Internasional

Dr Doom Roubini Ramal Krisis AS-Iran Picu Resesi

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
16 January 2020 13:56
Krisis AS dan Iran bukan hanya bisa melemahkan ekonomi global tapi menyeret pada resesi
Foto: Berikut 5 Rudal Terbesar Iran VS 5 Rudal Terbesar AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada 3 Januari lalu Amerika Serikat (AS) meluncurkan serangan udara ke Bandara Internasional Baghdad dan menewaskan pimpinan kelompok Quds Iran, Jenderal Qasem Soleimani. Pasca serangan itu, hubungan kedua negara yang sudah buruk menjadi lebih buruk.

Iran melakukan serangan balasan setelahnya. Belasan rudal diluncurkan ke pangkalan militer AS di Irak, dan itu bukan satu-satunya serangan balasan yang diluncurkan Iran. Namun begitu, AS setelahnya mengklaim serangan Iran tidak memakan korban jiwa warga negaranya.

Tapi ternyata, menurut Nouriel Roubini, Profesor Ekonomi di Stern School of Business Universitas New York, perang AS-Iran sudah cukup mengguncang Timur Tengah, tempat mereka berperang. Bahkan, sektor ekonomi, termasuk pasar keuangan juga telah banyak terpengaruh.

"Menyusul pembunuhan AS terhadap Soleimani dan pembalasan Iran ... pasar keuangan bergerak ke mode risk-off: harga minyak melonjak 10%, saham AS dan global turun beberapa poin persentase dan imbal hasil (yield) obligasi safe-haven turun," tulis pria yang pernah menjabat sebagai penasihat senior dewan penasihat ekonomi Gedung Putih dan Departemen Keuangan AS itu dalam artikel yang dimuat The Guardian, Selasa (14/1/2020).

Lebih lanjut, dalam artikel itu, Roubini menyebut pasar memang sempat mencatatkan kinerja yang baik pada saat konflik memuncak. Di mana harga saham naik mendekati rekor tertinggi barunya.

Itu kemungkinan terjadi karena investor yakin kedua negara tidak akan melanjutkan berperang. "Sebab hal itu akan mengancam rezim Iran dan prospek pemilihan kembali Presiden AS Donald Trump," jelasnya.

Konflik kedua negara juga diyakini investor tidak akan mengganggu pasokan minyak. Gangguan tidak akan signifikan sebab, ada AS yang bisa mengisi pasokan, mengingat negara itu adalah produsen energi utama dunia.

Namun ternyata, Roubini menyebut kedua asumsi itu jelas salah. Menurutnya, Iran masih baru memulai dan belum benar-benar menyerang.

Bahkan, bisa jadi negara itu akan melakukan serangan ke pangkalan-pangkalan minyak. Yang pada akhirnya bisa membuat harga minyak melonjak tajam.

"Kedua asumsi ini jelas cacat. Bahkan jika risiko perang skala penuh mungkin tampak rendah, tidak ada alasan untuk percaya bahwa hubungan AS-Iran akan kembali ke status quo ante (status sebelum perang). Gagasan bahwa serangan tanpa-korban di dua pangkalan Irak telah memuaskan kebutuhan Iran untuk membalas adalah sangat naif," jelasnya.

"Roket-roket Iran itu hanyalah salto pertama dalam tanggapan yang akan meningkat saat pemilihan presiden AS November mendatang. Konflik akan terus menampilkan agresi oleh proksi regional (termasuk serangan terhadap Israel), konfrontasi militer langsung yang gagal dalam perang habis-habisan, upaya untuk menyabot fasilitas minyak (Arab) Saudi dan negara Teluk lainnya, menghambat navigasi Teluk, terorisme internasional, serangan dunia maya, proliferasi nuklir dan banyak lagi. Semua ini dapat menyebabkan eskalasi konflik yang tidak disengaja."


Sebagai akibatnya, apabila hal-hal semacam itu benar terjadi, Roubini menyebut dampaknya bisa membawa AS dalam kekacauan. Bahkan, kenaikan harga minyak meski hanya sedikit pun, bisa membuat AS sangat terpapar.

"Asumsi tentang apa arti konflik bagi pasar sama kelirunya. Meskipun AS kurang tergantung pada minyak asing daripada di masa lalu, bahkan lonjakan harga yang rendah dapat memicu penurunan atau resesi yang lebih luas, seperti yang terjadi pada tahun 1990. Saat guncangan harga minyak akan meningkatkan laba produsen energi AS, manfaatnya adalah melebihi biaya untuk konsumen minyak AS (baik rumah tangga dan perusahaan)," jelasnya.

"Secara keseluruhan, pengeluaran dan pertumbuhan swasta AS akan melambat, seperti halnya pertumbuhan di semua negara pengimpor minyak utama, termasuk Jepang, China, India, Korea Selatan, Turki, dan sebagian besar negara Eropa."

"Akhirnya, meskipun bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga menyusul gejolak harga minyak, mereka juga tidak memiliki banyak ruang tersisa untuk melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut," jelasnya.

Mengutip JP Morgan, konflik yang menghalangi selat Hormuz selama enam bulan dapat menaikkan harga minyak sebesar 126%, menjadi lebih dari US$ 150 per barel. Ini memungkinkan hadirnya resesi global yang parah.

Jika gangguan di wilayah itu lebih terbatas, misalnya seperti blokade satu bulan, hal itu juga bisa memicu kenaikan harga minyak hingga mencapai US$ 80 per barel.

"Risiko bahwa Iran dapat menyerang fasilitas produksi minyak atau mengganggu rute pengiriman utama menciptakan "premium rasa takut". Oleh karena itu, bahkan kenaikan harga minyak yang rendah menjadi US$ 80 per barel akan menyebabkan episode risk-off yang berkelanjutan, dengan ekuitas AS dan global turun setidaknya 10%, pada gilirannya, menyakiti kepercayaan investor, bisnis dan konsumen," tulisnya lagi.

Lebih lanjut, pendiri RGE Monitor itu menyebut beberapa analis termasuk dirinya telah memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini mungkin sama rendahnya dengan 2019 lalu. Sehingga, apabila dibarengi dengan risiko perang, maka ekonomi akan sangat tertekan.

"Sekarang, terlepas dari optimisme Wall Street, bahkan kembalinya ketegangan AS-Iran dapat mendorong pertumbuhan global di bawah level biasa-biasa saja pada tahun 2019. Konflik yang lebih parah yang mendekati perang dapat meningkatkan harga minyak hingga di atas US$ 80 per barel, mungkin mendorong harga saham ke wilayah bearish (turun 20%) dan menghambat pertumbuhan global. Akhirnya, perang skala penuh dapat mendorong harga minyak di atas US$ 150 per barel, melahirkan resesi global yang parah dan penurunan lebih dari 30% untuk pasar saham," katanya.

Roubini menyebut saat ini probabilitas AS-Iran terlibat perang skala penuh masih rendah, tidak lebih dari 20%. Namun, peluang untuk kembali ke status quo pra-pembunuhan (keadaan normal sebelum ketegangan meningkat) juga sangat lebih rendah, sekitar 5%.

[Gambas:Video CNBC]






(sef/sef) Next Article Teluk Panas: Iran Diserang Misil, AS Tambah Pasukan di Saudi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular