Rupiah Perkasa Lawan Won, Liburan ke Korea Bisa Foya-foya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 December 2019 15:12
Rupiah Perkasa Lawan Won, Liburan ke Korea Bisa Foya-foya!
Foto: detik.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2019 tinggal dalam hitungan hari, nilai tukar rupiah menunjukkan kinerja yang cukup bagus di tahun ini, menguat terhadap mata uang utama dunia, begitu juga dengan mata uang di Asia Pasifik.

Sepanjang tahun ini hingga Senin (23/12/2019) kemarin, rupiah berhasil mencatat penguatan 2,89% melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot, melansir data Refinitiv. Selain itu melawan euro dan poundsterling, Mata Uang Garuda tercatat menguat 6,13% dan 1,55%.

Sementara di kawasan Asia Pasifik, rupiah nyaris menaklukan semua mata uang utama. Rupiah hanya kalah dari bath Thailand dan Peso Filipina.



Won Korea Selatan menjadi mata uang yang paling menderita di hadapan rupiah, sepanjang tahun ini melemah 7,06%. Bagi yang ingin traveling ke negeri K-Pop, tentunya akhir tahun ini akan lebih menguntungkan dibandingkan akhir tahun lalu, jika dilihat dari nilai tukar won terhadap rupiah. Di akhir tahun lalu, 1 won setara dengan Rp 12,89, sementara pada Senin kemarin dibanderol Rp 11,98.

Nilai tukar won melawan rupiah saat ini juga berada di dekat level terendah dalam dua tahun terakhir.



Selain won, rupee India juga sedang murah di hadapan rupiah. Senin kemarin 1 rupee setara dengan 195,98. Mata uang Negeri Bollywood ini melemah 5,14% sepanjang tahun ini.

Yuan China, dan dolar Australia menjadi mata uang yang melemah cukup tajam melawan rupiah di tahun ini. Keduanya melemah lebih dari 4%, yuan berada di dekat level terlemah dua tahun, sementara dolar Australia lebih dalam lagi, di dekat level terlemah nyaris empat tahun terakhir.
Pada Senin kemarin, CNY 1 setara dengan Rp 1.990.56, sementara AU$ 1 dibanderol Rp 9.661,72.


Stabilitas adalah kata kunci yang membuat rupiah menguat di tahun ini. Hal tersebut diungkapkan oleh Zach Pandl, co-head mata uang global, suku bunga, dan strategi negara berkembang di bank investasi ternama Goldman Sachs

Pandl mengatakan Indonesia merupakan "sebuah cerita mengenai stabilitas".

"Anda memiliki pertumbuhan yang stabil. Anda memiliki gambaran pemerintahan yang cukup bagus dan anda memiliki bank sentral yang terus mencoba mempertahankan nilai tukar mata uang agar tetap stabil" ujar Pandl, sebagaimana dilansir CNBC International.

Pemilihan Presiden (Pilpres) pada bulan April menjadi "bumbu" tambahan penggerak rupiah. Banyak dinamika yang terjadi sebelum dan sesudah Pilpres yang kerap mempengaruhi pergerakan rupiah. Tetapi pada akhirnya kondisi ekonomi yang cukup stabil di tengah pelambatan ekonomi global membuat rupiah mampu berjaya. 



Perekonomian Indonesia di tahun ini memang mengalami pelambatan, tetapi masih mampu bertahan di atas 5%. Pada kuartal I-2019, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,07% year-on-year (YoY). Di dua kuartal selanjutnya terus melambat menjadi 5,05% dan 5,02%. 

Selain itu, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian diprediksi akan membaik. Di tiga kuartal tahun ini, CAD belum pernah menyentuh 3% dari produk domestik bruto (PDB). 

Inflasi juga mampu terjaga sesuai target Bank Indonesia di kisaran 3% plus minus 1%. Inflasi tertinggi tercatat di bulan Agustus sebesar 3,49% YoY, sementara terendah di bulan Maret 2,48% YoY. 

Inflasi yang terjaga tersebut membuat BI memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter yang sudah dieksekusi di tahun ini. 

Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%. 
Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober. 

Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF). 



Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.

Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.

Menariknya, performa rupiah masih terus terjaga di saat BI secara agresif melonggarkan kebijakan moneter. Artinya pelaku pasar menyambut baik pelonggaran tersebut, dan menyimpan harapan perekonomian Indonesia akan lebih baik lagi di di tahun depan.

Selain itu yield di Indonesia juga relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya, sehingga menarik minat untuk berinvestasi. 

"Jika investor berinvestasi, anda tahu aset di Indonesia memiliki yield cukup tinggi, dengan kondisi makroekonomi dan pertumbuhan global yang relatif stabil, kami pikir ini [aset di Indonesia] cukup menarik untuk dimainkan" kata Pandl. 



Berdasarkan data Refinitiv, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun pada akhir perdagangan Jumat (20/12/2019) pekan lalu berada di level 7,185%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Filipina menjadi negara dengan yield obligasi yang paling dekat dengan Indonesia, yakni di level 4,47%. Kemudian ada Malaysia dengan yield 3,393%. 

Thailand dan Taiwan memberikan yield obligasi tenor 10 tahun yang cukup rendah yakni 1,57% dan 0,68%. Bahkan yield obligasi Indonesia masih lebih tinggi dari India yang yield-nya sebesar 6,598%.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular