Ulasan 2019

Tahun 2019, Rupiah Taklukan Mata Uang 4 Benua!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 December 2019 11:16
Tahun 2019, Rupiah Taklukan Mata Uang 4 Benua!
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah, mata uang kebanggaan Tanah Air menunjukkan kinerja yang bagus di tahun 2019. Hingga perdagangan Senin (23/12/2019) kemarin rupiah mencatat penguatan 2,89% melawan dolar AS di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv.

Pada Senin kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 13.960/US$

Tidak hanya melawan dolar AS, rupiah di tahun ini juga menguat melawan mata uang utama di tiga benua lainnya.

Kurs euro menjadi yang paling merana di hadapan rupiah. Mata uang 19 negara ini nilainya merosot 6,13% sepanjang tahun ini. Pada perdagangan Senin kemarin, EUR 1 setara dengan Rp 15.476,06, di pasar spot.

Masih dari Benua Eropa, poundsterling juga tak luput dari tekanan Mata Uang Garuda. Mata uang Negeri John Bull melemah 1,55%.



Beralih ke Asia, mata uang utama Benua Kuning, yen Jepang, juga dibuat melemah oleh rupiah. Sepanjang tahun ini yen melemah 2,73%, pada Senin kemarin JPY 1 setara dengan Rp 127,59.

Mengarah ke selatan Indonesia, dolar Australia juga berhasil dibuat melemah 4,65% di tahun ini. Pada bulan September lalu, rupiah bahkan berhasil mencatat penutupan terkuat dalam enam tahun terakhir di level Rp 9.509,04/AU$.

Dengan demikian, di tahun ini, rupiah sudah berhasil menaklukan mata uang utama di empat benua, dolar AS, euro, poundsterling, yen, dan dolar Australia.

Nilai tukar rupiah sempat mengalami sedikit gejolak di semester I 2019. Pada bulan 21 Mei, rupiah melemah ke Rp 14.525/US$, titik tersebut merupakan yang terlemah sejak akhir 2018. Tetapi memasuki semester II, kurs rupiah lebih stabil. 

Pemilihan Presiden (Pilpres) pada bulan April menjadi "bumbu" tambahan penggerak rupiah. Banyak dinamika yang terjadi sebelum dan sesudah Pilpres yang kerap mempengaruhi pergerakan rupiah. Tetapi pada akhirnya kondisi ekonomi yang cukup stabil di tengah pelambatan ekonomi global membuat rupiah mampu Berjaya. 

Perekonomian Indonesia di tahun ini memang mengalami pelambatan, tetapi masih mampu bertahan di atas 5%. Pada kuartal I-2019, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,07% year-on-year (YoY). Di dua kuartal selanjutnya terus melambat menjadi 5,05% dan 5,02%. 

Selain itu, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian diprediksi akan membaik. Di tiga kuartal tahun ini, CAD belum pernah menyentuh 3% dari produk domestik bruto (PDB). 



Inflasi juga mampu terjaga sesuai target Bank Indonesia di kisaran 3% plus minus 1%. Inflasi tertinggi tercatat di bulan Agustus sebesar 3,49% YoY, sementara terendah di bulan Maret 2,48% YoY. 

Inflasi yang terjaga tersebut membuat BI memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter yang sudah dieksekusi di tahun ini. 

Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%. 
Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober. 



Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF). 

Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.

Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.

Menariknya, performa rupiah masih terus terjaga di saat BI secara agresif melonggarkan kebijakan moneter. Artinya pelaku pasar menyambut baik pelonggaran tersebut, dan menyimpan harapan perekonomian Indonesia akan lebih baik lagi di di tahun depan.


Selain stabilitas dalam negeri, performa apik rupiah di tahun ini tidak lepas dari masalah-masalah yang dihadapi negara lainnya. Perang datang AS-China menjadi asal muasal masalah yang timbul hingga memicu pelambatan ekonomi global. 

AS sebagai aktor utama dibalik perang dagang juga tak lepas dari pelambatan ekonomi. Hal tersebut bahkan memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutar balik kebijakan moneternya. Jika pada tahun lalu The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga (Federal Funds Rate), sebanyak empat kali, di tahun ini bank sentral paling powerful di dunia ini malah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali.

Pemangkasan Federal Funds Rate tersebut dilakukan dalam tiga bulan beruntun pada Agustus, September, dan Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%. 

Sebuah u-turn kebijakan moneter yang cukup tajam, dampaknya dolar AS pun loyo di tahun ini. 



Beralih ke Eropa, zona euro sebagai pengguna mata uang euro juga tidak lepas dari pelambatan ekonomi. Motor penggerak ekonomi, Jerman, mengalami kemerosotan yang signifikan, bahkan sempat terancam memasuki resesi. 

Sebagai negara yang berorientasi ekspor, ekonomi Jerman dan zona euro mengalami pukulan akibat perang dagang AS-China. Aktivitas manufakturnya sudah mengalami kontraksi selama berbulan-bulan, inflasi menjadi melambat. Dengan kondisi ekonomi seperti itu, kurs euro menjadi terpuruk. 

Akibatnya, European Central Bank (ECB) pada bulan September lalu memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%. 

Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.

Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro. 
Akibat kebijakan tersebut, kurs euro semakin merosot. 



Masih dari Eropa, tarik ulur proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) membuat nilai tukar poundsterling jeblok. Meski dalam beberapa bulan terakhir mata uang Negeri John Bull ini perlahan bangkit setelah ada titik terang Brexit. 

Kemudian ke Jepang, Negeri Matahari Terbit ini terbilang adem ayem di tahun ini. Perekonomiannya masih begitu-begitu saja, dan bank sentralnya (Bank of Japan/BOJ) nyaris tidak merubah kebijakan moneternya. Kurs yen sepanjang tahun ini digerakkan oleh isu perang dagang AS-China. 

Rupiah yang mampu menguat melawan yen si safe haven di tahun ini patut mendapat apresiasi di tahun ini. 

Selanjutnya Australia, negara yang satu ini juga mengalami pukulan hebat akibat perang dagang AS China. Negeri Tiongkok merupakan mitra dagang utama Negeri Kanguru, di kala perekonomian China bermasalah maka perekonomian Australia juga akan terseret. 

PDB China di kuartal III-2019 tumbuh sebesar 6% YoY, pertumbuhan tersebut menjadi yang terendah sejak tahun 1992. Maka wajar jika Australia juga mengalami gonjang-ganjing. Pertumbuhan ekonominya melambat, pasar tenaga kerja memburuk, dan inflasi melemah. Dolar Australia jadi tak berdaya. 

Masalah ekonomi tersebut, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%. Bahkan, RBA sudah bersiap untuk menurunkan suku bunga lagi jika diperlukan. Dolar Australia pun semakin tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


[Gambas:Video CNBC]

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular