
Emas Menguat Lagi, Prediksi ke US$ 1.600/oz Bisa Jadi Nyata
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 December 2019 19:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia "ngamuk" pekan ini setelah sempat malas gerak alias mager sepanjang pekan lalu. Dalam tiga hari perdagangan terakhir, harga emas dunia melesat naik 2,24% hingga melewati level psikologis US$ 1.500/troy ons. Sepanjang minggu lalu, logam mulia ini cuma bergerak di kisaran US$ 1.469-1.481/troy ons.
Pada Kamis (26/12/2019) kemarin, emas mengakhiri perdagangan di level US$ 1.511,29/troy ons, menguat 0,85% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level itu menjadi yang tertinggi sejak 4 November lalu. Sementara hari ini, Jumat (27/12/2019) hingga pukul 19:28 WIB pergerakan emas lebih kalem, di level US$ 1.510,01, atau melemah tipis 0,09%.
Tanda-tanda emas akan "ngamuk" sebenarnya juga sudah terlihat sejak pekan lalu. CNBC International mewartakan, total kepemilikan aset SPDR Gold Trust naik 0,3% menjadi 885,93 ton pada Jumat pekan lalu (20/12/2019).
Sementara itu, data Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan volume net buy emas naik menjadi 286,3 kontrak pada pekan lalu, dari pekan sebelumnya 270,9 kontrak.
Penambahan aset dan peningkatan posisi net buy tersebut terjadi di saat optimisme akan penandatangan kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dengan China sedang membuncah. Hal itu seharusnya memberi tekanan bagi emas, tetapi faktanya logam mulia ini masih kuat sepanjang pekan lalu, dan pada akhirnya melesat naik di pekan ini.
Pergerakan pada Selasa (24/12/2019) dan Kamis kemarin menunjukkan kekuatan emas bahkan di tengah optimisme pasar akan kesepakatan dagang fase I. Emas mampu melesat naik di saat bursa saham AS (Wall Street) terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Pelaku pasar dibuat ceria dan masuk ke aset berisiko di pekan ini setelah Presiden AS, Donald Trump, pada hari Selasa (24/12/2019) menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping.
"Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters. Sehari sebelumnya, CNBC International melaporkan China akan menurunkan bea masuk terhadap 850 produk dari AS mulai 1 Januari.
Perang dagang kedua negara selama 18 bulan membuat perekonomian kedua negara melambat dan berdampak pada perekonomian global. Ketika kedua negara mencapai kesepakatan dagang, harapan bangkitnya perekonomian global membuncah, sentimen pelaku pasar jadi membaik, dan kembali memburu aset berisiko berimbal hasil tinggi.
Tetapi bukan berarti emas akan ditinggalkan para investor. Pergerakan emas di pekan ini menjadi bukti jika emas masih mampu menguat di kala sentimen pelaku pasar membaik. Pergerakan emas tersebut sesuai dengan ramalan bank investasi ternama Goldman Sachs.
Analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, menjadi salah satu yang memprediksi harga emas masih akan mencapai level US$ 1.600/troy ons. Alasannya ketika perekonomian global bangkit, maka mata uang utama lain juga akan menguat melawan dolar AS. Mata uang emerging market di Asia juga diprediksi menguat melawan greenback.
Harga emas dibanderol dengan dolar AS, ketika mata uang Paman Sam ini melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain sehingga permintaan bisa meningkat. Selain Goldman, UBS Group AG dan Citigroup juga memprediksi harga emas akan mencapai US$ 1.600/troy ons di tahun 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Pada Kamis (26/12/2019) kemarin, emas mengakhiri perdagangan di level US$ 1.511,29/troy ons, menguat 0,85% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level itu menjadi yang tertinggi sejak 4 November lalu. Sementara hari ini, Jumat (27/12/2019) hingga pukul 19:28 WIB pergerakan emas lebih kalem, di level US$ 1.510,01, atau melemah tipis 0,09%.
Sementara itu, data Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan volume net buy emas naik menjadi 286,3 kontrak pada pekan lalu, dari pekan sebelumnya 270,9 kontrak.
Penambahan aset dan peningkatan posisi net buy tersebut terjadi di saat optimisme akan penandatangan kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dengan China sedang membuncah. Hal itu seharusnya memberi tekanan bagi emas, tetapi faktanya logam mulia ini masih kuat sepanjang pekan lalu, dan pada akhirnya melesat naik di pekan ini.
Pergerakan pada Selasa (24/12/2019) dan Kamis kemarin menunjukkan kekuatan emas bahkan di tengah optimisme pasar akan kesepakatan dagang fase I. Emas mampu melesat naik di saat bursa saham AS (Wall Street) terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Pelaku pasar dibuat ceria dan masuk ke aset berisiko di pekan ini setelah Presiden AS, Donald Trump, pada hari Selasa (24/12/2019) menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping.
"Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters. Sehari sebelumnya, CNBC International melaporkan China akan menurunkan bea masuk terhadap 850 produk dari AS mulai 1 Januari.
Perang dagang kedua negara selama 18 bulan membuat perekonomian kedua negara melambat dan berdampak pada perekonomian global. Ketika kedua negara mencapai kesepakatan dagang, harapan bangkitnya perekonomian global membuncah, sentimen pelaku pasar jadi membaik, dan kembali memburu aset berisiko berimbal hasil tinggi.
Tetapi bukan berarti emas akan ditinggalkan para investor. Pergerakan emas di pekan ini menjadi bukti jika emas masih mampu menguat di kala sentimen pelaku pasar membaik. Pergerakan emas tersebut sesuai dengan ramalan bank investasi ternama Goldman Sachs.
Analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, menjadi salah satu yang memprediksi harga emas masih akan mencapai level US$ 1.600/troy ons. Alasannya ketika perekonomian global bangkit, maka mata uang utama lain juga akan menguat melawan dolar AS. Mata uang emerging market di Asia juga diprediksi menguat melawan greenback.
Harga emas dibanderol dengan dolar AS, ketika mata uang Paman Sam ini melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain sehingga permintaan bisa meningkat. Selain Goldman, UBS Group AG dan Citigroup juga memprediksi harga emas akan mencapai US$ 1.600/troy ons di tahun 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular