknya mengecilkan potensi eskalasi perang dagang, pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu bangkit di tahun ini. Dampaknya risk appetite pelaku pasar meningkat dan masuk ke aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi. Dalam kasus ini, rupiah tentu lebih menarik dari dolar Australia, sehingga terus mampu berjaya.
Yield atau imbal hasil obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 6,833% pada hari ini, sementara obligasi Australia tenor yang sama di level 1,188%. Selisih yield yang lebih dari 5% tersebut tentunya membuat berinvestasi di Indonesia lebih menguntungkan saat kondisi ekonomi global mulai stabil, bahkan berpotensi bangkit.
Pada pukul 11:00 WIB AU$ 1 setara dengan Rp 9.409,65, dolar Australia menguat 0,12% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Namun jika melihat sejak 2 Januari 2020 atau kurang dari tiga pekan lalu, kurs dolar Australia sudah melemah 3,4%. Tidak hanya itu, pada Rabu kemarin mata uang Kanguru mencapai level penutupan perdagangan terendah sejak Agustus 2013.
Membaiknya sentimen pelaku pasar serta data-data dalam negeri menjadi penopang penguatan tajam rupiah.
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.
Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, dengan adanya kesepakatan dagang fase I setidaknya mengecilkan potensi eskalasi perang dagang, pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu bangkit di tahun ini. Dampaknya risk appetite pelaku pasar meningkat dan masuk ke aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi. Dalam kasus ini, rupiah tentu lebih menarik dari dolar Australia, sehingga terus mampu berjaya.
Yield atau imbal hasil obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 6,833% pada hari ini, sementara obligasi Australia tenor yang sama di level 1,188%. Selisih yield yang lebih dari 5% tersebut tentunya membuat berinvestasi di Indonesia lebih menguntungkan saat kondisi ekonomi global mulai stabil, bahkan berpotensi bangkit.
Next Page
Data Ekonomi Dukung Penguatan Rupiah
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular