
Data Ekonomi Apik, Dolar AS Bangkit dari Tekanan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 January 2020 21:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) perlahan bangkit dari tekanan euro pada perdagangan Kamis (16/1/2020) setelah rilis data ekonomi yang apik. Euro semula menguat 0,21% terhadap dolar AS, dan menipis menjadi 0,07% ke US$ 1,1157 setelah rilis data penjualan ritel AS.
Data AS hari ini menunjukkan penjualan ritel di bulan Agustus tumbuh 0,3% month-on-month (MoM) pada Desember, sesuai dengan prediksi Reuters dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,2%.
Namun yang mengejutkan, penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan, tumbuh 0,7% MoM, jauh lebih tinggi dari prediksi Reuters 0,5% dan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,1%. Data tersebut menjadi data bagus pertama setelah sebelumnya dua data penting dari AS dirilis mengecewakan.
Selasa (14/1/2020) lalu, data inflasi bulan Desember dirilis sebesar 0,2% sesuai dengan prediksi Reuters, tetapi lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya 0,3%. Sementara inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan, hanya tumbuh 0,1% lebih rendah dari prediksi Reuters dan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,2%.
Untuk diketahui, data inflasi dan tenaga kerja merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menetapkan suku bunga. Data tenaga kerja AS sudah dirilis pada Jumat (10/1/2020) pekan lalu, hasilnya juga mengecewakan.
Pada akhir tahun lalu, The Fed mengatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini, setelah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di 2019. Melihat data tenaga kerja dan inflasi yang masih lemah, ada kemungkinan The Fed akan kembali memangkas suku bunga di tahun ini. Hal tersebut membuat dolar AS tertekan.
Belum lagi kesepakatan dagang fase I AS dengan China yang justru membuat mata uang utama lainnya menguat melawan the greenback. Kesepakatan dagang fase I ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada hari Rabu di Washington.
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.
Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, dengan adanya kesepakatan dagang fase I setidaknya mengecilkan potensi eskalasi perang dagang, pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu bangkit di tahun ini. Dampaknya risk appetite pelaku pasar meningkat yang turut mengangkat performa mata uang utama lainnya di hadapan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Data AS hari ini menunjukkan penjualan ritel di bulan Agustus tumbuh 0,3% month-on-month (MoM) pada Desember, sesuai dengan prediksi Reuters dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,2%.
Namun yang mengejutkan, penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan, tumbuh 0,7% MoM, jauh lebih tinggi dari prediksi Reuters 0,5% dan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,1%. Data tersebut menjadi data bagus pertama setelah sebelumnya dua data penting dari AS dirilis mengecewakan.
Selasa (14/1/2020) lalu, data inflasi bulan Desember dirilis sebesar 0,2% sesuai dengan prediksi Reuters, tetapi lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya 0,3%. Sementara inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan, hanya tumbuh 0,1% lebih rendah dari prediksi Reuters dan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,2%.
Untuk diketahui, data inflasi dan tenaga kerja merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menetapkan suku bunga. Data tenaga kerja AS sudah dirilis pada Jumat (10/1/2020) pekan lalu, hasilnya juga mengecewakan.
Pada akhir tahun lalu, The Fed mengatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini, setelah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di 2019. Melihat data tenaga kerja dan inflasi yang masih lemah, ada kemungkinan The Fed akan kembali memangkas suku bunga di tahun ini. Hal tersebut membuat dolar AS tertekan.
Belum lagi kesepakatan dagang fase I AS dengan China yang justru membuat mata uang utama lainnya menguat melawan the greenback. Kesepakatan dagang fase I ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada hari Rabu di Washington.
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.
Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, dengan adanya kesepakatan dagang fase I setidaknya mengecilkan potensi eskalasi perang dagang, pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu bangkit di tahun ini. Dampaknya risk appetite pelaku pasar meningkat yang turut mengangkat performa mata uang utama lainnya di hadapan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular