Perbaiki Neraca Ini, Ucapkan Bye ke CAD! Bukan Migas Lho...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 December 2019 09:15
Perbaiki Neraca Ini, Ucapkan Bye ke CAD! Bukan Migas Lho...
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) lumayan sering berkeluh-kesah mengenai sektor energi dan pertambangan. Eks Gubernur DKI Jakarta itu menyinggung soal nihilnya pembangunan kilang, impor minyak, impor produk petrokimia, sampai impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Mungkin ini ada hubungannya dengan kegundahan Jokowi sebelumnya yaitu soal defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Maklum defisit ini membuat Indonesia susah maju.


Transaksi berjalan adalah pos di neraca pembayaran yang mencerminkan pasokan valas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini dipandang lebih berjangka panjang ketimbang kamar sebelah yaitu transaksi modal dan finansial yang bisa datang dan pergi begitu saja karena didominasi oleh investasi portofolio di sektor keuangan (hot money).

Jadi kalau transaksi berjalan defisit, maka pasokan devisa untuk menopang fundamental nilai tukar mata uang menjadi lemah. Akibatnya mata uang cenderung rawan melemah.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Sejak 2011, Indonesia belum lagi merasakan surplus transaksi berjalan. Rupiah pun menjadi cenderung melemah.

Indonesia menderita defisit transaksi berjalan sejak kuartal IV-2011. Dari situ hingga sekarang, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sampai 53,29% secara point-to-point.

Bank Indonesia (BI) punya mandat untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Kala rupiah melemah, apalagi kalau sampai terlalu dalam, MH Thamrin tentu tidak akan berpangku tangan.

BI akan mengeluarkan berbagai upaya untuk stabilisasi mata uang, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan. Ketika suku bunga naik, maka investasi portofolio alias hot money berdatangan karena memburu cuan. Diharapkan hot money dapat menutup 'lubang' yang menganga di transaksi berjalan, pasokan devisa meningkat, dan rupiah pun menguat.

Namun kenaikan suku bunga acuan bakal makan 'tumbal'. Suku bunga perbankan akan ikut naik, sehingga dunia usaha dan rumah tangga akan kesulitan mendapatkan pembiayaan untuk ekspansi. Investasi dan konsumsi melemah, pertumbuhan ekonomi pun melambat.


Jadi selama Indonesia mengidap defisit transaksi berjalan, maka pertumbuhan ekonomi sulit untuk dipacu lebih kencang. Jokowi tentu tidak senang akan hal ini.


Nah, mungkin Jokowi melihat defisit neraca migas sebagai biang keladi defisit transaksi berjalan. Impor migas yang terlalu besar membuat transaksi berjalan tertekan hebat.

Pada kuartal III-2019, transaksi berjalan membukukan defisit US$ 7,66 miliar. Sementara neraca migas defisit US$ 2,17 miliar.

Melihat angka ini, Jokowi ada benarnya benar. Neraca migas yang defisit menambah beban transaksi berjalan. Jadi wajar Jokowi gusar saat Indonesia banyak mengimpor migas.


Sepakat, Pak Presiden. Memang harus ada pembenahan untuk mengurangi defisit neraca migas. Pembangunan kilang adalah salah satu solusinya, sehingga Indonesia bisa mengurangi impor produk turunan minyak.

Namun kalau terlalu fokus ke neraca migas, apakah defisit transaksi berjalan akan membaik dan bahkan bisa berbalik surplus? Rasanya tidak...

Sebab ternyata ada pos lain yang membukukan defisit jauh lebih parah ketimbang neraca migas yaitu pendapatan primer. Pada kuartal III-2019, defisit pendapatan primer mencapai US$ 8,43 miliar, lebih dalam ketimbang defisit transaksi berjalan sendiri.


Jadi jika ingin memperbaiki defisit transaksi berjalan, maka menurunkan defisit pendapatan primer rasanya lebih cespleng. Andai defisit pendapatan primer bisa turun menjadi minus US$ 6 miliar saja, maka ucapkan selamat tinggal ke defisit transaksi berjalan.


Agar neraca pendapatan primer bisa membaik, kuncinya adalah mengurangi ketergantungan terhadap investor asing, baik di pasar keuangan maupun sektor riil. Ketika investor asing masih dominan, maka pembayaran laba dan dividen akan mengalir ke luar negeri.

Di sektor riil, saat ini Penanaman Modal Asing (PMA) masih dominan ketimbang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada Januari-September 2019, Badan Koordinasi Penamanan Modal (BKPM) mencatat total investasi yang masuk adalah Rp 601,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 317,8 triliun (52,85%) adalah PMA.


Boleh saja mengundang investor asing, malah bagus karena menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang bisa dipercaya dan ramah terhadap investasi. Namun kalau PMA terlalu dominan, maka laba dan dividen akan semakin besar mengalir ke luar negeri sehingga neraca pendapatan primer sulit diperbaiki.

Sementara di pasar modal, sudah ada perbaikan di pasar saham karena peran investor asing kian berkurang. Per 19 Desember, porsi investor asing dalam perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia adalah 32%.

Di pasar obligasi, khususnya obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN), investor asing pun bukan mayoritas. Per 18 Desember, porsi kepemilikan investor asing di SBN adalah 38,52%.

Akan tetapi, tren kepemilikan asing di SBN arahnya naik. Pada awal tahun, porsi kepemilikan asing adalah 37,72%.


Selain menyebabkan tekanan devisa keluar dari pembayaran kupon dan transaksi harian, kepemilikan asing yang tinggi membuat pasar SBN menyimpan risiko kerentanan. Ketika kondisi pasar sedang tidak bagus, baik akibat sentimen domestik maupun eksternal, investor asing pemegang SBN bisa saja memutuskan untuk keluar. Aksi jual, apalagi kalau massal, tentu akan membuat pasar SBN terpukul dan bisa berdampak ke seluruh pasar keuangan.

Jadi intinya adalah investor domestik harus memainkan peranan yang lebih besar, apakah itu di sektor riil maupun pasar keuangan. Dengan begitu, arus devisa keluar negeri di pos neraca pendapatan primer bisa ditekan sehingga membantu mengurangi beban di transaksi berjalan. Bahkan bukan tidak mungkin transaksi berjalan bisa berbalik surplus jika ada perbaikan di neraca pendapatan primer.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular