Skandal Jiwasraya: Jangan Sampai Seperti AIG & Bank Century!

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
24 December 2019 06:07
Skandal Jiwasraya: Jangan Sampai Seperti AIG & Bank Century!
Ilustrasi Kantor Jiwasraya (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Apa kesamaan kolapsnya Jiwasraya dengan AIG dan Bank Century?

American International Group Inc (AIG), sebuah asuransi multinasional asal Amerika Serikat (AS) yang terkapar pada September 2008. Ketika jatuh itu, AIG berperingkat 13 di jajaran perusahaan publik terbesar dunia versi Fortune 500. Setelah itu, peringkatnya melorot menjadi nomor 245 pada daftar yang sama.

American International Group Inc (AIG) Awalnya, pebisnis dan agen lembaga intelijen cikal bakal CIA bernama Cornelius Vander 'Neil' Starr mendirikan asuransi American Asiatic Underwriters (AAU) pada 1919 di China dan selanjutnya sukses dikembangkan ke seluruh dunia. Baru pada 1926, Vander Starr mendirikan asuransi yang bernama American International Underwriters Corp (AIU) di AS. American International Group Inc (AIG) akhirnya didirikan pada 1967 untuk menjadi payung bagi seluruh asuransi yang dirintis Vander Starr, dan berlanjut pada pencatatan sahamnya di bursa pada 1969.

Perusahaan yang terkenal sangat besar dan luas cakupannya untuk berbagai produk asuransi itu mendirikan AIG Financial Products (AIGFP) untuk masuk ke bisnis risiko kerugian investasi. Perusahaan semakin berkembang pada tahun 2000-an dengan melebarkan produk spesialisasi yang sangat luas cakupannya.

Ketika sudah dipimpin Maurice Raymond 'Hank' Greenberg itulah AIG memiliki produk spesialisasi seperti tanggung jawab polusi, risiko politik, serta pembiayaan dan asuransi pesawat terbang di seluruh dunia. Sempat terjegal pada 2005 terkait skandal keuangan perusahaan, selanjutnya AIGFP menemukan cara baru untuk menghasilkan keuntungan lebih cepat di bisnis non-inti mereka.

Caranya adalah sebagai penjamin produk terkait KPR bernilai belasan miliar dolar AS, menerbitkan produk derivatif senilai belasan miliar dolar AS yang menjadi garansi terhadap gagal bayar investasi, terutama menghadapi produk bernama Collateral Debt Obligation (CDO). Produk itu dapat berisi ragam produk yang dibungkus menjadi satu tanpa mengetahui detail isinya. (NEXT)


Selain menciptakan CDO, perusahaan juga menciptakan produk asuransi berbentuk jaminan kerugian gagal bayar (Credit Default Swap, CDS). Karena penjualan laris layaknya kacang goreng, CDO yang diciptakan pelaku pasar mulai berisi produk yang kurang hati-hati, karena prinsip kehati-hatiannya dikalahkan oleh besarnya fee penjualannya yang sedang happening.

Saat itu, kemungkinan gagal bayarnya CDO yang berisi efek utang berbasis KPR sangatlah kecil karena sudah mendapatkan peringkat baik dari lembaga pemeringkat. Ketika bubble KPR pecah pada 2008 karena ternyata sebagian besar penduduk AS tidak mampu menyicil KPR-nya, CDO banyak yang gagal bayar.

Karena CDO dijamin oleh CDS, maka AIG harus menalangi kerugian CDS yang sudah disepakati di awal. Kerugian mereka sangat besar, hingga US$ 25 miliar (saat ini setara Rp 349,62 triliun). Peringkat utang AIG pun diturunkan.

Karena cakupannya yang luas, lembaga keuangan seperti manajer investasi, dana pensiun, dan hedge funds berinvestasi di AIG atau bahkan menjadi klien perusahaan, sehingga jika dibiarkan maka akan menghancurkan lebih banyak pelaku pasar. Pihak yang berkepentingan terhadap AIG termasuk bank raksasa seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley.

Kekhawatiran yang muncul saat itu adalah jika AIG dibiarkan runtuh maka akan terjadi rush di hampir semua lembaga investasi dan membuat perekonomian AS serta dunia runtuh. Too big to fail.

Selain itu, kredibilitas institusi keuangan AS juga dipertaruhkan karena dapat dicap tidak mumpuni. AIG akhirnya di-bail out dengan dana US$ 180 miliar (setara Rp 2.516 triliun). AIG bertahan sampai sekarang dengan bisnis intinya yaitu asuransi murni, dengan sudah menuntaskan cicilan dana publik senilai US$ 205 miliar yang sudah digunakan negara untuk menyelamatkan lembaga itu. (NEXT)


Sementara Bank Century adalah bank hasil penggabungan antara tiga bank yakni Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC yang rampung pada 2004. Perusahaan diketahui gagal kliring pada November 2008 yang belakangan diketahui disebabkan oleh beberapa hal seperti kredit macet dan kredit fiktif.

Karena kekhawatiran pemerintah bakal ada tekanan yang meluas ke perbankan dan berstatus bank gagal dan berdampak sistemik, maka bank swasta tersebut disuntik modal melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) hingga Rp 1,3 triliun. Namun, seiring berjalannya waktu, dana talangan Bank Century membengkak Rp 6,7 triliun.

Ketika sedang dalam proses penyelamatan oleh pemerintah, Bank Indonesia, dan LPS itu, ternyata ada ratusan nasabah yang berharap diganti simpanannya di bank tersebut. Namun, ternyata dana mereka tidak disimpan di produk bank tetapi pada produk lain.

Sejak 2007, nasabah Bank Century dengan aset di atas Rp 100 juta ternyata ditawarkan produk investasi dengan hasil pasti (fixed return) senilai 10%-13%. Pengelola produk tersebut yaitu PT Antaboga Delta Sekuritas dan PT Signature Capital.

Penawaran produk yang disebut-sebut sebagai reksa dana itu dilakukan pegawai bank yang bahkan menyarankan deposan bank tersebut mengalihkan simpanannya ke produk investasi tersebut. Metode penawaran produk juga disertai iming-iming bahwa produk itu dilindungi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai penjamin Bank Century atau dikelola oleh perusahaan yang berafiliasi dengan pemilik bank tersebut, Robert Tantular.

Jatuhnya pasar keuangan di dalam negeri karena kasus KPR berperingkat buruk (subprime mortgage) di AS tidak sampai setahun, yang turut membuat Bank Century kolaps membuka aktivitas tersebut. Hasilnya, Robert didakwa 21 tahun dan sudah bebas bersyarat setelah 10 tahun.

Di sisi lain, mantan deputi gubernur Bank Indonesia Budi Mulya dijatuhi vonis bersalah dalam kasus FPJP dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun. Setelah diselamatkan, Bank Century diambil alih LPS dan kemudian diganti namanya menjadi PT Bank Mutiara Tbk dan ditawarkan kepada pemegang saham pengendali baru.

Akhirnya, bank itu laku dibeli oleh bank pembiayaan real estate asal Jepang yaitu J Trust Co Ltd senilai Rp 4,4 triliun, dan saat ini sudah berganti nama lagi menjadi PT Bank J Trust Indonesia Tbk. NEXT


Bail out. Arti frase tersebut adalah aksi penyelamatan darurat dari awak sebuah kapal sehingga ada pihak yang terselamatkan dari sebuah kecelakaan. Artinya di dunia keuangan juga mirip, yaitu melakukan usaha terakhir dalam menyelamatkan sebuah entitas yang gagal.

AIG, sebuah asuransi multinasional pun harus diselamatkan bank sentral dan kementerian keuangan Negeri Paman Sam. Belajar dari lembaga asuransi dan investasi terbesar dunia pada 2007 tersebut, jangan pernah berpikir bahwa uang negara adalah 'duit nenek moyangmu', tetapi merupakan amanat dari rakyat.

Setiap rupiah yang dibayarkan adalah utang yang harus diwariskan kepada generasi selanjutnya, tidak hanya untuk aksi bail-out tetapi juga setiap korupsi dan penyelewengan oleh setiap BUMN dan aparatur negara.

Sistemik juga merupakan syarat dari penyelamatan Jiwasraya. Jangan lupa untuk selalu membuka hitungan dan kondisinya ke publik, transparansi juga penting untuk memupuk kepercayaan masyarakat luas. Jelek di masa lalu tidak akan tertutupi bohongnya mulut pejabat, justru hanya menambah daya ledaknya yang pasti akan pecah di kemudian hari.

Dalam hal pengelolaan produk investasi yang terlalu berisiko tetapi easy money seperti yang dilakukan di AIG dan lembaga keuangan global lain tentu harus menjadi perhatian ke depannya, apalagi yang cuma modal kertas alias abal-abal seperti yang pernah laris dijual laris manis di Bank Century. Jiwasraya, selain karena faktor miss-management, tetapi juga ada faktor terjebak di hasil investasi yang memiliki jaminan keuntungan pasti (fixed return).

Sudah saatnya publik dengan pelajaran yang berharga dan sangatlah mahal ini (rencana bail-out mencapai Rp 32 triliun), berhenti menjanjikan hasil investasi yang pasti, terutama untuk instrumen-instrumen yang volatil. Pelajari produknya, ketahui isinya, dan jangan pernah takut bertanya.

Usut tuntas semua pelakunya dengan tanpa pandang bulu, terutama yang atas-atas. Jangan hanya satu yang ditumbalkan dan seakan beres, seperti kasus Bank Century.

Untuk lembaga, jangan lupa untuk menerapkan prinsip prudensial. Dan untuk kementerian serta pemerintah, jangan paksakan kinerja investasi hanya sepanjang durasi kepemimpinan direksi dan jangan lagi ada paksakan BUMN asuransi dan dana pensiun untuk selalu untung.

Pemaksaan untung artinya adalah mendorong munculnya Jiwasraya-jiwasraya lain. Padahal kita sama-sama paham bahwa tidak ada investasi yang pasti untung, apalagi jangka pendek.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular